Archive for January, 2016

Menjadi Tua di Jakarta

Menjadi Tua di Jakarta

Source: google.co.id

“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”

– Menjadi Tua di Jakarta, Seno Gumira Ajidarma

Menepi Untuk Proyek Menulis

Hari ini Kamis (28/01/16) saya berangkat ke sebuah daerah untuk merampungkan tulisan draft buku tentang Afiqah. Beberapa tulisan lain tentang Metode Sentra juga turut akan ditulis. Biar gaya dikit, nulisnya harus menepi dulu ke daerah yang sangat asri dan indah. Mencari pencerahan, biar nulisnya lancar seperti di tol Jagorawi kalau lagi lebaran hari pertama abis shalat Ied.

Saya ikut Pak Yudhistira Massardi menyepi untuk menulis di saung milik keluarga Pak Yudhistira di Tasikmalaya. Kami merencanakan untuk berangkat jam 5 pagi. Ada tawaran dari Pak Yudhistira untuk menginap saja di Sekolah Batutis agar tetap bisa berangkat habis subuh. Tapi, karena malamnya hujan, niat menginap di Batutis saya urungkan. Rencananya besok paginya sebelum subuh, saya berangkat dari rumah naik motor, lalu motornya dititip di rumah Pak Yudhis.

Awalnya mau berangkat bertiga, dengan Pak Yanto Musthofa sekalian. Tapi, beliau ada urusan lain, sehingga berangkatnya menyusul belakangan. Tepat pukul 5.30, kami jalan. Kemacetan masih belum parah. Hanya agak melambat menjelang Cikarang Utama. Maklum, truk dan kontainer masih saling berebut untuk dahulu-mendahului di jalan tol, meski napas mereka ngos-ngosan sebenarnya tak kuat digeber sedemikian rupa.

Kami janjian di rest area KM 174 untuk bertemu Kang Taufik. Ia rekan kerja Pak Yudhistira mulai dari Gatra, hingga Nebula dulu. Sampai sekarang masih tetap berhubungan baik. Kebetulan rumah beliau ada di Bandung. Jadi, ketika kami pas jam 07:58 sampai di TKP, tak berapa lama Kang Taufik pun datang. Kami sarapan bersama.

Kami ngobrol banyak hal, salah satunya tentang suatu peluang bisnis. Itung-itung dan kalkulasinya enteng-entengan, bebas sebebas-bebasnya. Eksplorasi ide. Hal menarik, dalam diskusi peluang bisnis ini, tak lupa Kang Taufik mengingatkan bahwa ada kebutuhan dari orang untuk selfie jika sedang jalan-jalan kemanapun. Itu harus ditangkap sebagai sebuah peluang dan harus diakomodir. Biasanya kebutuhannya foto-foto tersebut dipajang di laman sosial miliknya. Jadi, kalau mau berbisnis, harap perhitungkan faktor tersebut. Pengamatan yang menarik. Ga cuma ibu-ibu sepertinya. Hampir semua orang yang sudah berinteraksi dengan social media, punya kecenderungan hobi selfie sepertinya.

Tahu H. Ateng

Pas keluar dari tol, Kang Taufik membocorkan rahasia tempat beli tahu Sumedang favorit untuk dikunyah di daerah Cileunyi. Setelah putaran sekeluarnya dari pintu keluar tol, Anda akan menemukan pertigaan lampu merah. Begitu belok kiri, tunggu Anda bertemu dengan pom bensin Pertamina. Sebelah kiri jalan beberapa meter setelah pom bensin, ada tulisan Tahu H. Ateng. Nah, di situlah toko tahu yang enak dan recommended untuk dikonsumsi.

Tahu H. Ateng

Selain tempat itu, sebaiknya jangan dibeli deh. Saya sekeluarga pernah beli di sembarangan tempat akhir bulan Desember 2015, dan ternyata abal-abal. Rasa tahu Sumedang-nya merusak citra tahu Sumedang yang sebenarnya. Bayangan tahu Sumedang, sirna dan tercerabut dari akarnya. Jangan main-main dan coba-coba membeli tahu lain deh. Peringatan keras. Hehehe.

