Archive for the ‘Social & Human Interest’ Category

Kepingan Koin Itu, Bikin Haru

Banyak orang bertanya, mengapa saya begitu berani pindah haluan ke dunia pendidikan di Batutis Al-Ilmi yang notabene sekolah untuk kaum dhuafa? Padahal sebelumnya karir sudah enak di TV. Pertanyaan-pertanyaan ini memang tidak mudah dijawab dengan gamblang. Namun kisah pagi ini sepertinya mampu menjawab salah satu alasan mengapa keputusan berani itu saya ambil.

Rupiah demi rupiah

Pagi ini saya dikejutkan dengan cerita dari Pak Yudhistira tentang orangtua murid Batutis Al-Ilmi yang tiba-tiba datang ke sekolah dan menyerahkan segepok kumpulan uang koin sejumlah Rp 150.000. Uang tersebut diberikan oleh orangtua murid tersebut sebagai infaq uang makan anaknya selama sebulan. Bu Siska dan Taya awalnya tidak ngeh tentang segepok kumpulan koin itu. Mereka bertanya-tanya, siapa yang mau tukaran uang koin? Ternyata, petugas TU sekolah menyampaikan bahwa uang tersebut adalah hasil keringat dari salah satu orangtua murid yang diserahkan tadi pagi.

FYI, Sekolah Batutis Al-Ilmi adalah sekolah bagi kaum dhuafa. Jumlah persentase siswa dari keluarga dhuafa sebanyak 70% dan 30% sisanya adalah kalangan mampu. Ada subsidi silang dari siswa dari kalangan yang mampu untuk biaya operasional sekolah. Banyak juga infak, shadaqah, zakat dari banyak orang yang concern dengan dunia pendidikan anak usia dini.

Pendanaan lain dari mana? Sisanya, Tim Batutis Al-Ilmi berjuang peras keringat banting tulang mencari pendanaan sana-sini. Lewat pelatihan Metode Sentra, penjualan buku, penjualan majalah, konsultansi sekolah yang ingin hijrah ke Metode Sentra, seminar parenting dengan tema based on request, dan kegiatan kreatif lainnya untuk menghasilkan pundi-pundi bagi pembiayaan operasional sekolah.

Kembali ke cerita di atas. Istimewanya dari infaq koin senilai Rp 150.000 itu dilakukan oleh orangtua dari tergolong dhuafa. Anda bisa bayangkan, bagaimana proses orangtua tersebut secara telaten mengumpulkan satu demi satu koin tersebut. Jika dalam sebulan ada 30 hari, maka 150.000/30 hari = Rp 5.000/ hari. Artinya, orangtua murid itu mengumpulkan 10 koin Rp 500 untuk biaya makan siang dan snack setiap hari di sekolah dalam sebulan.

Orangtua murid itu boleh saja tak mampu secara ekonomi, tapi semangat dan perjuangannya untuk tak melulu menengadahkan tangan agar terus dibantu, dikasihani, patut diacungi jempol.

Saya membayangkan bagaimana perjuangan yang persistence dari orangtua murid tersebut. Itu sangat mempengaruhi semangat kami di Tim Batutis Al-Ilmi. Temuan-temuan ajaib ini kadang jadi charger yang memenuhkan lagi semangat kami untuk berjuang membangun Batutis Al-Ilmi jadi lebih baik lagi.

Saya ingin sekali bertemu dan mewawancarai orangtua wali murid tersebut. Nantikan reportase mendalam tentang koin perjuangan yang bikin haru itu.

Anda ingin turut serta membantu Batutis Al-Ilmi agar lebih maju? Hubungi saya di nomor 08111170128 atau kontak ke email saya: umarat.adlil@gmail.com. Bantuan tidak harus berupa uang. Bisa memberikan tenaga, link jaringan sosial, mempertemukan kebutuhan training parenting di lingkungannya (tempat kerja atau rumah), bisa sharing soft skill, atau bisa macam-macam bentuknya. Yuk, turun tangan bantu Batutis Al-Ilmi. Saya tunggu ya, bro and sis!

“Afiqah Siap Melangkah ke Surabaya”

Judul di atas adalah ungkapan spontan dari Afiqah yang tak kami sangka-sangka. Ucapan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Entah siapa yang mengajarkan. Kami tanya ke Uti dan Akungnya, dijawab tidak pernah mengajarkan hal tersebut. Manda dan Pak Ading (sekarang lagi berganti nama panggilan jadi Ayah), pun tidak pernah mengajarkannya punya kosakata tersebut.

“Kok kayak orang tuwek dek…dek…” kata Uti.

