Sepulang shalat jemaah dari masjid Darussalam Kota Wisata, saya menyaksikan kepolosan Afiqah yang mengundang tawa. Kami selalu beri pijakan ketika akan menyeberang jalan, kita harus perhatikan jalan, toleh kiri-kanan apakah ada mobil. Jika ada mobil, kita bisa memberikan tanda dengan tangan agar si supir melambatkan mobilnya.
Nah, pas keluar dari area parkir masjid, ternyata Afiqah mempraktekkannya. Ia menyodorkan telapak tangan kirinya kepada sebuah mobil sebagai sinyal untuk memperlambat lajunya karena kami sekeluarga ingin menyeberang jalan. Sang sopir yang melihat tindakan Afiqah ternyata langsung stop, membuka kaca dan ia tersenyum pada keluarga kami.
Melihat Afiqah menyetop mobil itu lucu sekali. Kami tahunya belakangan, setelah sang sopir menyapa kami. Ada-ada saja si kakak Afiqah.

Nah, itu bagian bahagianya. Lalu masuklah ke bagian tantrumnya.
Afiqah Tantrum
Kami ingin ke minimarket untuk beli keperluan makan malam. Manda Andin rencananya mau membeli telor dan minyak goreng. Lalu Afiqah nyeletuk, “Afiqah haus. Mau beli minum, boleh?” Manda Andin mencoba negosiasi bahwa kita bisa minum nanti di rumah. “Tapi, hausnya sekarang,” kata Afiqah. Okelah, sebotol minuman air mineral tak mengapa. Bahaya juga kalau kurang minum. Kami juga kehausan. Butuh minum.
Begitu sampai di minimarket, Afiqah dan Manda Andin sudah berkeliling mencari barang yang dibutuhkan. telor dan minyak goreng sudah di tangan. Begitu pas mau bayar, ternyata mata Afiqah tertuju pada buku mewarnai. Ia pun berjalan nyamperin rak buku mewarnai. Lalu Afiqah pun mulai pasang jurus merengek. Ia mulai meminta dibelikan buku mewarnai karena buku mewarnai yang ia punyai, ketinggalan di apartemen di Jakarta. “Di Cibubur belum ada,” begitu penjelasannya untuk meyakinkan kami berdua.
Tapi kami berdua langsung membaca gelagat tidak baik ini. Kami harus berani dan istiqomah dengan tujuan awal ke minimarket, yaitu membeli telor dan minyak goreng untuk makan malam. Tidak ada agenda lain di luar itu. Jadi, kalau Afiqah mau mengada-ada membeli hal di luar tujuan awal, harus direm. Tidak bisa semua hal yang dimaui anak, harus kita turuti agar ia merasa senang. Tidak bisa seperti itu. Kita harus strict, bahwa jika kita ingin sesuatu, harus ada prosesnya, ada planningnya, ada pengalokasiannya. Tidak bisa segala sesuatu itu selalu datang tiba-tiba, tanpa rencana, atau bahkan hanya untuk memenuhi keinginan mendadak alias nafsu semata. Hal ini sangat perlu ditekankan kepada anak.
Afiqah mulai menangis. Mulai dari level nada rendah, sedang, lalu tinggi, dan sampai pada kondisi tidak terkontrol karena suaranya berisik mengganggu pengunjung minimarket. Akhirnya, saya harus ambil sikap. “Mohon maaf Afiqah, tidak semua keinginan kamu harus kami turuti. Kita harus istiqomah sesuai tujuan awal mau beli apa ke sini. Untuk beli buku mewarnai bukan sekarang waktunya. Itu bukan kebutuhan mendesak. Nanti bisa menunggu kita ke apartemen,” kataku sambil menggendong Afiqah keluar dari minimarket. Tindakan saya itu tergolong ke dalam tindakan opsi terakhir setelah negosiasi secara verbal tidak berhasil, yaitu physical intervention. Itu dibutuhkan dalam kondisi darurat chaotic terjadi.
Afiqah menangis makin menjadi-jadi. Semua orang lihat kami dengan seorang anak di gendongan yang meraung. Tak apa-apa dibilang macam-macam oleh orang lain. Ini momentum pembelajaran buat Afiqah. Tidak semua hal harus diikuti. Tidak semua kemauan dan keinginan bisa terwujud tiba-tiba. Semua butuh proses. Itu pesan mendalam yang ingin kami sampaikan kepadanya secara tidak langsung.