Mampir ke Kakak Pak Yudhistira

Sebelum sampai ke Tasik, kami mampir dulu ke rumah kakak perempuan Pak Yudhis satu-satunya di sekitar Ciawi, sebelum masuk Tasik. Di dekat rumahnya ada pemandian air panas yang terbuka buat umum. Ipar Pak Yudhis ini diserahi tugas mengelola pemandian air panas. Kami menemukan banyak tempat-tempat wisata yang skalanya kecil, tapi menarik di perjalanan ini.

Sampai di Saung Tengah Sawah

Letak saung milik Pak Yudhis benar-benar strategis dan indah. Ia tepat berada di tengah sawah yang masih hijau di kaki gunung Galunggung. Meski jalannya belum terlalu bagus aspalnya, tapi paling tidak sudah diaspal. Konon kata penjaga saung, nanti bulan Maret 2016 jalanan akan dicor (hot mix). Wah, makin mantap nih. Mungkin bakal sering main ke sini lagi.

Saung ini punya parkiran seluas 6 buah mobil. Saung ini bentuknya rumah panggung. Di bawahnya seharusnya ada kolam ikan. Tapi saat ini ditumbuhi tanaman sejenis enceng gondok. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang diplitur. Ada teras yang cukup luas untuk duduk-duduk diskusi. Rumah ini lantainya dari kayu. Kayu dilapisi dengan karpet sejenis plastik. Tak tahu pasti aku namanya. Rasanya hangat duduk di lantainya. Mulai dari ruang tamu, hingga ruang lainnya terpampang lukisan karya pak Yudhis. Ada 4 ruang tidur, 2 toilet, dan satu dapur. Di tiap kamar, ada kasur busa yang empuk dan tebal. Ada alas dan selimutnya. Hangat. Tiap kamar ada 2 jendela. Pas melihat keluar jendela, terpampang indah sawah yang menghijau. Dari kamarku, matahari bisa terlihat muncul malu-malu di pagi hari. Benar-benar menenangkan secara psikologis. Aman. Nyaman. Tenang. Maka, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

Di Kaki Gunung Galunggung

Hari ini saya mulai menepi dulu sementara di daerah terpencil yang indah, untuk menyelesaikan tulisan tentang Afiqah dan tulisan lain tentang Metode Sentra. Malam ini hujan awet sedari sore. Suara kodok berbunyi bersautan. Gemericik air di parit pinggir sawah dekat saung, membuat suasana malam ini begitu indah. Suasana desa banget. Sempat mati listrik. Namun menyala lagi. Ada yang ngopi, ada yang merokok, dan kami diskusi bersama tentang banyak hal tanpa batas. Kami membicarakan tentang hidup, visi, misi, realisasi mimpi, masalah politik, bisnis, yang bisa bikin kami terkadang tertawa terpingkal-pingkal. Renungan menarik tentang hidup. Semoga saya bisa fokus melahirkan karya. Wish me luck, bro and sis!

Ingin komunikasi dengan saya? Follow: @pukul5pagi

Baca juga tulisan reflektif lainnya: Raker Keluarga

Quote of The Day

“Hidup yang tidak pernah dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan”

Friedrich Schiller–Penyair Jerman–

friedrich-schiller-1

Istiqomah-lah, Afiqah!

Sepulang shalat jemaah dari masjid Darussalam Kota Wisata, saya menyaksikan kepolosan Afiqah yang mengundang tawa. Kami selalu beri pijakan ketika akan menyeberang jalan, kita harus perhatikan jalan, toleh kiri-kanan apakah ada mobil. Jika ada mobil, kita bisa memberikan tanda dengan tangan agar si supir melambatkan mobilnya.

Nah, pas keluar dari area parkir masjid, ternyata Afiqah mempraktekkannya. Ia menyodorkan telapak tangan kirinya kepada sebuah mobil sebagai sinyal untuk memperlambat lajunya karena kami sekeluarga ingin menyeberang jalan. Sang sopir yang melihat tindakan Afiqah ternyata langsung stop, membuka kaca dan ia tersenyum pada keluarga kami.