Secara mengejutkan, beberapa minggu lalu, Afiqah minta ikut Uti-nya ke Surabaya. Ini adalah permintaan pisah dari orangtua ke luar kota pertama kali buatnya. Jadinya kami selaku orangtua cukup kaget, shock, dan merasa ini hanya bluffing dari Afiqah. Gertak sambal kalau kata orang. Kenapa kami yakin begitu? Karena ia masih sangat tergantung pada Manda Andin saat mau tidur. Lalu, kalau bangun tidur juga sangat tergantung pada Manda Andin. Ada kalanya ia tidur dan bangun dengan sangat so sweet, mandiri sekali. Tapi ya lebih banyak tergantung ke Manda Andin sih. Kadang sama ayah juga minta didongengin sebelum tidur. Sampai-sampai si ayah mulai ngarang-ngarang on the spot karena stok cerita sudah habis tapi si anak tetap nagih, lagi-lagi.

Belum lagi kalau Afiqah ngamuk (tantrum). Wah, bisa runyam dah. Afiqah sedang di fase “naik kelas” kalau mengacu pada teori perkembangan anak yang dipelajari Manda Andin di pelatihan Metode Sentra yang diadakan di Batutis Al-Ilmi Bekasi. Naik tahapannya karena ia mulai ngamuk-ngamuk jika mendapati sesuatu yang tak sesuai keinginannya.

Misalnya, ada film kartun di tv yang ia tonton. Lalu, ia tidak sepakat ada kekerasan atau hal yang tidak baik di film tersebut. Maka, ia protes, dan ingin tokoh antagonis dihilangkan dari film kartun tersebut. “Hapus ibu-ibu jahat” (penyihir jahat di Cinderella). Nah lho, maka ayah dan manda pun menjadi bingung. Bagaimana caranya ketika kita sedang nonton tv, ada orang jahat, dan ia ingin orang jahat itu enyah dari layar kaca. Kan ga bisa dihapus begitu saja?

Agaknya ia belum siap untuk menerima konsep “orang jahat’ karena di sekolahnya selalu diajarkan konsep menjadi orang baik. Mungkin ini kesalahan kami selaku orangtua juga yang masih membolehkan ia menonton tv. Harusnya belum saatnya di usia sekarang belum genap 3 tahun. Maafkan kami bu Siska, yang belum sepenuhnya tanpa tv dan gadget buat Afiqah. But at least, kami senang karena Afiqah sudah bisa membedakan mana orang dengan tindakan baik, mana orang dengan tindakan jahat. Ia berhasil mengklasifikasi perbedaan keduanya. Menariknya, bahkan kalau di tv, ia bisa mengidentifikasi based on back sound yang sedang berjalan. Jika nada lagunya sedih, ia bisa merasakan kesedihan. Jika mengerikan, ia juga sudah siap-siap mengidentifikasi akan ada orang yang berbuat jahat. Nanti kami ceritakan lebih detail dalam satu tulisan review film Inside Out.

Berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta

Akhirnya setelah bertanya dan meyakini Afiqah memang sudah siap melangkah ke Surabaya, kami mulai pesan tiket pesawat. Kami juga menyiapkan kira-kira benda atau barang apa yang harus dibawa Afiqah agar ia merasa nyaman.

Afiqah meminta tasnya yang ada di rumah Cibubur dibawa ke apartemen di Kebon Jeruk. Oke, saya harus pulang ke Cibubur hanya untuk mengambil tas geretan kesayangan Afiqah yang berwarna merah muda. Begitu sampai di apartemen, ia sudah berada di depan pintu, langsung menagih, “Mana tas Afiqah?” Jawabanku, “Sabar nak, masih ada di bagasi mobil. Besok pagi Pak Ading bawakan ke sini, boleh ya? Kan berangkatnya masih 2 hari lagi?”

Ia seperti sudah tidak sabar untuk packing, beres-beres, mempersiapkan diri untuk terbang ke Surabaya. Padahal masih dua hari lagi berangkatnya. Benar-benar anak yang berkarakter well-prepared. Ketika sudah dijanjikan sesuatu, ia akan menagih secara persistence. Anak Metode Sentra memang begitu. Ia fokus mengejar apa yang memang jadi tujuannya. Jadi, orangtua harus berhati-hati untuk tidak gampang mengumbar janji mau begini atau begitu. Orangtua juga harus belajar untuk tepat janji. Jika memang tidak bisa ditepati, tidak usah dijanjikan.

