Hari Gini Perang Tepung?

Perang tepung kerap kali kita saksikan di saat ulang tahun rekan kerja, teman, sahabat, dan orang-orang terdekat lainnya. Fenomena ini sudah umum terjadi dimana-mana. Tidak hanya di kantor, di sekolah, di kampus, di kehidupan pertemanan bertetangga juga kerap kita jumpai.

Modus operandinya, orang yang sedang berulang tahun biasanya dilempari dengan tepung di seluruh badannya. Lalu kalau merasa masih kurang sadis, perang tepung bisa dilengkapi dengan perang ceplok telor (telor ayam utuh diceplokin ke badan atau rambut korban yang akan dikerjai. Biasanya orang yang sedang ulang tahun).

Yuki Kato Perang Tepung

Kalau Anda ingin lihat ilustrasi perang tepung saat ultah, bisa kunjungi link berikut. Artis Yuki Kato sedang dikerjai dengan perang tepung oleh keluarganya. Cekidot: (http://kasakusuk.com/yuki-kato-perang-tepung-coklat). Beberapa hari lalu juga saya melihat Charlie Van Houten, vokalis ternama ST12, merayakan ultah dengan dikerjai oleh teman-temannya, dengan cara yang sama, perang tepung. Tidak hanya di kalangan artis, fenomena ini saya amati sudah sering terjadi, dimana saja, kapan saja. Siapa yang memulai? I really don’t know. Believe it or not, it has been a part of our culture now.

Cemang Cemong Perang Tepung

Ironi Masyarakat Hobi “Bully”

Kadang saya merasa heran. Perang tepung tak hanya berdiri sendiri. Masih dalam rangka memperingati hari ulang tahun, biasanya seseorang yang jadi “korban” akan dicemongi wajahnya dengan kue yang sudah dibeli bersama-sama. Kadang, harga kuenya tak tanggung-tanggung. Cukup mahal. Tapi fungsi dan kemanfaatannya bukan untuk dimakan, tapi untuk dilumuri ke wajah si ulang tahun. Sangat disayangkan. Mendingan kasih ke saya buat dimakan.

Kalau bicara masalah karakter masyarakat kita, iseng-iseng saya mau ajak Anda para pembaca untuk mengamati program yang saat ini sedang digemari masyarakat di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, yaitu Opera Van Java di Trans7.

OVJ & Budaya “Nge-bully” (http://the-marketeers.com)

FYI, sebagian pemain OVJ adalah komedian lawas. Nunung terkenal lewat Srimulat. Demikian juga Parto yang berasal dari grup komedi Patrio. Namun, bersama Sule, Azis Gagap, dan Andre Taulani, kedua komedian lawas itu jadi lebih tenar daripada sebelumnya. Di acara komedi yang tayang saat prime time itu, kelucuan demi kelucuan dibangun dengan saling ‘ngerjain’ antarpemain. Kadang-kadang, lawakan menjadi slapstick kasar, seperti mendorong lawan main sampai terjatuh dan merusak properti panggung yang sengaja dibuat dari styrofoam.

Memang, tak 100% kita bisa mengklaim, acara tersebut bisa mewakili selera atau karakter pada umumnya masyarakat kita. Tapi faktanya menurut hasil riset Nielsen dari 10 kota besar di Indonesia, program OVJ menjadi favorit pemirsa, di samping sinetron.

Kadang kalau kita pikir mendalam, karakter masyarakat kita itu persis seperti yang ada di OVJ. Senang melihat orang lain teraniaya, tertawa melihat orang lain jatuh, dipukul, dibully, dan seterusnya. Meski hanya menggunakan properti yang “pura-pura”. Tapi tetap saja, program komedi kita secara umum masih menggiring kita menikmati penyiksaan-penyiksaan tersebut. Parahnya, kita hanyut. Parahnya lagi, kita tak ganti channel ke tontonan lain.

Tak beda jauh dengan kehidupan pribadi kita. Kadang kalau teman kita ulang tahun, semakin tinggi tingkat “ngerjain” yang kita lakukan terhadap orang lain, semakin panik, frustasi, terganggu, orang yang ulang tahun, kita makin bersorak-sorai tanda senang dan berhasil. Kadang saya jijik dengan keadaan ini. Betapa kita sudah tidak berpikir sehat. Orang yang ulang tahun, umurnya berkurang. Alih-alih mencerahkannya dengan pemikiran brilian, ini malah “dikerjain” dengan kegiatan yang maksi di hura-hura hahahaha, namun minim makna.

Mari kembali ke masalah perang tepung.

