Bagaimana proses lamaranku bersama orangtua yang hanya berselang 2 hari jelang akad nikah? Apakah kami pakai adat Jawa saat lamaran? Apa pula cerita di balik sederhananya seserahanku? Apa kesibukanku bersama keluarga sehari jelang akad dan resepsi? Episode ini akan kita kupas tuntas.
Setelah rumah kontrakanku diterjang “Badai Katrina”, keadaan cukup memusingkan. Tinggal belasan hari jelang nikah. Aku hidup tunggang-langgang. Masih numpang di kos bu Bisono. Untung aku bertemu beliau dan baik hati menyediakan tempat penampungan.
Tak terasa, 3 hari jelang nikah. Papa-mama sudah datang dari Riau. Karena aku ada di kos dan persiapan nikah banyak yang belum beres, akhirnya papa mama menginap di kosku saja. Jujur, papa-mama belum begitu tahu apa saja yang musti disiapkan untuk seserahan dan lainnya. Jangankan itu. Calon menantunya saja mereka belum pernah lihat yang seperti apa bentuk-rupa-wujudnya. Jadi, kami perlu konsolidasi lebih erat agar persiapan matang. Kalau Papa-mama tinggal di hotel, tentu ribet urusannya. Koordinasi terbatas.
Untung orangtuaku tipe yang easygoing. Mereka tidak banyak menuntut ini-itu. Aku bertiga dengan orangtua sebenarnya masih terkaget-kaget, bisa menikah dalam waktu singkat dengan jodoh yang tak disangka-sangka. Dan rumah jodohku jauh pula. Dari ujung ke ujung, dari Barat (Riau/ Sumatera Barat) ke Timur (Jawa Timur). Ini seperti ungkapan when west meets east.
Aku kerja seperti biasa. Ketika jam kerja, Papa-mama biasanya jalan-jalan. Aku dibelikan baju baru, celana baru, dan barang-barang serba baru. Saat itu aku tak bisa mikir sebenarnya. Sudah sangat mepet, dan kondisi juga sedang cari rumah kontrakan baru untuk ditempati. Kan ga lucu, setelah menikah, lalu istrinya diajak ke kos yang sempit?
Malam hari, aku, papa, mama saling ngobrol. Kami tukar pikiran. Papa-mama nanya soal bagaimana karakter Andin dan keluarganya. Mereka belum pernah bertemu juga soalnya. Aku ceritakan sebisaku. Karena aku juga terbatas pengetahuan dan interaksi dengan keluarga Andin. Tapi, ditilik dari latar belakang orangtuanya, keluarga kami tidak jauh beda visi-misinya. Menurutku tidak akan jadi masalah untuk ke depannya. Akan mudah menyatukan karakter kami berdua. Itu keyakinanku.
Ini bisa jadi pegangan bagi Anda yang masih bingung, bagaimana menentukan apakah keluarga kedua calon mempelai cocok atau tidak. Bisa dilihat dari bagaimana cara mereka mendidik, visi mereka dalam menyekolahkan anaknya, etos kerja keluarga masing-masing. Semua hal detil bisa jadi pertimbangan. Kalau hampir mirip, bisa dipastikan adaptasi kedua keluarga bisa cepat.
Kembali ke ceritaku. Enaknya papa-mama menginap di kos, kami bisa tidur dempet-dempetan. Sesuatu yang jarang aku rasakan. Maklum, lebih dari 15 tahun aku merantau ke pulau Jawa, pisah dari orangtua. Paling ketemu pas lebaran.
Dipeluk mama saat tidur itu, rasanya nikmat. Rindu terpendam sekian tahun, bisa lenyap dalam sekejap.
Oia, aku hampir lupa. Ketika papa-mamaku datang ke Jakarta, aku sedang bertugas di sebuah pernikahan sepupu temanku, Jefri Abdullah. Ia memintaku mengaji di akad nikah sepupunya. Aku menyanggupi meski waktu persiapan nikahku sudah tinggal mepet. Minimal, dalam hitung-hitunganku, ini sejenis gladi resik jelang aku nikah. Melihat proses menikah orang lain sebelum nikah aku rasa penting, agar tidak nervous saat giliran kita menikah. Aku terbiasa jadi qori di acara nikahan. Jadi, kalau dihitung-hitung, sudah belasan kali aku menjalaninya. Melihat sang pengantin mengucap janji suci dari jarak yang sangat dekat. Kadang, rasa grogi mereka tertular padaku. Aku seolah merasakan bagaimana tegangnya menjadi pengantin.

“Latihan Nikah”

“Belajar” Akad Nikah
Continue reading →