Judul di atas adalah ungkapan spontan dari Afiqah yang tak kami sangka-sangka. Ucapan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Entah siapa yang mengajarkan. Kami tanya ke Uti dan Akungnya, dijawab tidak pernah mengajarkan hal tersebut. Manda dan Pak Ading (sekarang lagi berganti nama panggilan jadi Ayah), pun tidak pernah mengajarkannya punya kosakata tersebut.
“Kok kayak orang tuwek dek…dek…” kata Uti.
Secara mengejutkan, beberapa minggu lalu, Afiqah minta ikut Uti-nya ke Surabaya. Ini adalah permintaan pisah dari orangtua ke luar kota pertama kali buatnya. Jadinya kami selaku orangtua cukup kaget, shock, dan merasa ini hanya bluffing dari Afiqah. Gertak sambal kalau kata orang. Kenapa kami yakin begitu? Karena ia masih sangat tergantung pada Manda Andin saat mau tidur. Lalu, kalau bangun tidur juga sangat tergantung pada Manda Andin. Ada kalanya ia tidur dan bangun dengan sangat so sweet, mandiri sekali. Tapi ya lebih banyak tergantung ke Manda Andin sih. Kadang sama ayah juga minta didongengin sebelum tidur. Sampai-sampai si ayah mulai ngarang-ngarang on the spot karena stok cerita sudah habis tapi si anak tetap nagih, lagi-lagi.
Belum lagi kalau Afiqah ngamuk (tantrum). Wah, bisa runyam dah. Afiqah sedang di fase “naik kelas” kalau mengacu pada teori perkembangan anak yang dipelajari Manda Andin di pelatihan Metode Sentra yang diadakan di Batutis Al-Ilmi Bekasi. Naik tahapannya karena ia mulai ngamuk-ngamuk jika mendapati sesuatu yang tak sesuai keinginannya.
Misalnya, ada film kartun di tv yang ia tonton. Lalu, ia tidak sepakat ada kekerasan atau hal yang tidak baik di film tersebut. Maka, ia protes, dan ingin tokoh antagonis dihilangkan dari film kartun tersebut. “Hapus ibu-ibu jahat” (penyihir jahat di Cinderella). Nah lho, maka ayah dan manda pun menjadi bingung. Bagaimana caranya ketika kita sedang nonton tv, ada orang jahat, dan ia ingin orang jahat itu enyah dari layar kaca. Kan ga bisa dihapus begitu saja?
Agaknya ia belum siap untuk menerima konsep “orang jahat’ karena di sekolahnya selalu diajarkan konsep menjadi orang baik. Mungkin ini kesalahan kami selaku orangtua juga yang masih membolehkan ia menonton tv. Harusnya belum saatnya di usia sekarang belum genap 3 tahun. Maafkan kami bu Siska, yang belum sepenuhnya tanpa tv dan gadget buat Afiqah. But at least, kami senang karena Afiqah sudah bisa membedakan mana orang dengan tindakan baik, mana orang dengan tindakan jahat. Ia berhasil mengklasifikasi perbedaan keduanya. Menariknya, bahkan kalau di tv, ia bisa mengidentifikasi based on back sound yang sedang berjalan. Jika nada lagunya sedih, ia bisa merasakan kesedihan. Jika mengerikan, ia juga sudah siap-siap mengidentifikasi akan ada orang yang berbuat jahat. Nanti kami ceritakan lebih detail dalam satu tulisan review film Inside Out.
Berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta
Akhirnya setelah bertanya dan meyakini Afiqah memang sudah siap melangkah ke Surabaya, kami mulai pesan tiket pesawat. Kami juga menyiapkan kira-kira benda atau barang apa yang harus dibawa Afiqah agar ia merasa nyaman.
Afiqah meminta tasnya yang ada di rumah Cibubur dibawa ke apartemen di Kebon Jeruk. Oke, saya harus pulang ke Cibubur hanya untuk mengambil tas geretan kesayangan Afiqah yang berwarna merah muda. Begitu sampai di apartemen, ia sudah berada di depan pintu, langsung menagih, “Mana tas Afiqah?” Jawabanku, “Sabar nak, masih ada di bagasi mobil. Besok pagi Pak Ading bawakan ke sini, boleh ya? Kan berangkatnya masih 2 hari lagi?”