Sama halnya dengan politik di Indonesia. Kalau anak Indonesia masa sekarang diperkenalkan metode sentra, lalu karakternya persistence dalam menagih janji, wah, ini bisa cepat maju Indonesia. Karena kalau di Indonesia, biasanya politisi, kepala negara, atau siapapun yang bersentuhan dengan kegiatan politik, pada umumnya sangat gampang berjanji, lalu masalah realisasi janji, itu urusan belakangan. Kalau bisa dilupakan. Toh, rakyatnya ga nyinyir menagih janji yang sudah terucap. Toh, rakyatnya kerap lupa dengan janji yang sudah terucap. Toh, kalau rakyatnya dikasih isu lain yang lebih WOW, bisa lupa dengan janji pas kampanye. Gampang banget menaklukkan masyarakat Indonesia sebenarnya. Mereka cepat lupa. Tak terlalu persistence menagih janji. Itu tentu saja hanya pendapat pribadi saya saja, hasil observasi dan kontemplasi di balik layar tv yang biasa saya tonton lewat program news di 11 channel nasional. Isu-isu yang bergulir, silih berganti, dan tak ada isu yang dikawal tuntas oleh masyarakat. Kalau ada, mohon kasih tahu saya.

Kembali ke Afiqah. Ketika hari H tiba, Afiqah begitu bersemangat. Entah berapa kali ia ucapkan, “Afiqah Siap Melangkah ke Surabaya”. Manda Andin mengantarkan Afiqah dan Uti-nya ke Bandara Soekarno-Hatta. Ini momen mengharukan sebenarnya. Belum pernah melepas Afiqah ke luar kota tanpa didampingi orangtuanya. Akan bagaimanakah ia nanti di Surabaya? Bagaimana kalau nangis? Bagaimana kalau tidak bisa di-handle Uti? Bagaimana jika ia tiba-tiba kangen ingin pulang ke Jakarta ketemu Manda-Pak Ading? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di otak Manda Andin dan Pak Ading.

Ajaibnya, ketika kami tanya ke Afiqah, “Bagaimana kalau nanti manda-panda kangen Afiqah? Kan lagi di Surabaya?” Secara tenang Afiqah menjawab, “Kalau kangen, kan bisa telepon..”

Ah, iya. Anak kecil ini bisa aja ngejawabnya. Benar juga ya. Tinggal telepon saja. Apalagi sekarang sudah bisa pakai video call. Gratis pula pakai LINE. Bisa lihat langsung wajah anaknya. Jalan juga nih logika Afiqah.

Kekhawatiran-kekhawatiran kami terkikis melihat kesiapan Afiqah setelah kami test lewat berbagai pertanyaan dengan varian kemungkinan kejadian yang akan ia jalani nanti di Surabaya. Entah mengapa, kami jadi teryakinkan saja. Anaknya PD banget tidak akan terjadi hal-hal yang serius nan menyusahkan. Kami mampu berdamai dengan ketakutan ala orangtua yang kami bangun di persepsi kami sendiri.

Afiqah turun dari mobil bersama Uti. Manda Andin tidak mengantarkan hingga ke dalam. Cukup di luar saja. Afiqah dengan sigap membawa tas travel-nya yang berwarna merah muda itu sendiri. Ia tidak mau dibantu Uti. Mandiri sekali. Alhamdulillah.

Afiqah Mandiri

Afiqah Mandiri

Inilah yang kami syukuri dari dampak pendidikan metode sentra terhadap anak. Anda bisa melihat anak Anda lebih mandiri dari sebelum-sebelumnya karena kemandirian dibangun selama proses belajar-mengajar di Batutis Al-Ilmi. Makan sendiri, pakai sepatu sendiri, menggambar sendiri, ambil minum dari gallon sendiri, memilih baju yang ingin dibeli sendiri, membawa kantong belanjaan di fresh market sendiri. Semua serba sendiri. Orangtua jadi tidak terlalu capek mengurusi anak karena si anak sudah dibangun konsep dirinya sejak dini. Itu akan sangat membantu meringankan tugas orangtua. Buat Anda yang masih berpegangan pada konsep mengurusi anak dengan segala kegiatan yang barusan saya sebutkan, maka mulai sekarang harus segera diubah polanya. Kalau apa-apa Anda yang kerjakan buat anak Anda, kelak ketika besar, ia tak bisa apa-apa, serba tergantung pada orangtuanya. Bisa bahaya. Termasuk nanti kalau milihin jurusan untuk kuliah, ia pun bisa jadi tak mampu memilih. “Terserah papa-mama aja”. Jika itu terjadi, benar-benar cilaka. Cilaka 12. Eh, 13.