Melihat Afiqah menyetop mobil itu lucu sekali. Kami tahunya belakangan, setelah sang sopir menyapa kami. Ada-ada saja si kakak Afiqah.

Afiqah Pulang dari Masjid

Nah, itu bagian bahagianya. Lalu masuklah ke bagian tantrumnya.

Afiqah Tantrum

Kami ingin ke minimarket untuk beli keperluan makan malam. Manda Andin rencananya mau membeli telor dan minyak goreng. Lalu Afiqah nyeletuk, “Afiqah haus. Mau beli minum, boleh?” Manda Andin mencoba negosiasi bahwa kita bisa minum nanti di rumah. “Tapi, hausnya sekarang,” kata Afiqah. Okelah, sebotol minuman air mineral tak mengapa. Bahaya juga kalau kurang minum. Kami juga kehausan. Butuh minum.

Begitu sampai di minimarket, Afiqah dan Manda Andin sudah berkeliling mencari barang yang dibutuhkan. telor dan minyak goreng sudah di tangan. Begitu pas mau bayar, ternyata mata Afiqah tertuju pada buku mewarnai. Ia pun berjalan nyamperin rak buku mewarnai. Lalu Afiqah pun mulai pasang jurus merengek. Ia mulai meminta dibelikan buku mewarnai karena buku mewarnai yang ia punyai, ketinggalan di apartemen di Jakarta. “Di Cibubur belum ada,” begitu penjelasannya untuk meyakinkan kami berdua.

Tapi kami berdua langsung membaca gelagat tidak baik ini. Kami harus berani dan istiqomah dengan tujuan awal ke minimarket, yaitu membeli telor dan minyak goreng untuk makan malam. Tidak ada agenda lain di luar itu. Jadi, kalau Afiqah mau mengada-ada membeli hal di luar tujuan awal, harus direm. Tidak bisa semua hal yang dimaui anak, harus kita turuti agar ia merasa senang. Tidak bisa seperti itu. Kita harus strict, bahwa jika kita ingin sesuatu, harus ada prosesnya, ada planningnya, ada pengalokasiannya. Tidak bisa segala sesuatu itu selalu datang tiba-tiba, tanpa rencana, atau bahkan hanya untuk memenuhi keinginan mendadak alias nafsu semata. Hal ini sangat perlu ditekankan kepada anak.

Afiqah mulai menangis. Mulai dari level nada rendah, sedang, lalu tinggi, dan sampai pada kondisi tidak terkontrol karena suaranya berisik mengganggu pengunjung minimarket. Akhirnya, saya harus ambil sikap. “Mohon maaf Afiqah, tidak semua keinginan kamu harus kami turuti. Kita harus istiqomah sesuai tujuan awal mau beli apa ke sini. Untuk beli buku mewarnai bukan sekarang waktunya. Itu bukan kebutuhan mendesak. Nanti bisa menunggu kita ke apartemen,” kataku sambil menggendong Afiqah keluar dari minimarket. Tindakan saya itu tergolong ke dalam tindakan opsi terakhir setelah negosiasi secara verbal tidak berhasil, yaitu physical intervention. Itu dibutuhkan dalam kondisi darurat chaotic terjadi.

Afiqah menangis makin menjadi-jadi. Semua orang lihat kami dengan seorang anak di gendongan yang meraung. Tak apa-apa dibilang macam-macam oleh orang lain. Ini momentum pembelajaran buat Afiqah. Tidak semua hal harus diikuti. Tidak semua kemauan dan keinginan bisa terwujud tiba-tiba. Semua butuh proses. Itu pesan mendalam yang ingin kami sampaikan kepadanya secara tidak langsung.

Kami terpaksa masuk mobil, lalu beranjak pulang. Ia tetap menangis. Manda Andin tetap memberikan sugesti positif. “Manda mengerti perasaan Afiqah. Afiqah sedih. Tapi kita tetap harus sesuai tujuan awal mau belanja apa tadi sebelum berangkat. Kita mau beli telor dan minyak goreng, kan?”