Ia seperti sudah tidak sabar untuk packing, beres-beres, mempersiapkan diri untuk terbang ke Surabaya. Padahal masih dua hari lagi berangkatnya. Benar-benar anak yang berkarakter well-prepared. Ketika sudah dijanjikan sesuatu, ia akan menagih secara persistence. Anak Metode Sentra memang begitu. Ia fokus mengejar apa yang memang jadi tujuannya. Jadi, orangtua harus berhati-hati untuk tidak gampang mengumbar janji mau begini atau begitu. Orangtua juga harus belajar untuk tepat janji. Jika memang tidak bisa ditepati, tidak usah dijanjikan.
Sama halnya dengan politik di Indonesia. Kalau anak Indonesia masa sekarang diperkenalkan metode sentra, lalu karakternya persistence dalam menagih janji, wah, ini bisa cepat maju Indonesia. Karena kalau di Indonesia, biasanya politisi, kepala negara, atau siapapun yang bersentuhan dengan kegiatan politik, pada umumnya sangat gampang berjanji, lalu masalah realisasi janji, itu urusan belakangan. Kalau bisa dilupakan. Toh, rakyatnya ga nyinyir menagih janji yang sudah terucap. Toh, rakyatnya kerap lupa dengan janji yang sudah terucap. Toh, kalau rakyatnya dikasih isu lain yang lebih WOW, bisa lupa dengan janji pas kampanye. Gampang banget menaklukkan masyarakat Indonesia sebenarnya. Mereka cepat lupa. Tak terlalu persistence menagih janji. Itu tentu saja hanya pendapat pribadi saya saja, hasil observasi dan kontemplasi di balik layar tv yang biasa saya tonton lewat program news di 11 channel nasional. Isu-isu yang bergulir, silih berganti, dan tak ada isu yang dikawal tuntas oleh masyarakat. Kalau ada, mohon kasih tahu saya.
Kembali ke Afiqah. Ketika hari H tiba, Afiqah begitu bersemangat. Entah berapa kali ia ucapkan, “Afiqah Siap Melangkah ke Surabaya”. Manda Andin mengantarkan Afiqah dan Uti-nya ke Bandara Soekarno-Hatta. Ini momen mengharukan sebenarnya. Belum pernah melepas Afiqah ke luar kota tanpa didampingi orangtuanya. Akan bagaimanakah ia nanti di Surabaya? Bagaimana kalau nangis? Bagaimana kalau tidak bisa di-handle Uti? Bagaimana jika ia tiba-tiba kangen ingin pulang ke Jakarta ketemu Manda-Pak Ading? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di otak Manda Andin dan Pak Ading.
Ajaibnya, ketika kami tanya ke Afiqah, “Bagaimana kalau nanti manda-panda kangen Afiqah? Kan lagi di Surabaya?” Secara tenang Afiqah menjawab, “Kalau kangen, kan bisa telepon..”
Ah, iya. Anak kecil ini bisa aja ngejawabnya. Benar juga ya. Tinggal telepon saja. Apalagi sekarang sudah bisa pakai video call. Gratis pula pakai LINE. Bisa lihat langsung wajah anaknya. Jalan juga nih logika Afiqah.
Kekhawatiran-kekhawatiran kami terkikis melihat kesiapan Afiqah setelah kami test lewat berbagai pertanyaan dengan varian kemungkinan kejadian yang akan ia jalani nanti di Surabaya. Entah mengapa, kami jadi teryakinkan saja. Anaknya PD banget tidak akan terjadi hal-hal yang serius nan menyusahkan. Kami mampu berdamai dengan ketakutan ala orangtua yang kami bangun di persepsi kami sendiri.
Afiqah turun dari mobil bersama Uti. Manda Andin tidak mengantarkan hingga ke dalam. Cukup di luar saja. Afiqah dengan sigap membawa tas travel-nya yang berwarna merah muda itu sendiri. Ia tidak mau dibantu Uti. Mandiri sekali. Alhamdulillah.
