Hari Minggu pagi yang lalu benar-benar mengejutkan buat keluarga kami. Awalnya keadaan berjalan normal. Hari Minggu waktunya kami leyeh-leyeh dan siap-siap untuk berpetualang ke pasar bersama Manda dan Afiqah.
“Grenggg….greennggg….”
Truk pembawa sampah di komplek kami datang seperti biasanya. Istriku dengan sigap mengepak sampah di dapur. “Panda, bukain pintu depan ya..” Aku segera membukakan pintu agar istriku leluasa mengantarkan seplastik sampah rumah tangga berbungkus plastik berwarna putih.
Sebelum memberikan ke kolektor sampah, istriku memasukkan satu toples bening berisi ikan teri Bu Rudi yang kami beli beberapa waktu lalu di Surabaya di tumpukan paling atas. Jadi, ia kelihatan jelas dari kasat mata. Mengapa ia membuang segerombolan ikan teri tersebut? Menurut istriku sudah tidak layak makan. Selain sudah lama di kulkas, ia juga sudah melempem.
Aku melihat betul dalam slow motion ketika istriku menyerahkan sampah tersebut ke kolektor sampah. “Pak ini pak..,” ujar istriku sambil menyerahkan plastik sampah rumah tangga kami bersama tong sampah mini. Kejadiannya cepat sekali. Aku pun melihat proses serah-terima sampah tersebut.
Si bapak kolektor sampah yang turun dari truknya, lalu menerima sampah dari istriku. Saat itulah kejadian yang tak kami sangka-sangka terjadi.
Ikan teri Bu Rudi yang ada di toples bening dan terletak di tumpukan paling atas di plastik bening pemberian istriku, seketika diamankan oleh bapak kolektor sampah. Ia mengambilnya, lalu memegangnya erat dengan satu tangan. Sampah lain dari istriku ia berikan kepada temannya yang ada di atas truk.
“Jleb….”
Istriku tertegun melihatnya. Ia buru-buru masuk rumah dan menceritakan padaku. “Panda, ikan terinya diambil tukang sampah..”
“Hah?” Aku kaget. Seketika mataku terasa panas. Tepat di ujung kedua mataku, rasanya mulai ada air yang siap menetes lirih.
Tak perlu kata-kata untuk menjelaskan kejadian tersebut karena memang aku mengamati betul detil proses pemberian sampah itu ke tangan kolektor sampah. Dan ia dengan cepat-kilat mengamankan ikan teri yang kami anggap tidak layak makan tadi.
“Ya Allah….keluarga kami KAU tegur lewat kolektor sampah”
Aku pun berpikir, betapa keluarga kami tak bersyukur atas nikmat Allah. Kadang, ketika jalan-jalan ke suatu daerah, kita seperti “lapar mata” dan beli banyak makanan. Jangankan jauh-jauh, kalau lagi belanja bulanan ke supermarket, atau ke pasar, bisa jadi Anda dan keluarga membeli banyak sekali makanan tanpa perhitungan. Cek masing-masing kulkas keluarga Anda. Betapa tumpah ruah makanan di dalamnya. Namun, belum tentu makanan tersebut mampu kita habiskan semua. Sifat tamak dalam jiwa ini benar-benar diperlihatkan oleh Allah.
Setelah membeli banyak makanan, kami tidak bertanggung jawab menghabiskannya. Meski itu dari uang kami, seharusnya kami menghabiskannya, enak ataupun tidak enak. Di luar sana, banyak orang yang butuh makan. Banyak orang yang kesulitan mencari nafkah, demi memberi makan keluarganya. Si kolektor sampah, bisa saja memberikan ikan teri itu ke keluarganya. Apa jadinya jika ia memakan ikan teri yang melempem? Ah, hati ini sungguh tak enak dibuatnya. Keluarga kami benar-benar belajar sesuatu yang penting pagi itu.
“Manda, besok kita kasih kejutan ke kolektor sampah. Jumlahnya ada berapa?” tanyaku.
“Ada empat kayaknya,” jawab Manda menerka-nerka.
Pagi ini, kami pun sudah menyiapkan kejutan untuk kolektor sampah komplek. Apa itu? Rahasia lah. Kalau dikasih tahu, ga kejutan namanya. Mudah-mudahan hal itu bisa menyenangkan mereka dan keluarganya.
Kadang dalam hidup ini, kita lupa belajar dari lingkungan terdekat. Kadang kita lupa diri. Kadang kita tidak perhatian dan cuek bebek. Banyak orang yang membutuhkan perhatian kita. Jika kita lebih perhatian pada lingkungan, bukan tidak mungkin, malah kita yang mendapat pelajaran hidup yang berharga. Anda punya cerita tentang lingkungan Anda? Yuk berbagi di sini. Mention link blog cerita anda kepada saya @pukul5pagi
Salam Anget-anget,
“Biasakanlah yang benar, jangan membenarkan kebiasaan”