Pada kasus Afiqah, dan mungkin teman-temannya yang lain yang mendapatkan pola belajar dengan Metode Sentra, asyiknya itu si anak bisa diajak komunikasi. Komunikasi itu dua arah. Ada pemberi pesan, ada penerima pesan, dan ada pesan yang disampaikan. Jadi, kami benar-benar menyampaikan beberapa pesan kunci kepada Afiqah (pijakan) agar ia bisa melewati perjalanan pertama ke luar kota ini tanpa hambatan berarti. Setelah kami sampaikan beberapa pesan, ia bisa menerimanya dengan baik. “Ok,” katanya singkat, tanda setuju dengan pesan kami. Sekilas terlihat seperti sedang negosiasi dengan orang dewasa karena dijawab singkat, padat, tapi setelah kami amati ketika ia di Surabaya, semua pesan kami dijalaninya dengan baik. Tidak ada masalah berarti.

Anak yang Sentimentil

Namanya anak-anak, pisah dari orangtua pasti ada rasa kangennya. Nah, karena ia sudah konsekuen dengan resiko kangen tadi, ketika kami menelpon Afiqah dan ia merasa ingin ke Jakarta ketemu Manda-Panda, ia menunjukkan sebuah bentuk wajah yang bikin saya dan Andin tersenyum.

Suatu waktu, ketika kami telepon, kata Uti ia minta pulang sekarang ke Jakarta. Tapi kata Uti lagi, tiket harus dibeli dulu, tidak bisa langsung pulang hari ini. Harus dipesan dulu. Tersisa 2 hari lagi di Surabaya dan sepertinya ia kangen berat dengan Manda Andin. Pas kami telepon, dia tidak mau melihat langsung ke arah Manda lewat video call. Mulutnya seperti komat-kamit, pencang-pencong. Matanya mulai agak-agak merah, seperti mau menangis. Lalu ia menunduk dan mengelap air matanya di sofa. Ditanya manda, “Afiqah kangen manda?” Semakin berkomat-kamit mulut, mata memerah, dan gambaran sedih itu terpancar nyata lewat video call. Tapi buru-buru Uti dan tante-tantenya mengalihkan perhatian Afiqah untuk bermain kemah-kemahan di dalam rumah. Cepat sekali recoverynya. Tapi satu hal yang kami amati, ternyata Afiqah cukup sentimentil juga orangnya. Tapi karena sudah konsekuen untuk tahan berpisah antar-kota, ya ia tak menangis mewek besar-besaran di depan kami. Gengsi juga kali ya. Hahaha. Karena ia sudah janji pada diri sendiri untuk takkan menangis yang di luar kontrol.

Pulang ke Jakarta

Selama di Surabaya, Afiqah akrab sekali dengan tante-tantenya, dan Om Jefri. Om Jefri baru saja menikah dengan Tante Uwik beberapa bulan lalu. Perawakannya seperti orang Jepang. Afiqah hampir setiap malam minta didongengin oleh tante dan om-nya.

Kadang dengan tante Amirinnisa, kadang dengan Om Jefri. Uniknya, meski minta didongengin oleh Om Jefri, sebenarnya pas sudah buka buku, Afiqah-lah yang banyak mendongeng untuk Om Jefri. Kebalik sebenarnya.

Ketika mau pulang ke Jakarta, Afiqah mengucapkan kata-kata perpisahan dengan Om Jefri, “Om Jefri jangan sedih ya. Afiqah siap melangkah ke Jakarta”. Lagi favorit banget kata-kata “siap melangkah”.

Sepulang dari Surabaya, Afiqah terlihat membal pipinya. Ini hasil pengaturan stok ransum yang diberikan Uti kepada Afiqah. Ia dijejali makanan dan minuman. Kalau pas sama orangtuanya, Afiqah malah ga gendut-gendut. Hehehehe. Ga apa-apa, yang penting sehat aja udah alhamdulillah ya nak.

Oleh-oleh lain yang terlihat adalah Afiqah mulai bisa berbahasa Jawa sedikit-sedikit. Beberapa kosakata Jawa seperti “Emoh”, “Peyan” (sampeyan), “Sego”, dan beberapa lagu Jawa sudah hafal. Diantara liriknya adalah “Jah Gajah…kowe tak kandani Jah…”, “Cublak cublak suweng….”, dan lain-lain.

Menurut saya, harusnya anak sejak dini diajarkan juga Bahasa daerah, selain Bahasa Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi? Nanti Afiqah diajarin juga Bahasa Minangkabau, biar ia kaya budaya, mampu melihat berbagai perspektif budaya orang yang berbeda-beda dan punya rasa empatik yang tinggi sejak dini terhadap budaya etnis di Indonesia yang memang beragam.