Kami terpaksa masuk mobil, lalu beranjak pulang. Ia tetap menangis. Manda Andin tetap memberikan sugesti positif. “Manda mengerti perasaan Afiqah. Afiqah sedih. Tapi kita tetap harus sesuai tujuan awal mau belanja apa tadi sebelum berangkat. Kita mau beli telor dan minyak goreng, kan?”
Manda Andin memeluk Afiqah dengan penuh kasih sayang, meski ia tetap dalam keadaan menangis. “Manda yakin Afiqah bisa mengontrol emosi. Afiqah kan sudah kakak-kakak, sudah sekolah playgroup” kata Manda Andin memberi apresiasi sekaligus menyindirnya secara halus.
Begitu masuk gerbang komplek perumahan kami, Afiqah masih menangis. Sampai di depan rumah, ia masih tetap menangis. Tapi begitu sudah turun dari mobil, tangisnya mulai reda. Ia sudah bisa kontrol emosi.
“Afiqah butuh berapa menit untuk tenangkan diri?” tanya Manda Andin.
Mulut Afiqah menjawab dalam kalimat terbata-bata sambil isakan tangis sesekali menyelinginya, “Lima menit.” Ok, kita beri lima menit. Biasanya sih lima menitnya masih belum akurat. Biasanya kurang dari waktu normal lima menit.
Sesuai Tujuan, Tetap Istiqomah
Praktis, dari sejak nangis awal, hingga reda, durasi menangis Afiqah hanya sekitar 12 menit. Waktu 12 menit yang sangat krusial dan menentukan pembentukan karakter seorang anak. Apakah orangtuanya “mengalah” demi anak, atau ia tetap pada pendirian dan istiqomah menjalani tujuan awal yang sudah ditetapkan?
Saya dan Andin meyakini, jika kita terlalu gampangan menuruti kemauan anak, kelak ia bisa dengan mudah minta ini-itu tanpa tahu ada proses yang berdarah-darah juga dalam mewujudkan keinginan tersebut. Ada yang miss di sana, yaitu proses mewujudkannya. Anak yang terbiasa sedikit-sedikit minta ini-itu lalu diwujudkan orangtuanya secara cepat, akan menganggap ketika minta sesuatu, jurus simsalabim bisa dipakai dan bisa berhasil. Tinggal minta, tiba-tiba barangnya ada. Ia tidak akan mau tahu bahwa untuk mau sesuatu itu, butuh perjuangan terlebih dahulu.
Namun beda hasilnya jika anak yang kita biasakan strict dengan memperhatikan proses serta mampu membedakan keinginan dengan kebutuhan. Kalau si anak mampu istiqomah pada tujuan awal, lalu ia juga mengerti bahwa jurus ujug-ujug bisa dapat ini-itu tidak berlaku, maka ia akan tumbuh menjadi orang yang sangat menghargai proses dan perjuangan hidup. Rasa syukurnya pun lebih tinggi.
Kami membiasakan Afiqah untuk bisa mengerem nafsu keinginannya. Ia harus bisa potong ego-nya. Beberapa bulan lalu, ketika Afiqah punya keinginan untuk memiliki sepeda, kami tidak langsung membelikan. Kami memberikan informasi bahwa untuk beli sepeda, butuh waktu dan usaha. Harganya mahal, dan kita harus kumpulkan uang dulu. Untuk mengumpulkan uang, kita harus bekerja, berkarya. Jadilah Afiqah menyibukkan diri seolah-olah ia bekerja di rumah. Ia sibuk belajar. Memberes-bereskan mainannya, dan dia anggap itu bekerja.
“Lagi apa kak?” tanyaku iseng di suatu siang. “Afiqah mau kerja dulu mau nabung buat beli sepeda.” Kami hanya senyum menanggapinya. Meski konsep kerjanya masih kurang tepat, tapi okelah. Ia tak langsung ujug-ujug bisa dapatkan sepeda dengan mudah. Harus kerja dulu, harus cari uang dulu. Harus hitung, berapa upaya dan usaha yang harus dilakukan untuk capai target yang sudah dikunci tadi. Konsep itu yang kami install di kepala Afiqah. Kalau mau sesuatu, harus ada usahanya. Tidak bisa menengadahkan tangan begitu saja. Terima pasif, terima jadi. Dengan begitu, kita melatih logika berpikir Afiqah (logic mathematic). Ia jadi tahu tentang sebab-akibat, konsekuensi logis dari suatu tindakan. Kalau mau sesuatu, rencanakan sejak jauh-jauh hari. Itu lebih baik. Meski kami tidak menutup ruang untuk tetap bisa melakukan tindakan impulsif seperti pemberian hadiah kejutan atau tindakan surprise lainnya.