Harus diakui bahwa harga tepung memang tak mahal. Tepung tapioka misalnya, terbuat dari singkong. Harga per kilogramnya di petani adalah Rp 900-Rp 1.100.  Berapa kilogram singkong dibutuhkan untuk membuat tepung itu? Menurut beberapa sumber dari mbah google (http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2011/07/permintaan-naik-harga-singkong-melejit.html), dibutuhkan singkong segar seberat 3,6 kilogram untuk membuat 1 kg tepung.

Perhatikan ini: Bayangkan betapa susahnya petani singkong mengolah tanah, menanam singkong, memanennya, lalu menjualnya ke pasar/ pabrik. Lalu kita yang menjadi manusia kurang bersyukur, dengan entengnya membuang-buang tepung itu untuk sekadar melumuri teman kita yang ulang tahun. Demi memenuhi “syahwat” hampa.

Tepung, bagi orang yang sudah “berumur”, mungkin bisa jadi barang yang dibuang-buang. Namun, bagi Pelaku UKM seperti penjual donat, tepung itu bisa jadi uang, yang menggerakkan roda ekonomi keluarganya. Bagi anak-anak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), tepung bisa jadi alat bantu mengasah salah satu kecerdasan mereka, yaitu kecerdasan visual-spasial. Mereka bisa latihan membuat apapun dari tepung. Kalau begitu, apakah orang “berumur” yang masih suka perang tepung ketika ultah, bisa dikategorikan benar-benar orang dewasa? Di sini terlihat jelas adagium bahwa Tua itu pasti, dewasa itu pilihan, benar adanya. Anak PAUD justru lebih matang dan dewasa ketika memanfaatkan tepung untuk berlatih kecerdasan, dibandingkan orang “berumur” yang perang tepung.

Dampak Negatif Perang Tepung

Selain membuang uang (mubazir), perang tepung, dan perang barang-barang lainnya seperti kue, cokelat, telor, juga punya dampak negatif lainnya.

Kalau perang tepung saat ultah itu mengambil latar rumah kita, maka yang akan repot membersihkan rumah tentu bisa jadi ibu kita. Bisa juga pembantu rumah tangga kita. Bisa juga kita sendiri yang menjadi pelaku peristiwa.

Tepung yang tercecer di karpet, tentu susah membersihkannya. Ia harus disedot dengan alat khusus seperti vakuum cleaner.

Kalau latar perang tepung adalah kantor, maka akan lebih ribet lagi. Bisa jadi, OB (Office Boy) dan Cleaning Service akan merasa sangat keberatan membersihkan sisa-sisa perang tepung itu. Apalagi jika perang tepung juga disertai telor. Susah sekali membersihkan tepung yang sudah menyatu dengan telor. Daya ikatnya sangat tinggi. Kalau kena atau tumpah di karpet, bisa jadi nodanya sulit dihilangkan. Kalaupun bisa hilang, harus melalui beberapa tahap pembersihan.

“Harus dibersihkan dengan chemical tertentu mas. Jika karpetnya besar, pakai mesin mencucinya mas,” ujar seorang cleaning service di kantorku ketika aku tanya tentang responnya terhadap perang tepung yang terjadi di kantorku.

Petugas Cleaning Service Kena Dampak Perang Tepung

Selain sulit membersihkan dampak dari perang tepung yang bercecer dimana-mana, hal ini juga menambah beban kerja petugas kebersihan. Cobalah berempati sedikit. Apakah Anda mau ditambahkan beban kerja dari orang lain, dimana orang itu hanya berpikir perang tepung untuk sekadar “have fun aja”. Tidak ada esensi yang teramat penting dari tindakannya bukan? Males banget kan menerima limpahan tugas tambahan hanya karena menanggung hobi hura-hura ndak jelas orang lain? Bisa-bisa hati mangkel. Bete-bete ah!

Harusnya bisa pulang cepat, bisa ketemu anak-istri, malah kudu mengutip satu persatu butiran tepung dan kerak telor dari karpet kantor. Bayangkan jika diri Anda ada di posisi petugas kebersihan kantor. Ikhlaskah melihat orang mengotori ruangan kantor, sementara paginya Anda capek-capek membersihkan ruangan?

Iseng-iseng, aku tanyakan pada petugas Cleaning Service di kantor, apa komentarnya ketika melihat fenomena perang tepung, telor, kue, dan lainnya ketika ultah? Jika ada perang tepung saat ulang tahun, apa yang mereka rasakan? Aku penasaran ingin tahu.