Manda Andin memeluk Afiqah dengan penuh kasih sayang, meski ia tetap dalam keadaan menangis. “Manda yakin Afiqah bisa mengontrol emosi. Afiqah kan sudah kakak-kakak, sudah sekolah playgroup” kata Manda Andin memberi apresiasi sekaligus menyindirnya secara halus.

Begitu masuk gerbang komplek perumahan kami, Afiqah masih menangis. Sampai di depan rumah, ia masih tetap menangis. Tapi begitu sudah turun dari mobil, tangisnya mulai reda. Ia sudah bisa kontrol emosi.

“Afiqah butuh berapa menit untuk tenangkan diri?” tanya Manda Andin.

Mulut Afiqah menjawab dalam kalimat terbata-bata sambil isakan tangis sesekali menyelinginya, “Lima menit.” Ok, kita beri lima menit. Biasanya sih lima menitnya masih belum akurat. Biasanya kurang dari waktu normal lima menit.

Sesuai Tujuan, Tetap Istiqomah

Praktis, dari sejak nangis awal, hingga reda, durasi menangis Afiqah hanya sekitar 12 menit. Waktu 12 menit yang sangat krusial dan menentukan pembentukan karakter seorang anak. Apakah orangtuanya “mengalah” demi anak, atau ia tetap pada pendirian dan istiqomah menjalani tujuan awal yang sudah ditetapkan?

Saya dan Andin meyakini, jika kita terlalu gampangan menuruti kemauan anak, kelak ia bisa dengan mudah minta ini-itu tanpa tahu ada proses yang berdarah-darah juga dalam mewujudkan keinginan tersebut. Ada yang miss di sana, yaitu proses mewujudkannya. Anak yang terbiasa sedikit-sedikit minta ini-itu lalu diwujudkan orangtuanya secara cepat, akan menganggap ketika minta sesuatu, jurus simsalabim bisa dipakai dan bisa berhasil. Tinggal minta, tiba-tiba barangnya ada. Ia tidak akan mau tahu bahwa untuk mau sesuatu itu, butuh perjuangan terlebih dahulu.

Namun beda hasilnya jika anak yang kita biasakan strict dengan memperhatikan proses serta mampu membedakan keinginan dengan kebutuhan. Kalau si anak mampu istiqomah pada tujuan awal, lalu ia juga mengerti bahwa jurus ujug-ujug bisa dapat ini-itu tidak berlaku, maka ia akan tumbuh menjadi orang yang sangat menghargai proses dan perjuangan hidup. Rasa syukurnya pun lebih tinggi.

Kami membiasakan Afiqah untuk bisa mengerem nafsu keinginannya. Ia harus bisa potong ego-nya. Beberapa bulan lalu, ketika Afiqah punya keinginan untuk memiliki sepeda, kami tidak langsung membelikan. Kami memberikan informasi bahwa untuk beli sepeda, butuh waktu dan usaha. Harganya mahal, dan kita harus kumpulkan uang dulu. Untuk mengumpulkan uang, kita harus bekerja, berkarya. Jadilah Afiqah menyibukkan diri seolah-olah ia bekerja di rumah. Ia sibuk belajar. Memberes-bereskan mainannya, dan dia anggap itu bekerja.

“Lagi apa kak?” tanyaku iseng di suatu siang. “Afiqah mau kerja dulu mau nabung buat beli sepeda.” Kami hanya senyum menanggapinya. Meski konsep kerjanya masih kurang tepat, tapi okelah. Ia tak langsung ujug-ujug bisa dapatkan sepeda dengan mudah. Harus kerja dulu, harus cari uang dulu. Harus hitung, berapa upaya dan usaha yang harus dilakukan untuk capai target yang sudah dikunci tadi. Konsep itu yang kami install di kepala Afiqah. Kalau mau sesuatu, harus ada usahanya. Tidak bisa menengadahkan tangan begitu saja. Terima pasif, terima jadi. Dengan begitu, kita melatih logika berpikir Afiqah (logic mathematic). Ia jadi tahu tentang sebab-akibat, konsekuensi logis dari suatu tindakan. Kalau mau sesuatu, rencanakan sejak jauh-jauh hari. Itu lebih baik. Meski kami tidak menutup ruang untuk tetap bisa melakukan tindakan impulsif seperti pemberian hadiah kejutan atau tindakan surprise lainnya.