Inilah yang kami syukuri dari dampak pendidikan metode sentra terhadap anak. Anda bisa melihat anak Anda lebih mandiri dari sebelum-sebelumnya karena kemandirian dibangun selama proses belajar-mengajar di Batutis Al-Ilmi. Makan sendiri, pakai sepatu sendiri, menggambar sendiri, ambil minum dari gallon sendiri, memilih baju yang ingin dibeli sendiri, membawa kantong belanjaan di fresh market sendiri. Semua serba sendiri. Orangtua jadi tidak terlalu capek mengurusi anak karena si anak sudah dibangun konsep dirinya sejak dini. Itu akan sangat membantu meringankan tugas orangtua. Buat Anda yang masih berpegangan pada konsep mengurusi anak dengan segala kegiatan yang barusan saya sebutkan, maka mulai sekarang harus segera diubah polanya. Kalau apa-apa Anda yang kerjakan buat anak Anda, kelak ketika besar, ia tak bisa apa-apa, serba tergantung pada orangtuanya. Bisa bahaya. Termasuk nanti kalau milihin jurusan untuk kuliah, ia pun bisa jadi tak mampu memilih. “Terserah papa-mama aja”. Jika itu terjadi, benar-benar cilaka. Cilaka 12. Eh, 13.
Pada kasus Afiqah, dan mungkin teman-temannya yang lain yang mendapatkan pola belajar dengan Metode Sentra, asyiknya itu si anak bisa diajak komunikasi. Komunikasi itu dua arah. Ada pemberi pesan, ada penerima pesan, dan ada pesan yang disampaikan. Jadi, kami benar-benar menyampaikan beberapa pesan kunci kepada Afiqah (pijakan) agar ia bisa melewati perjalanan pertama ke luar kota ini tanpa hambatan berarti. Setelah kami sampaikan beberapa pesan, ia bisa menerimanya dengan baik. “Ok,” katanya singkat, tanda setuju dengan pesan kami. Sekilas terlihat seperti sedang negosiasi dengan orang dewasa karena dijawab singkat, padat, tapi setelah kami amati ketika ia di Surabaya, semua pesan kami dijalaninya dengan baik. Tidak ada masalah berarti.
Anak yang Sentimentil
Namanya anak-anak, pisah dari orangtua pasti ada rasa kangennya. Nah, karena ia sudah konsekuen dengan resiko kangen tadi, ketika kami menelpon Afiqah dan ia merasa ingin ke Jakarta ketemu Manda-Panda, ia menunjukkan sebuah bentuk wajah yang bikin saya dan Andin tersenyum.
Suatu waktu, ketika kami telepon, kata Uti ia minta pulang sekarang ke Jakarta. Tapi kata Uti lagi, tiket harus dibeli dulu, tidak bisa langsung pulang hari ini. Harus dipesan dulu. Tersisa 2 hari lagi di Surabaya dan sepertinya ia kangen berat dengan Manda Andin. Pas kami telepon, dia tidak mau melihat langsung ke arah Manda lewat video call. Mulutnya seperti komat-kamit, pencang-pencong. Matanya mulai agak-agak merah, seperti mau menangis. Lalu ia menunduk dan mengelap air matanya di sofa. Ditanya manda, “Afiqah kangen manda?” Semakin berkomat-kamit mulut, mata memerah, dan gambaran sedih itu terpancar nyata lewat video call. Tapi buru-buru Uti dan tante-tantenya mengalihkan perhatian Afiqah untuk bermain kemah-kemahan di dalam rumah. Cepat sekali recoverynya. Tapi satu hal yang kami amati, ternyata Afiqah cukup sentimentil juga orangnya. Tapi karena sudah konsekuen untuk tahan berpisah antar-kota, ya ia tak menangis mewek besar-besaran di depan kami. Gengsi juga kali ya. Hahaha. Karena ia sudah janji pada diri sendiri untuk takkan menangis yang di luar kontrol.