Ada 2 orang yang saya tanyai. Pertama perempuan, bernama Yuli, masih muda. Yuli adalah tipe orang yang selalu nrimo dalam bekerja. Mukanya juga adem. Bukan tipe pencemberut. Jawabannya seperti ini ketika saya tanya tentang pendapatnya mengenai perang tepung: “Ga apa-apa sih mas perang tepung. Kita kan juga senang melihat orang bahagia. Ikut senang, ceria karena ulang tahun. Kan dah biasa juga begitu mas,” ujarnya polos. “Sebagai manusia biasa, apa reaksi mbak ketika melihat ada perang tepung di ruang kerja, sementara mbak paginya baru saja membersihkan ruangan tersebut?” Ia menjawab, “Nggak apa-apa sih mas. Nggak ada masalah. Kita bersihkan aja setelah itu. Udah tugas kita.” Oh ok, jawabku.

Special Treatment membenahi perang tepung

Pertanyaan yang sama, aku tanyakan ke petugas cleaning service lainnya. Kali ini laki-laki. Namanya Herman. Berbeda dengan Yuli, ia lebih terbuka mengatakan apa yang ada di pikirannya. Aku tanyakan pendapatnya tentang perang tepung, dari sisi dia sebagai cleaning service, dan dia sebagai manusia awam–tanpa embel-embel pekerjaan—

Ketika ditanya sebagai cleaning service, jawaban normatif keluar dari mulutnya. “Udah resiko kerja mas. Tugas kita membersihkan. Ndak apa-apa.” Nah, sekarang aku bertanya sebagai manusia biasa, tanpa embel-embel pekerjaan. Jawaban Herman, “Ya sebenarnya kalau bisa sih enaknya ga ada perang tepung. Jadi kita ndak capek-capek membersihkan tumpahan tepung, telor. Kadang susah juga membersihkannya. Harus bertiga. Kalau sendiri, dan perang tepungnya ada di beberapa tempat, cukup lama membersihkannya,” ungkap Herman terbuka.

Kalau kita punya petugas cleaning service yang sangat baik hati seperti mbak Yuli semua, mungkin perang tepung tak menjadi masalah. Namun, tidak semua petugas cleaning service sepolos mbak Yuli. Ada kalanya secara manusiawi, orang akan berontak melihat perang tepung karena merasa kegiatan itu hanya mengotori tempat kerja dengan tingkat kesulitan membersihkannya cukup tinggi. Kalau saya ada di posisi sebagai petugas cleaning service, saya harus akui, saya tidak happy melihat hal itu. Ibaratnya gini. Orang lain enak-enakan buang kotoran, kita bertugas menyapu dan membersihkannya. Padahal, mereka punya opsi untuk tidak buang kotoran sembarangan. Atau bahkan mereka punya opsi untuk tidak buang kotoran, bisa diganti kegiatan lain yang jauh lebih kreatif, jauh lebih meaningful.

Dampak lainnya dari perang tepung adalah baju yang kita gunakan ketika menjadi “korban” juga akan susah dibersihkan. Kerak telur bisa jadi permanen. Tidak bisa dihilangkan. Sayang sekali bukan, baju baru kita harus dilumuri oleh kotoran tepung dan telur serta cokelat? Sulit hilang nodanya, meski pakai detergen. Kasihan orang yang bertugas mencuci baju kita. Kalau nyuci sendiri sih tidak masalah. Kalau orang lain yang mencucikan, tentu jadi beban baru tersendiri pula.

Solusi: Hari Gini Perang Ide, Bukan (Perang) Tepung

Saya memang bukan tipe orang yang sangat mendambakan peringatan atau pesta ulang tahun. Biasanya, tiap ada peringatan ulang tahun, saya lebih senang merenung sendiri di kamar. Memikirkan apa yang sudah dicapai, apa yang belum dicapai.

Perang tepung saat ultah berikut varian turunannya (perang telor, cokelat, kue), perlu ditinjau ulang (dimoratorium kalau istilah kerennya). Selain mubazir (buang-buang rezeki), kegiatan ini miskin makna. Kita diberi Allah waktu 24 jam sehari, dan seharusnya bisa dioptimalkan untuk mengembangkan diri dari waktu ke waktu. Bukan malah mengisinya dengan kegiatan tak bermanfaat. Mungkin terdengar klise. Tapi menurut saya ini penting.