Afiqah Siap Melangkah ke ……

Menariknya, setelah sukses melangkah ke Surabaya, ternyata Afiqah enjoy sekali dengan jalan-jalan ke luar kotanya. Tak berapa lama, Uti mengusulkan untuk membawa Afiqah ke daerah perbatasan Tegal/ Pemalang, ke kampung Akung, dekat dengan pemandian air panas Guci. Afiqah lalu bilang, “Afiqah siap berangkat ke Tegal”.

Setelah dari Tegal, Afiqah, Uti, Tante Icut, Tante Uwik, Om Jefri naik kereta ke Surabaya. Afiqah lalu berujar “Afiqah siap melangkah ke Surabaya”. Dari Tegal/ Pemalang, mereka berangkat pakai kereta api. Pas kami telepon, Afiqah langsung lapor, “Naik keretanya kenceng banget. Suaranya wush wush wush..”. Ia menikmati sekali perjalan naik kereta api. “Enak,” katanya memberi testimoni naik kereta api.

Pertama kali naik KA

Pertama kali naik KA

Dari Surabaya, ia lalu berangkat lagi ke Lombok naik pesawat, menyambut adek Uti yang akan pulang dari haji tahun ini. Afiqah pun berujar, “Afiqah siap melangkah ke Lombok”. Sekarang posisinya, ia sedang di Lombok bersama Uti dan 2 tantenya yang cantik kayak itik. Afiqah sudah jalan-jalan ke Kuta-Lombok, Gili Trawangan, Senggigi, dan entah mana lagi. Kami tak sabar menanti dapat cerita apa dari pengalaman jalan-jalan si bocah cilik ini.

Afiqah di Lombok

Afiqah di Lombok

Wah, Afiqah udah seperti petualang saja. Ayah saja belum pernah ke Lombok, eh anaknya dah ke sono, keliling-keliling ke pantai nan indah. Semoga pengalaman Afiqah melangkah ke daerah manapun saat ini, bisa menjadi bekal yang kuat baginya ketika besar nanti untuk berpetualang lebih luas dan lebih jauh lagi menuju belahan dunia manapun dari alam semesta ciptaan Allah ini.

Afiqah siap melangkah keliling dunia… Amin!

Si Rambut "Medusa"

Si Rambut “Medusa”

Afiqah Mau Berbagi

Akhir-akhir ini aku suka geleng-geleng kepala karena Afiqah. Ia mengalami tantrum yang kita belum temukan solusi tepat untuk meredam atau mengatasinya secara tuntas. Sampai akhirnya ketika pembagian raport Toddler di Sekolah Batutis, kami diberikan pencerahan yang luar biasa banyak dari guru Afiqah. Nama bu gurunya adalah Bu Nur. Beliau sangat klik dengan Afiqah. Ia sudah mendapatkan trust dari Afiqah. Jadi, ketika komunikasi, seperti tidak ada barrier diantara mereka.

Salah satu sikap tantrum yang cukup mengganggu dari Afiqah adalah saat ia ngamuk-ngamuk selalu mengatakan hal berbeda dari yang sebaiknya dilakukan oleh orang normal/ awam. Ia sedang dalam fase selalu mengatakan hal negatif alias kebalikan dari yang disarankan. Misalnya, “Berbagi lebih baik…” lalu Afiqah akan menjawab, “Afiqah gak mau berbagi…” atau dengan kalimat lain, “Afiqah belum siap berbagi terus-terus…”

Kalau dari kacamata orang awam, mungkin Afiqah akan diberi label “anak yang kurang sopan” atau “kurang diajari”. Maklum, jika ia tak mau salaman dengan orangtua yang ia temui, atau secara spontan dan lantang bilang “tak mau berbagi”, tentu akan ada dahi yang mengernyit melihat sikap anak kecil seperti itu. Jadi, kami harus meluaskan dan melapangkan hati kami. Kami harus yakin bahwa anak kami bukannya tidak mau berbagi, tapi ia memang sedang dalam fase selalu bertolak belakang dari apa yang diucapkan lawan bicaranya.

Tips dari Bu Nur

Setelah puyeng mencari solusi bagaimana mengatasi kekeuh-nya Afiqah untuk selalu berkata berkebalikan dari lawan bicaranya, maka akhirnya dapat juga tips dari Bu Nur, gurunya Afiqah. Beliau menyarankan kepada saya dan Andin untuk tidak perlu panik. Jika ingin mengubah sikap Afiqah, tidak perlu berkata-kata ini dan itu. Cukup berikan contoh, maka Afiqah akan berpikir, dan ia akan mengikuti sesuai teladan yang diberikan.