Pulang ke Jakarta
Selama di Surabaya, Afiqah akrab sekali dengan tante-tantenya, dan Om Jefri. Om Jefri baru saja menikah dengan Tante Uwik beberapa bulan lalu. Perawakannya seperti orang Jepang. Afiqah hampir setiap malam minta didongengin oleh tante dan om-nya.
Kadang dengan tante Amirinnisa, kadang dengan Om Jefri. Uniknya, meski minta didongengin oleh Om Jefri, sebenarnya pas sudah buka buku, Afiqah-lah yang banyak mendongeng untuk Om Jefri. Kebalik sebenarnya.
Ketika mau pulang ke Jakarta, Afiqah mengucapkan kata-kata perpisahan dengan Om Jefri, “Om Jefri jangan sedih ya. Afiqah siap melangkah ke Jakarta”. Lagi favorit banget kata-kata “siap melangkah”.
Sepulang dari Surabaya, Afiqah terlihat membal pipinya. Ini hasil pengaturan stok ransum yang diberikan Uti kepada Afiqah. Ia dijejali makanan dan minuman. Kalau pas sama orangtuanya, Afiqah malah ga gendut-gendut. Hehehehe. Ga apa-apa, yang penting sehat aja udah alhamdulillah ya nak.
Oleh-oleh lain yang terlihat adalah Afiqah mulai bisa berbahasa Jawa sedikit-sedikit. Beberapa kosakata Jawa seperti “Emoh”, “Peyan” (sampeyan), “Sego”, dan beberapa lagu Jawa sudah hafal. Diantara liriknya adalah “Jah Gajah…kowe tak kandani Jah…”, “Cublak cublak suweng….”, dan lain-lain.
Menurut saya, harusnya anak sejak dini diajarkan juga Bahasa daerah, selain Bahasa Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi? Nanti Afiqah diajarin juga Bahasa Minangkabau, biar ia kaya budaya, mampu melihat berbagai perspektif budaya orang yang berbeda-beda dan punya rasa empatik yang tinggi sejak dini terhadap budaya etnis di Indonesia yang memang beragam.
Afiqah Siap Melangkah ke ……
Menariknya, setelah sukses melangkah ke Surabaya, ternyata Afiqah enjoy sekali dengan jalan-jalan ke luar kotanya. Tak berapa lama, Uti mengusulkan untuk membawa Afiqah ke daerah perbatasan Tegal/ Pemalang, ke kampung Akung, dekat dengan pemandian air panas Guci. Afiqah lalu bilang, “Afiqah siap berangkat ke Tegal”.
Setelah dari Tegal, Afiqah, Uti, Tante Icut, Tante Uwik, Om Jefri naik kereta ke Surabaya. Afiqah lalu berujar “Afiqah siap melangkah ke Surabaya”. Dari Tegal/ Pemalang, mereka berangkat pakai kereta api. Pas kami telepon, Afiqah langsung lapor, “Naik keretanya kenceng banget. Suaranya wush wush wush..”. Ia menikmati sekali perjalan naik kereta api. “Enak,” katanya memberi testimoni naik kereta api.
Dari Surabaya, ia lalu berangkat lagi ke Lombok naik pesawat, menyambut adek Uti yang akan pulang dari haji tahun ini. Afiqah pun berujar, “Afiqah siap melangkah ke Lombok”. Sekarang posisinya, ia sedang di Lombok bersama Uti dan 2 tantenya yang cantik kayak itik. Afiqah sudah jalan-jalan ke Kuta-Lombok, Gili Trawangan, Senggigi, dan entah mana lagi. Kami tak sabar menanti dapat cerita apa dari pengalaman jalan-jalan si bocah cilik ini.
Wah, Afiqah udah seperti petualang saja. Ayah saja belum pernah ke Lombok, eh anaknya dah ke sono, keliling-keliling ke pantai nan indah. Semoga pengalaman Afiqah melangkah ke daerah manapun saat ini, bisa menjadi bekal yang kuat baginya ketika besar nanti untuk berpetualang lebih luas dan lebih jauh lagi menuju belahan dunia manapun dari alam semesta ciptaan Allah ini.
Afiqah siap melangkah keliling dunia… Amin!