Sekarang coba bayangkan begini. Kalau ada teman kita yang ulang tahun, kita tak perlu mengerjainya dengan lempar telur atau tepung. Cukup kita tuliskan apa yang menurut analisa kita tentang kelemahan dan kekuatan teman kita. Pakai analisa SWOT kalau mau gampang. Sepertinya masih belum ada hadiah ulang tahun bukan dikerjain. Tapi malah diberikan analisa (private mapping) tentang kelemahan yang harus dieliminir dan kekuatan yang harus ditingkatkan atau dikembangkan dari seseorang. Pasti keren. Manfaatnya jelas. Melalui mapping yang kita lakukan, si orang yang ultah, mendapatkan manfaat berlipat. Ia tak terlena dengan umurnya yang makin berkurang. Ia juga makin tahu mana yang akan menjadi fokus hidupnya ke depan. Memaksimalkan potensi dalam diri, mengeliminir kelemahan yang kerap kita jumpai ketika berinteraksi. Kadang mungkin rasanya pahit analisa-analisa kekuatan dan kelemahan seperti itu. Namun saya yakin, manfaatnya jauh lebih terasa dibandingkan dengan perang tepung. Perang tepung ketika acara berlangsung, kita mungkin akan enjoy melihatnya. Enjoy melihat orang dikerjain. Enjoy melihat orang “teraniaya”. Bahkan kita bisa tertawa melihat orang makin “teraniaya”. Tapi poinnya tetap jelas terlihat, kegiatan itu miskin makna. Lewat begitu saja.

Perang tepung bisa diganti dengan pemberian testimoni terhadap orang yang sedang ulang tahun. Testimoni bisa bersama-sama. Dikumpulkan lewat kertas-kertas kecil. Diberikan langsung secara bersamaan dalam kumpulan kertas-kertas kecil tadi. Letakkan di dalam sebuah box, lalu beri di atas mejanya. Si peraya ultah bisa membukanya di rumah untuk dibaca dan direnungkan. Jauh lebih bermanfaat bukan? Setelah membaca masukan, ia akan lebih bersemangat untuk bekerja, berprestasi, berkarya. Kalau perang tepung, selesai ritualnya, selesai haha hihi, ya sudah, selesai begitu saja. Tanpa makna.

Kadang saya prihatin. Masyarakat kita sepertinya lebih menikmati momen dimana orang lain tersiksa. Bisa terlihat dari tayang OVJ yang jadi favorit masyarakat belakangan ini. Penyiksaan meski lewat properti yang terbuat dari gabus, namun tetap saja, budaya senang melihat orang tersiksa bisa jadi sebuah budaya laten yang tertanam di benak masyarakat kita. Senang melihat orang lain susah. Susah melihat orang lain senang. Kalau orang lain lagi senang, kita malah berniat mengerjainya. Bukan memberi selamat atau ikut senang. Alangkah indahnya kalau kita senang melihat orang lain senang, susah melihat orang lain kesulitan.

Tapi harap dicatat, ketika menulis ini, bukan berarti saya orang mengajak Anda untuk jadi manusia kaku, tegang, terlalu serius menjalani hidup, tanpa canda-tawa. Tetap, kejutan-kejutan di hari ulang tahun, bolehlah dilakukan, dengan catatan, caranya harus smart, elegan, dan meaningful. Bukan hura-hura tanpa makna. Entah berapa kali saya menyebut kata “makna”. Tapi memang poin itu yang ingin saya tekankan dari tulisan kali ini. Karena hidup, terlalu singkat untuk dilewati, tanpa makna yang agung, luhur, mulia, jelas, terukur.

Hari gini, perang yang dibutuhkan sekarang bukanlah perang tepung, tapi perang ide. Ide cemerlang, adalah aset yang bernilai mahal. Anda bisa lihat ide-ide liar anak muda Indonesia saat ini. Begitu banyak bertebaran. Ide-ide kreatif yang bernilai ekonomis dan sekaligus sosial juga. Kalau effort yang Anda keluarkan untuk perang tepung = effort untuk mengeluarkan ide brilian, lalu mengapa harus pilih capek-capek perang tepung? Kenapa tak coba effort mengembangkan ide lain yang jauh lebih bermanfaat?

1001 ide kreatif pengganti perang tepung

Penutup

Nah, setelah paparan saya di atas, masih berminat perang tepung saat teman Anda ulang tahun? Mudah-mudahan tidak ya. Ada 1001 cara kreatif merayakan ulang tahun teman, rekan, sahabat, keluarga kita. Tergantung kita, mau tetap pilih cara cupu, atau pilih cara kreatif yang elegan, inspiratif, dan penuh makna. Semua tergantung Anda. Semua pilihan itu ada di tangan Anda. Karena tua itu pasti. Tapi, dewasa itu adalah pilihan. Tentukan pilihan Anda dalam bertindak mulai sekarang! Enyahkan perang tepung, ganti dengan kegiatan yang lebih kreatif dan meaningful. Saya yakin kita bisa, karena kita orang Indonesia. Kaya dalam karya.