Wah, terdengar begitu idealis dan mungkin nyaris utopis itu nasehat bu Nur. Itu seperti pelajaran-pelajaran PPKN di sekolahan. Seperti melakukan hal baik yang normatif. “Rasanya tak mungkin,” ujarku dalam hati. Masa sih tanpa diomongin, dan hanya memberi contoh, kita bisa mengubah tabiat tantrum Afiqah? Tapi karena yang berbicara dan memberi masukan adalah guru Afiqah yang selalu berinteraksi dengan Afiqah di weekdays, dan kami percaya padanya, maka saya dan Andin pun mengatur strategi, bagaimana biar Afiqah ini bisa berubah sedikit demi sedikit. Terutama saat ia kena tantrum. Jangan sampai selalu saja hal negatif yang ia ungkapkan.

Praktek Tips

Sebelumnya, kami ingin menjelaskan bagaimana kondisi Afiqah saat ini. Saat ini dia selalu bilang, “Afiqah gak mau berbagi”. Ia ada di fase sebagai “raja yang egois tingkat tinggi”. Serba “Aku sendiri” deh pokoknya. Kalau dibantu, malah marah. Kalau gak dibantu, bakal butuh waktu lama dan dia kesal sendiri, lalu akhirnya nangis. Misalnya saja ketika membuka kancing baju. Itu hal yang sedang digandrunginya. Beli baju atau memakai baju hanya mau yang berkancing.

Afiqah Mau Berbagi

Afiqah Mau Berbagi

Maka kami pun menyiapkan beberapa action plan sebagai implementasi dari strategi mengubah Afiqah. Pertama, kami menyiapkan niat dulu. Niat kami adalah mengubah agar Afiqah mau berbagi. Kami ingin menetapkan kampanye untuk mengubah prinsip Afiqah yang “tak mau berbagi” jadi “mau berbagi”. Pilihan timing-nya adalah saat ada rencana pulang ke Pemalang di akhir pekan. Rencananya kami ingin berbagi pakaian yang masih bagus, tapi sudah tidak muat di perut/ lingkaran perut. Itu yang akan kami bagikan kepada orang yang membutuhkan.

Kedua, bagaimana caranya? Kami harus memberi contoh kepadanya, tak perlu kata-kata direct yang kesannya menasehati seperti seorang ustadz menceramahi jemaah. Kami berdua –saya dan Andin—sepakat untuk membongkar lemari pakaian kami, lalu melakukan klasifikasi mana pakaian yang akan tetap kami keep, mana yang akan kami bagikan kepada orang yang membutuhkan di kampung mertua di Pemalang. Waktu itu sebenarnya Afiqah masih tidur. Tapi kami sisakan ada beberapa pakaian agar aksi bongkar lemari ini bisa dilihat oleh Afiqah lewat mata kepalanya sendiri. Jadi tidak based on “katanya…..” atau perintah langsung ke anak. Kami ingin memberikan contoh lewat aksi nyata, bukan retorika.

Ketiga, eksekusi. Ketika Afiqah bangun tidur, kami ajak ia datang ke kamar di bagian belakang rumah. Saat itu kami sedang sibuk-sibuknya menyusun dan memilah-milih baju mana yang harus disimpan mana yang harus dibagi kepada orang yang membutuhkan.

Afiqah celingak-celinguk. Ia heran melihat tumpukan pakaian yang banyak berserakan di kasur. Kami hanya mengamati saja tingkah Afiqah. Nyawanya belum menyatu betul dengan badan. Masih mengusap-usap mata. Tak berapa lama ia bertanya, “Kenapa bajunya ditaruh di sini?”

Nah, dalam hati aku berkata, “Wah, umpan mulai dimakan nih ama Afiqah…sip banget”

Kami menjelaskan dengan santai dan seolah ini adalah hal yang biasa dilakukan. “Oh, pak Ading dan Manda Andin mau berbagi pakaian yang masih bagus buat tetangga Akung di kampong di Pemalang.”

“Afiqah ga mau berbagi terus-terus….!” Ucapnya merespon.

Oke. Ga apa-apa. Respon yang sudah kami tebak sebelumnya. Kami pun lalu tetap melanjutkan proses pemilihan baju-baju yang akan disumbangkan. Kami tak terganggu dengan respon Afiqah. Manda Andin merespon, “Oh, Afiqah belum mau berbagi. Tidak apa-apa. Manda sama Pak Ading tetap mau berbagi kok.”

Afiqah dengan wajah tengilnya tetap tidak mau berbagi. Ia belum siap. Kami pun tetap melanjutkan aktivitas bongkar lemari dan pilah-pilih pakaian yang masih bagus. Kata hadist, berikanlah barang yang kau cintai untuk diberikan kepada orang lain. Di sanalah konsep keikhlasan diuji. Rela gak ngasih barang terbaik yang kita punya?