Tantangan Lingkungan

Permasalahan yang kerap kita hadapi adalah manakala ada orang di sekeliling kita yang terlalu mudah memberikan atau memenuhi keinginan anak kita. Bisa saja kakek-neneknya, atau om-tantenya. Atas nama kasih sayang, semua barang yang diinginkan si anak segera hadir di pelupuk matanya dengan begitu cepat. Atas alasan agar si anak tidak nangis, semua barang dibelikan. Ini sulap dan ini sihir, TARA……

Untuk itu, perlu dikomunikasikan kepada keluarga besar kita bahwa untuk membangun mentalitas dan karakter anak yang lebih baik, kita jangan sampai memanjakan anak dengan gampangan memberikan ini-itu sesuai keinginan dia. Kita harus selektif, dan memperhatikan ada proses perjuangan yang harus dilalui seseorang jika ia inginkan sesuatu. Orangtua dan keluarga besar harus satu frekuensi dalam menjalankan pola asuh terhadap seorang anak agar tidak ada kebingungan di dalam dirinya.

Menghargai proses adalah sesuatu yang mahal di Indonesia, karena banyak orang yang tak sabaran dan ingin potong-kompas saja. Budaya ingin sukses instan adalah musuh yang harus dienyahkan dalam pikiran kita. Sukses yang dicapai lewat perjuangan yang berproses, masa “panen”-nya lebih lama. Tidak cepat hilang.

Dalam pengamatan kejadian kongkret di jalanan, kita sering lihat banyak motor karena buru-buru mengejar waktu, saban hari melawan arus untuk bisa sampai lebih cepat ke tempat yang dituju. Padahal sudah disediakan U-TURN meski memang sedikit lebih jauh dibandingkan memotong jalan atau melawan arus. Tapi tetap saja, pola pikir melawan arus lalu lintas, itu adalah salah. Selain melanggar aturan lalu lintas, hal itu juga bisa membahayakan si pengendara dan pengendara lainnya. Efek lainnya, kemacetan jadi mengular kemana-mana karena ada kumpulan ego yang tak bisa ditahan. Seenak jidatnya saja. Yang penting kepentingan saya pribadi terpenuhi (cepat nyampai). Peduli setan dengan urusan jalanan jadi tambah macet kek, mau mandeg kek. Sabodo teuing kalau dalam istilah urang Sunda. Ini contoh kongkret orang yang tidak menghargai proses, hanya berorientasi result, ingin cepat sampai, apapun caranya. Segala cara ditempuh untuk memenuhi hasrat dan ego.

Mari mengubah masyarakat kita mulai dari keluarga kita, dari anak kita sendiri. Pastikan anak kita tidak ter-install prinsip “simsalabim sulap”, “asal cepat sampai”, “potong-kompas”, “egosentris” di dalam dirinya. Pastikan ia menghargai proses. Pastikan ia melakukan sesuatu, sesuai tujuan awal, tidak gampang terdistraksi di tengah jalan. Pastikan apapun kegiatan yang ia lakukan, ia harus istiqomah menjalani pilihan kegiatannya hingga tuntas. Tidak melenceng sana-sini. Pastikan juga kegiatan tersebut harus memenuhi kebutuhannya, bukan karena impulsif memenuhi keinginan hawa nafsu belaka. Kebutuhan selalu ada batasannya karena ada elemen pengukuran yang bisa dikontrol di dalamnya. Sedangkan keinginan, tidak ada batasnya. Ia adalah laju nafsu yang tak terkendali. Ia adalah jelmaan kongkret dari istilah matematika, Tak Terhingga (~).