Salam Anget,

Adlil Umarat

Kunjungi, beri komentar di blog ini, dan raih hadiah buku!

www.umarat.wordpress.com

Follow me on twitter: @pukul5pagi

(Seputar Jodoh)
 (Seputar Passion)
(Religi)
(Petualangan Sosial)

31 responses to this post.

  1. Posted by Nadya Wijanarko on December 10, 2011 at 7:44 AM

    Kalau jaman saya ABG dulu, tradisinya adalah lempar telur ke yang lagi ulang tahun. Pernah dulu pas kelas 1 SMP ada temen ultah, terus sama temen yang lain dilempari telur (tapi saya ga ikutan lhoooo….). Walhasil guru marah, anak2 yang terlibat dihukum suruh bawa telur, trus telurnya disumbangin ke panti asuhan. Telur itu makanan, kok malah dilempar-lempar, padahal masih banyak saudara2 kita yang kelaparan. Kalau yang terjadi belum lama ini, pernah juga ABG di depan rumah saya bikin acara perang tepung plus lempar telur, kayanya ada teman mereka yang ultah. Pas saya pulang kantor, di jalan depan rumah berserakan pecahan2 telur. Baunya? Masya Allah! Untung saya ga lagi hamil, kalo iya udah langsung muntah2 kali. Sampai saya mikir, itu ABG dari mana sih? Hasil didikan mana, sih? Kok ya kelakuannya kaya gitu? Pada prinsipnya saya paling tidak suka dengan perbuatan-perbuatan yang kesannya membuang-buang makanan. Bukan hanya perang tepung dan lempar telur, tapi juga perang makanan yang kerap dilakukan orang-orang “sono” (di Indonesia ada juga ga ya?), termasuk juga tradisi injak telur pada saat acara adat pernikahan yang notabene adat saya sendiri (Jawa). Intinya, mbok ya hargailah makanan. Daripada dibuang-buang begitu lebih baik diberikan ke yang membutuhkan. Saya membayangkan, seandainya ada orang miskin yang melihat kejadian perang tepung beserta turunannya tersebut, apa dia ga sakit hati, ya?

    Btw, di kantor saya ga ada tuh yang namanya tradisi perang tepung. Kalau ada yang ultah ya diberi selamat, lalu didoakan, itu saja. Paling yang ultah kemudian ditodong untuk traktir, minimal beli pizza atau kue buat dimakan ramai-ramai satu ruangan. Kalau yang ultah bos ya paling bikin acara makan-makan, minimal 1 ruangan, kalau ada uang lebih ya mengundang satu lantai. Cleaning service dan office boy di tempat kami juga ga perlu repot membersihkan sisa kotoran perang-perangan, yang ada mereka juga diajak makan-makan. Paling ya disuruh bersih-bersih setelah acara makan-makan selesai, dan kalau ada sisa makanan lebih, biasanya mereka bawa pulang untuk keluarga di rumah.

    Reply

  2. Posted by OeOeL on December 10, 2011 at 7:50 AM

    mending yang ultah di traktir dunk…sama-sama enak…hahahahaha….
    daripada perang tepung n telor palagi telor busuk…kasian yang ultah…

    Reply

  3. Posted by Wisnu on December 10, 2011 at 12:35 PM

    saya hargai artikelnya, tapi terlalu subyektif, cobalah buat memandang dari segala sisi…

    Reply

  4. Posted by Rimbun on December 11, 2011 at 8:32 AM

    Mungkin ada hubungannya juga dengan otak kanan vs otak kiri. Bagi otak kanan, melakukan ritual lempar tepung dan bersenang-senang seperti itu dapat merangsang kreativitas dan juga dapat melepas stress setelah berapa lama berkutat dengan pekerjaan yang mungkin menuntut tubuh berkonsentrasi. Namun bagi otak kiri (yang berdasarkan logika), semua itu tidak masuk akal, membuang-buang waktu, biaya, dan tidak baik dipandang dari segi moral dan agama. Pandanglah dua pendapat perayaan itu secara proporsional, kalau bisa lakukan perayaan dengan seimbang. Bukankah berani kotor itu baik? 🙂