Tengil Dikit

Tengil Dikit

Manda Andin bolak-balik dari satu kamar ke kamar lain, mencari pakaian yang masih bagus. Setelah 10 menit berlalu, Afiqah mulai bertanya. “Kenapa bajunya dikasih ke orang manda?”

Manda Andin secara brilian menjelaskan, “Di kampung Akung di Pemalang itu dingin. Banyak adik kecil yang kedinginan di sana. Jadi mereka butuh baju.”

Ini penjelasan yang sangat pas, tepat, cucok.

Apa respon Afiqah? Ternyata ucapan Manda Andin itu langsung kena di hati Afiqah. Nyangkut. Instalasi alasan “why” ini berdampak sangat positif. Seketika itu juga ia langsung berubah dari “tidak mau berbagi”, jadi mulai terbuka untuk “mau berbagi”.

Afiqah mulai membuka laci pakaiannya. Ia mencari baju bayi yang sudah sempit, untuk diberikan kepada adik bayi di kampung Akung. Ia lalu meletakkan satu baju itu ke kardus yang kita sudah siapkan. Kami seperti coach yang memancing lagi agar coachee-nya menemukan sendiri jawaban kenapa kita “harus berbagi”.

Afiqah tidak puas dengan hanya memberi satu baju. Sementara itu, kami tetap masih sibuk mengumpulkan lagi baju yang bisa disumbangkan. Afiqah mulai membuka lagi laci pakaiannya. Ia ambil lagi baju lainnya, lalu ditaruh di kardus lagi. Sampai akhirnya, ia mengumpulkan cukup banyak baju.

Kami iseng nanya, “Kenapa Afiqah mau ngasih bajunya?” Ia lalu menjawab, “Afiqah mau berbagi untuk adik bayi, kasihan kedinginan.”

“Alhamdulillah, Afiqah sudah mau berbagi sekarang….” Ternyata untuk menyentuh hati seorang anak kecil yang egonya sedang tinggi banget ke-AKU-annya, tidak terlalu sulit. Rumusnya, cukup beri contoh tindakan secara persistence, lalu suntikkan alasan “WHY” yang tepat dari balik suatu tindakan, lalu lihat reaksi dari dirinya. Jika tepat, hasilnya akan luar biasa. Alhamdulillah.

Hasil dari bongkar lemari pakaian adalah 3 kardus. Dua diantaranya kardus kecil, dan satu kardus besar. Rasanya senang bisa melepaskan barang-barang yang kita cintai. Saya membayangkan, jika tiap keluarga melakukan hal yang sama, membongkar barang-barang yang tak lagi mereka gunakan, namun kualitasnya masih bagus, tentu akan sangat membantu keluarga lain yang membutuhkan.

Penutup

Buat orangtua yang sedang kesulitan menaklukkan anaknya yang sedang egois, silakan coba tips dari guru Afiqah di atas. Untuk mengubah perilaku dan prinsip seseorang, kita tidak harus ceramah berbusa-busa. Cara terbaik adalah memberikan teladan secara tulus. Lalu lihat keajaiban darinya.

Terima kasih Bu Nur, terima kasih Bu Siska, Pak Yudhis, dan semua guru Batutis yang keren-keren dalam berjuang mempraktekkan Metode Sentra untuk membangun karakter anak. Makin banyak bukti bahwa metode ini memanusiakan manusia (khususnya anak) dan mudah dipraktekkan di rumah karena si anak sudah punya SOP yang rapi di dalam sikapnya. Ketika Afiqah menemukan alasan yang tepat (why) atas lahirnya suatu tindakan, maka tidak sulit mengarahkannya ke jalan kebaikan. Rasa empatiknya yang sudah dibangun di sekolah, jadi modal dasar yang sangat kami syukuri. Hidup rasanya menjadi lebih mudah beberapa tingkat. 🙂

Bagaimanakah aksi Afiqah ketika bertemu dengan anak-anak di kampung di Pemalang, tepatnya di kaki gunung Slamet? Apakah ia mampu persistence menyelesaikan misinya berbagi pakaian dengan adik bayi yang kedinginan? Nantikan kelanjutan ceritanya di part 2.

Sila baca buku Metode Sentra sebagai referensi membangun karakter anak:

https://umarat.wordpress.com/2012/12/10/buku-pemantik-kecerdasan-jamak/

Aku Iri Padamu, Apita

Apitaku sayang….Aku benar-benar iri padamu…

Pak Yudhistira menuliskan ini di status Facebook-nya….