Istiqomah ya Kakak Afiqah,

Adlil Umarat

Tim Riset & Pengembangan

Sekolah Dhuafa Bermetode Sentra, Batutis Al-Ilmi, Pekayon-Bekasi

@pukul5pagi

umarat.adlil@gmail.com

http://www.umarat.wordpress.com

08111170128

2015 in review

The WordPress.com stats helper monkeys prepared a 2015 annual report for this blog.

Here’s an excerpt:

The Louvre Museum has 8.5 million visitors per year. This blog was viewed about 110,000 times in 2015. If it were an exhibit at the Louvre Museum, it would take about 5 days for that many people to see it.

Click here to see the complete report.

childhoodoptimizer

"Optimalkan masa kecil anak, agar hidupnya selamat, kelak!"

One's Blog

Ucapan berhamburan - Tulisan akan bertahan

Ollie dan Dunianya

"I read, I travel, and I become"

penjelajahmimpi

Terus menjelajahi mimpi, karena semua berawal dari sini

Chae's Blog

Life begins at the end of your comfort zone

Muhammad Jhovy Rahadyan

Be The Best Of Ourself

Ardisaz

Game Development and Game Industry news in Indonesia

Kiki Barkiah

Ummi diary

Fitri Ariyanti's Blog

Mengolah Rasa, Menebar Makna

DIENG PLATEAU

PARADISE OF CENTRAL JAVA

Febri Photography

Kadang keindahan diawali oleh kegilaan

dinysullivan92

This Is My Life

Tentang Hidup

Hidup sekali, Hiduplah yang berarti..

Seorang Pemuda Pendamba Ridho Ilahi

Pecinta Dzikir dalam Alunan Fikir

Seni Hidup

=Ketidaksempurnaan Itu Cantik=

Story of Jingga

Biarlah tertulis apa adanya

literasi . seni . lestari

untaian patahan kata bertaut menjadi narasi beresensi

direizz

Just another WordPress.com site

Komunitas Ngejah

Desa Sukawangi - Kec Singajaya - Kab Garut

sihaik

This WordPress.com site is the bee's knees

Azinuddinikrh's Blog

barangkali kau benar, hanya malaikat dan gemericik air lah yang dapat membawaku pergi berlalu

rumah matahari

"sebab tiap kata adalah rumah doa, maka semoga hanya ruh kebaikan yang menjadi penghuninya."

Ayunda Damai

- a bibliophile & learner

Kicau Kaki

Melangkah, memotret, menulis

serbaserbitoyota

information & news

Scientia Afifah

bacalah, dan bertumbuhlah!

Yanto Musthofa

Pengabdian pada bangsa, dedikasi pada profesi, dan segala pikiran serta pengalaman kehidupan adalah harta pusaka yang hilang bila tidak diabadikan. Jangan sia-siakan. Lestarikan dan wariskan dalam buku!

nimadesriandani

Balanced life, a journey for happiness site

Rindrianie's Blog

Just being me

rizasaputra

tempat kuring ngacapruk

Moh Darodjat

Muhammadiyah Gerakanku

Ruli Blogger

Wordpress.com

Faiz' Journey

Mushonnifun Faiz Sugihartanto's Journey

JaTiara

Menulis itu soal rasa bukan hanya tentang tata bahasa

Imaji Tiada Batas!

Hidup sederhana, berkarya luar biasa.

Ridwanologi

Ruang Pandang Ridwan Aji Budi Prasetyo

unspoken mind

if you can't tell, just write

Arip Yeuh!

Harimau berburu, burung terbang, dan protagonis kita ini terus menggerutu

jemari anneo

"LEPASKAN YANG RAGU, GENGGAM YANG PASTI".

RGS no tsubuyaki

dengan semangat Bangun Indonesia!

just a treasure

jika kau bertanya apa hartaku yang paling 'berharga', maka kau sudah menemukannya. :)

Penyukajalanjalan

Jelajahi dunia selagi bisa

Mirna's Blog

My Life, My Story