    Reply

    • Gw rasa ga ada hubungannya dengan otak kanan atau kiri bun. Kalau otak kiri kan pikiran untung-rugi. Kalau Kanan itu agama, moral, masuk ke otak kanan, bukan kiri. Yang jadi poin penting dari perang tepung adalah mubazir, sedangkan bisa dimanfaatin buat kue. Selain itu, tidak adanya unsur empati dalam perang tepung. Tidak empati pada petugas cleaning service. Ingat kan, kita pernah ngerjain loe pake kertas2 pas ultah. Tapi itu kan yang ngumpulin sampahnya kita-kita juga. Ada unsur tanggung jawab di tindakan itu. Tidak mengotori, dan kondisi kantor rapi seperti semula. Kalau mau cari inspirasi, melepas penat, jangan di kantor. Noh, ke lapangan apa ke kolam renang, atau makan-makan bareng. Hehhehe

      Reply

  5. salam kakak.
    alhamdulillah, sampai hari ini aku masih terhindar dari lepokan tepung dan segala dedengkotnya. tapi pernah juga dulu dikerjain sama teman sekamar, diberantakin isi lemari dan tempat tidur (waktu diasrama).
    memang dari sisi logika, saya sangat tidak setuju dengan perang tepung, tidak pernah mau di-tepungin atau menepungi teman2 juga. menurut saya, kalau saya ditepungi bukan berarti teman2 saya menyayangi saya, tapi itu justru suatu hinaan dan makian secara tidak langsung.
    alasannya? karena dengan saya di tepungi, otomatis teman saya bilang, “kamu itu jelek, bau, kotor, dekil! sini! dimandiin sama tepung aja! kalau kotor dan kamu sadar kalau kamu kotor dan jelek, kamu pasti mau mandi!”
    heheheehee… itu sih menurut saya aja. dan itu sangat tidak menyenangkan.
    apa lagi ketang-gungan mencuci sekian banyak potong pakaian yang ber-lumur tepung.
    hueeeeh… I HATE IT,
    karena itu juga saya tidak pernah mau menepungi teman2 yang ber-ulang tahun atau sedang merayakan apa pun.

    the last, saya share tulisannya di sini 🙂
    http://www.facebook.com/note.php?note_id=10151030968835133

    thank you
    -ephy-

    Reply

  6. Posted by Ummu on December 12, 2011 at 9:06 AM

    wah, Ad kok tega perang tepung dikantor, dikantorku mah gak tega….dan pasti pelayannya marah-marah, disini pelayannya terapresiasi dengan baik soale, kitanya juga takut kalo sampe buat mereka kerja berat yg seharusnya akibat ulah kita 😀
    tradisi ultah dikantor, palingan makan-makan aja atau nyalon bareng hehehehe

    Reply

  7. wah keren, anda bisa menangkap fenomena yang tak terfikirkan orang lain sebelumnya.. bagi saya juga nggak perlu sih perang tepung, apalagi kalo tindakan kita itu akan merugikan pihak lain yang sebenernya nggak perlu terlibat (cleaning service), kecuali kalo orang-orang yang perang tepung itu bertanggung jawab pasca melakukan hal nggak bermanfaat itu (dengan membersihkan bekas-bekasnya).. berani berbuat harus berani bertanggung jawab dong.. lagipula, senang-senang nggak harus dengan cara yg merugikan orang lain

    Reply

  8. hihihi. kocak deh.
    inti yg saya tangkap adalah, niat berbuat baik saja belum cukup, mesti difollow-up lagi dengan CARA yang baik juga. Ya ngga, kak?

    orang2 yg neplokin telor atau naburin tepung ke temennya yg ultah saya rasa punya niat baik, yaitu ingin menjadikan hari ultah sebagai momen yg spesial, kalo bisa jadi unforgettable moment. they wanna show that they care dan sayang sama temennya. tapi ya bener kata kak aad, caranya kurang cerdas dan jatuhnya malah menimbulkan kemubaziran dan kawan2nya.

    that’s why, niat baik menjadi kurang baik jika tidak ditunaikan dengan cara yang baik,

    mudah-mudahan tulisan ini menginspirasi banyak orang ya, kak. juga berkah untuk yang menulisnya. 🙂

    Reply

  9. assalamualaikum mas umarat,

    Setuju nih sama pandangan mas tentang perang tepung. Sayangnya saya dulu waktu masih SMA ikut terlibat dan pernah juga menjadi korban perang perang beginian.
    Jadi korban itu sama sekali enggak ada enaknya, dulu saya dilemparin telur teman teman sekelas dari jarak sepuluh meteran dan rasanya persis kaya dilempar batu. Bahkan ada satu teman yang nglempar sekali tapi telurnya ga pecah, akhirnya di ambil lagi telur itu dan (ouch) kena lagi.