Tantangan Lingkungan
Permasalahan yang kerap kita hadapi adalah manakala ada orang di sekeliling kita yang terlalu mudah memberikan atau memenuhi keinginan anak kita. Bisa saja kakek-neneknya, atau om-tantenya. Atas nama kasih sayang, semua barang yang diinginkan si anak segera hadir di pelupuk matanya dengan begitu cepat. Atas alasan agar si anak tidak nangis, semua barang dibelikan. Ini sulap dan ini sihir, TARA……
Untuk itu, perlu dikomunikasikan kepada keluarga besar kita bahwa untuk membangun mentalitas dan karakter anak yang lebih baik, kita jangan sampai memanjakan anak dengan gampangan memberikan ini-itu sesuai keinginan dia. Kita harus selektif, dan memperhatikan ada proses perjuangan yang harus dilalui seseorang jika ia inginkan sesuatu. Orangtua dan keluarga besar harus satu frekuensi dalam menjalankan pola asuh terhadap seorang anak agar tidak ada kebingungan di dalam dirinya.
Menghargai proses adalah sesuatu yang mahal di Indonesia, karena banyak orang yang tak sabaran dan ingin potong-kompas saja. Budaya ingin sukses instan adalah musuh yang harus dienyahkan dalam pikiran kita. Sukses yang dicapai lewat perjuangan yang berproses, masa “panen”-nya lebih lama. Tidak cepat hilang.
Dalam pengamatan kejadian kongkret di jalanan, kita sering lihat banyak motor karena buru-buru mengejar waktu, saban hari melawan arus untuk bisa sampai lebih cepat ke tempat yang dituju. Padahal sudah disediakan U-TURN meski memang sedikit lebih jauh dibandingkan memotong jalan atau melawan arus. Tapi tetap saja, pola pikir melawan arus lalu lintas, itu adalah salah. Selain melanggar aturan lalu lintas, hal itu juga bisa membahayakan si pengendara dan pengendara lainnya. Efek lainnya, kemacetan jadi mengular kemana-mana karena ada kumpulan ego yang tak bisa ditahan. Seenak jidatnya saja. Yang penting kepentingan saya pribadi terpenuhi (cepat nyampai). Peduli setan dengan urusan jalanan jadi tambah macet kek, mau mandeg kek. Sabodo teuing kalau dalam istilah urang Sunda. Ini contoh kongkret orang yang tidak menghargai proses, hanya berorientasi result, ingin cepat sampai, apapun caranya. Segala cara ditempuh untuk memenuhi hasrat dan ego.
Mari mengubah masyarakat kita mulai dari keluarga kita, dari anak kita sendiri. Pastikan anak kita tidak ter-install prinsip “simsalabim sulap”, “asal cepat sampai”, “potong-kompas”, “egosentris” di dalam dirinya. Pastikan ia menghargai proses. Pastikan ia melakukan sesuatu, sesuai tujuan awal, tidak gampang terdistraksi di tengah jalan. Pastikan apapun kegiatan yang ia lakukan, ia harus istiqomah menjalani pilihan kegiatannya hingga tuntas. Tidak melenceng sana-sini. Pastikan juga kegiatan tersebut harus memenuhi kebutuhannya, bukan karena impulsif memenuhi keinginan hawa nafsu belaka. Kebutuhan selalu ada batasannya karena ada elemen pengukuran yang bisa dikontrol di dalamnya. Sedangkan keinginan, tidak ada batasnya. Ia adalah laju nafsu yang tak terkendali. Ia adalah jelmaan kongkret dari istilah matematika, Tak Terhingga (~).
Istiqomah ya Kakak Afiqah,
Adlil Umarat
Tim Riset & Pengembangan
Sekolah Dhuafa Bermetode Sentra, Batutis Al-Ilmi, Pekayon-Bekasi
@pukul5pagi
umarat.adlil@gmail.com
http://www.umarat.wordpress.com
08111170128