Lagi enak-enak nonton pertandingan Barcelona vs Manchester United di RCTI Oke jam 05.30 pagi, tiba-tiba pintu kamar diketok, “Tok-tok-tok..”
Aku pun membuka pintu kamar kos. Rahmat, tetangga kosku, memberikan sebuah tiket bertuliskan “Humaira”. Aku yakin itu label pakaian muslim dari aura-auranya karena ada label bertulis “collection“-nya kalau tidak salah lihat. Sayang aku lupa memotretnya.
“Mas, ada pembagian sembako di sebelah, ini tiketnya,” kata Rahmat. “Hah? Rasanya saya tak butuh tiket beginian?” begitu pikirku dalam hati. “Tiketnya buat kamu aja Mat,” balasku. “Oh, ndak bisa diwakilkan, harus ngambil langsung,” katanya lagi.
Bagi-bagi sembako di pagi hari? Emang ini musim kampanye ya? Aneh aja. Apa karena menyambut Ramadhan? Iya, mungkin menyambut Ramadhan. Aku terus berpikir, apakah akan mengambil jatah sembako itu atau tidak. Aku tak tahu, apa pertimbangan sehingga aku dapat jatah tiket sembako gratis itu. Jika mengacu pada keterangan tempat yang disebut Rahmat “di sebelah”, berarti mengacu pada tetanggaku yang berumah mewah. Ayah Rahmat bekerja sebagai kepala keamanan di rumah tersebut.
“Ambil ga ya? Aku kan ga berhak?” Setelah aku pertimbangkan, akhirnya aku memutuskan turut serta mengambil jatah sembako. Pertimbangan pertama adalah, selesai mengambil, seluruh jatahku aku kasih ke Rahmat. Karena tidak bisa diwakilkan, sayang aja tiketnya hangus. Mending buat si Rahmat dan keluarganya. Pertimbangan kedua, aku penasaran sekali, pengen tau bagaimana rasanya jadi orang penerima bantuan sembako. Rasanya belum pernah seumur hidup. Aku sedang membayangkan, ikut antrian. Seperti apa sensasinya? Cukup bikin penasaran. Tak apalah, coba. Minimal, kacamata sosiologiku bisa diasah pagi ini. Sejak ngeblog, aku selalu punya fantasi tertentu tentang banyak hal. Mulai dari pengen tahu bagaimana rasanya jadi pengamen jalanan, sampai ke pengemis. Rasanya pengen bedah apa yang ada di pikiran mereka. Nah, kali ini aku dapat kesempatan berperan sebagai penerima bantuan. Ketiga, aku juga pengen kenal dengan tetangga sebelah yang berumah mewah dan katanya pengusaha tajir. Ia belum terlalu lama menempati rumah baru tersebut. Rumahnya megah, meski kata Toha–tetangga kosku yang juga arsitek–pembangunan rumah mewah di sebelah kos terkesan terburu-buru, tidak rapi, asal jadi, dan seperti sedang ngejar setoran. Aku dan penghuni kos sempat complain terhadap pembangunan rumah itu yang siang-malam bising sekali. Siapakah big bos di balik rumah mewah itu? Rumah yang pagarnya tinggi dan ada satpam penjaga segala? Aku penasaran. Continue reading →