    Tapi mas pas saya jadi pelaku, nikmatnya bukan main. Nggak cuma lempar telur tepung tapi juga air comberan. Salah satu teman saya yang waktu itu dikerjain bener bener parah keadaannya. Di ikat dilempari dan terakhir dilumuri cat biru. Catnya sampai melekat di sela sela gigi. Kami semua ketawa bukan main gembira. Tren OVJ memang sepertinya menunjukkan selera kita banget. Bahagia saat orang dianiaya.

    Menurut saya terlalu ekstrim melarang perang perang tepung semacam ini. Saya ada usulan yang mungkin sedikit melenceng tapi bisa dicoba. Kan tadi mas mengingatkan kita betapa sayangnya membuang buang makanan. Tapi di sisi lain orang bahagia bisa ngerjain temen sendiri. Mungkin kesenangan ngerjain orang ini bisa dimanfaaatkan oleh orang orang kreatif untuk membangun ekonomi mereka.

    Jadi gini mas, gimana kalau orang orang kreatif itu buat produk khusus untuk ngerjain orang yang ulang tahun. Produk produk itu harus murah dan bukan dari bahan makanan. Selain itu produknya juga harus yang gampang dibersihkan. Misal nih “tepung tawa” yang terbuat dari sisa sisa styrofoam dipotong kecil kecil atau “telur bahagia” yang terbuat dari air yang dikentalkan.

    Nah kan semua jadi bahagia. Yang di serang gampang nyucinya. Yang nyerang tetap tertawa dan para cleaning service dengan mudah membersihkan. Plus industri produk ulang tahun ini bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    Reply

    • Ide segar. Jeli membaca yg saya paparkan,lalu mengambil intisari dr kejadian ini untk kmudian jd ide baru.jk eksekusi bgs bgt nih.salah satu alasan ngeblog,biar dpt ide segar spt komentar anda.terima kasih byk.

      Reply

  10. hari gini serius amat kak… seru-seruan aja kali… perang tepung atau apa pun itu kalo dilakukan pada orang yang bener-bener dekat pasti seru.
    Kalo sahabat kita dikasih perang ide pas ultahnya.. malah bikin bete dan ngerusak moment. Garing mampus…

    Perang ide hanya bisa dilakukan jika teman yang ulang tahun bukan teman dekat/ bukan sahabat, bisa juga dikasih ke teman kantor, orang yang lebih tua dan lebih dihormati, .. atau pada seseorang yang statusnya dalam proses menuju kedekatan, pedekate sama yang bersangkutan, atau apa pun status hubungan yang belum benar2 dekat.

    dan btw, perang tepung udah ada sebelum OVJ keleus…

    Reply

  11. Posted by anonymous on November 9, 2014 at 4:56 PM

    Berlebihan ah paparannya…. itu wajar aja. Boleh hura hura dgn cara seperti itu, setelah itu merenungkan diri kan pasti. Semua org mau tidak mau harus merenungkan dirinya kok… 🙂

    Reply

    • Berlebihan ya? Hmmm. Menurut saya tidak berlebihan. Banyak cara kreatif untuk memberikan kejutan pada orang yang ultah. Jadi, jangan sampai kita membuang makanan, mengotori sesuatu yang sudah dibersihkan orang yang bekerja khusus untuk itu (OB).

      Reply

  12. Posted by laras on December 30, 2014 at 8:32 PM

    sepertinya anda adalah orang yang membosankan

    Reply

    • Jangan judge dulu, sebelum ketemu dan bergaul betul dengan orangnya. Saya orangnya ngangenin lho…hehehehehe.. Makasih dah mampir di blog saya.

      Reply

  13. makan makan aja gak usah perang tepung..

    Reply

  14. Posted by gefry on March 9, 2016 at 12:54 PM

    ass wr wb
    menurut saya artikel anda bagus.
    artikelnya juga ada ide kreatifnya.
    hanya saja sepertinya artikel anda terlalu mengintimidasi orang yang melakukan perang tepung.
    kembali pada ucapan anda, paradigma dan prespektif orang itu berbeda.
    Dan satu hal, biasanya perang tepung cuma dilakukan ketika acara ulang tahun saja mass bro. jadi wajar donk kalo orang membuat moment spesial yang hanya bisa dilakukan sekali dalam setahun. dan biasanya orang yang berulang tahun juga senang kok karna banyak juga orang yang ingat akan ulang tahun dia dan banyak juga orang yang peduli dengan dia walaupu sedikit nyebelin ya..
    Saya rasa hanya sedikit saja kemubaziran terjadi disini, sebab tepung ataupun telur merupakan bahan untuk membuat kue. jadi disini bahan bahan tersebut digunakan untuk mengerjai orang yang berulang tahun bukan untuk membuat kue ulang tahun. Saya rasa pengeluarannya setimpal, karena tetap saja dari mereka dan untuk mereka juga.
    Kalo soal OVJ, namanya juga acara tv puny ciri khas masing masing. yang namanya lawak udah pasti yang di tampilkan itu hal lucu, jadi kalo anda ingin menonton acara seperti yang anda minta, yang kaku ataupun elegant, acara itu gak ada di acara komedi sob.

    satu hal yang harus anda ketahui sob,
    biasanya orang yang ngelakuin acara perang tepung itu anak anak ataupun ramaja. Bukan orang yang sudah menikah,bukan orang tua atau juga bukan pekerja kantor.
    kalo ngerayain ulang tahun seperti nyalon bareng, makan bareng,traktir pizza, atau apalah, yang namanya anak anak gak punya uang lah sob.

    mohon maaf jika perkataan saya tidak enak di dengar. saya hanya menyampaikan pendapat.
    wass wr wb

    Reply

Leave a reply to gefry Cancel reply

childhoodoptimizer

"Optimalkan masa kecil anak, agar hidupnya selamat, kelak!"

One's Blog

Ucapan berhamburan - Tulisan akan bertahan

Ollie dan Dunianya

"I read, I travel, and I become"

penjelajahmimpi

Terus menjelajahi mimpi, karena semua berawal dari sini

Chae's Blog

Life begins at the end of your comfort zone

Muhammad Jhovy Rahadyan

Be The Best Of Ourself

Ardisaz

Game Development and Game Industry news in Indonesia

Kiki Barkiah

Ummi diary

Fitri Ariyanti's Blog

Mengolah Rasa, Menebar Makna

DIENG PLATEAU

PARADISE OF CENTRAL JAVA

Febri Photography

Kadang keindahan diawali oleh kegilaan

dinysullivan92

This Is My Life

Tentang Hidup

Hidup sekali, Hiduplah yang berarti..

Seorang Pemuda Pendamba Ridho Ilahi

Pecinta Dzikir dalam Alunan Fikir

Seni Hidup

=Ketidaksempurnaan Itu Cantik=

Story of Jingga

Biarlah tertulis apa adanya

literasi . seni . lestari

untaian patahan kata bertaut menjadi narasi beresensi

direizz

Just another WordPress.com site

Komunitas Ngejah

Desa Sukawangi - Kec Singajaya - Kab Garut

sihaik

This WordPress.com site is the bee's knees

Azinuddinikrh's Blog

barangkali kau benar, hanya malaikat dan gemericik air lah yang dapat membawaku pergi berlalu

rumah matahari

"sebab tiap kata adalah rumah doa, maka semoga hanya ruh kebaikan yang menjadi penghuninya."

Ayunda Damai

- a bibliophile & learner

Kicau Kaki

Melangkah, memotret, menulis

serbaserbitoyota

information & news

Scientia Afifah

bacalah, dan bertumbuhlah!

Yanto Musthofa

Pengabdian pada bangsa, dedikasi pada profesi, dan segala pikiran serta pengalaman kehidupan adalah harta pusaka yang hilang bila tidak diabadikan. Jangan sia-siakan. Lestarikan dan wariskan dalam buku!

nimadesriandani

Balanced life, a journey for happiness site

Rindrianie's Blog

Just being me

rizasaputra

tempat kuring ngacapruk

Moh Darodjat

Muhammadiyah Gerakanku

Ruli Blogger

Wordpress.com

Faiz' Journey

Mushonnifun Faiz Sugihartanto's Journey

JaTiara

Menulis itu soal rasa bukan hanya tentang tata bahasa

Imaji Tiada Batas!

Hidup sederhana, berkarya luar biasa.

Ridwanologi

Ruang Pandang Ridwan Aji Budi Prasetyo

unspoken mind

if you can't tell, just write

Arip Yeuh!

Harimau berburu, burung terbang, dan protagonis kita ini terus menggerutu

jemari anneo

"LEPASKAN YANG RAGU, GENGGAM YANG PASTI".

RGS no tsubuyaki

dengan semangat Bangun Indonesia!

just a treasure

jika kau bertanya apa hartaku yang paling 'berharga', maka kau sudah menemukannya. :)

Penyukajalanjalan

Jelajahi dunia selagi bisa

Mirna's Blog

My Life, My Story