Komentar Pak Yudhistira

Komentar Pak Yudhistira

Bu Siska juga menuliskan ini di status Facebook-nya…

Status Bu Siska

Status Bu Siska

Sejak melihat beberapa kali fotomu melakukan beragam kegiatan yang bermanfaat di Batutis, aku langsung iri padamu, nak.

Kenapa iri? Pertama, karena aku tak pernah mengenyam TK di masa kecil. Pak Ading langsung masuk SD. Waktu itu, keluarga Pak Ading jumlah anaknya ada 4. Pengeluaran keluarga cukup besar. Jadi, faktor ekonomi juga jadi pertimbangan. TK dianggap bukan prioritas utama. Waktu itu, keluarga Pak Ading berpikir, kalau hanya untuk mengajarkan anak baca-tulis, pasti bisa diajarkan sendiri. Tidak perlu disekolahkan di TK, yang kerjaannya menurut papanya pak Ading waktu itu, isinya hanya main-main saja. Sekarang pak Ading baru sadar, bahwa main-main di waktu kecil itu penting dan harus dijalani sepuas hati. Persis seperti dirimu di Batutis sekarang ini: main sepuasnya. So, please enjoy ya nak di Batutis.

Kedua, aku iri padamu Apita, karena aku tak pernah merasakan sekolah se-keren Batutis Al-Ilmi di Bekasi. Sekolah perjuangan dengan kurikulum paten punya. Kurikulum yang menerapkan metode sentra, untuk mengembangkan kecerdasan jamakmu kelak.

Industri-mu (daya juang) terus dilatih; konsentrasi-mu mulai terbangun; kesabaran-mu mulai hadir; daya kritis dalam berpikir-bertanya-mu mulai muncul; gaya Bahasa-mu yang SPOK (Subjek Prediket Objek Keterangan), membuatku tersenyum mendengarnya; kedewasaan-mu yang seperti orang tuir; kasih sayang-mu yang keluar secara spontan dan membuatku meleleh; semuanya lahir karena ada kurikulum yang tepat di Batutis dan pendampingan dari Manda Andin yang super telaten.

Kredit poin dan ucapan terima kasih tak lupa aku sampaikan kepada guru-guru pejuang di Batutis, yang mengajar dengan sepenuh hati, membangun karakter kuat pada siswanya. Kepada Bu Siska-Pak Yudhistira yang telah menginisiasi lahirnya sekolah Batutis, terima kasih. Para pengurus dan tim support Sekolah Batutis (Koki, Seksi Sibuk, TU, dan lain-lain), terima kasih. Semua yang ada di Batutis deh pokoknya, terima kasih banyak. Bapak-ibu-adek-dan semua pembaca blogku bisa lihat video tentang Batutis di youtube. Sudah sangat sering masuk tipi lho Batutis. Mulai dari Indosiar, KompasTV, NetTV, ANTV, MNCTV, dan lain-lain.

Sekolah ini juga menunjukkan arti sebenarnya dari sekolah inklusif. Sekolah yang terjadi interaksi yang natural antara siswa dari latar belakang ekonomi berkekurangan (80%) dengan siswa berlatar ekonomi berkecukupan (20%). Mereka berinteraksi dalam harmoni dan saling menghargai, tidak membeda-bedakan, apalagi sampai saling ejek-mengejek.

Bukan itu saja, di Sekolah Batutis juga menerima murid yang berkebutuhan khusus. Down Syndrome, Autis, terlambat tahap perkembangannya, dan lain sebagainya. Hebatnya lagi, siswa yang lain malah sangat sayang kepada mereka yang berkebutuhan khusus. Bahkan, secara otomatis, ada saja siswa yang merelakan dirinya “menjaga” siswa berkebutuhan khusus tersebut. Pak Ading tidak pernah melihat ketulusan orang lain (anak kecil) membantu temannya yang berkekurangan, kecuali di Batutis. Cinta yang tulus dari seorang teman. Ah, so sweet.

Koki Cilik Beraksi

Koki Cilik Beraksi di Batutis Al-Ilmi

Ketiga, aku iri padamu Apita, karena jika kecerdasan jamakmu dibangun terus-menerus seperti sekarang, aku tak bisa bayangkan akan seberapa optimal potensi kecerdasanmu, dan seberapa besar dampaknya untuk dirimu, dan lingkunganmu kelak. Syukur-syukur dampaknya bisa lebih luas ke level negara. Aku bicara begini bukan hanya membayangkan dirimu, nak. Tapi juga teman-teman di sekolahmu juga, kakak kelasmu yang di SD juga, para alumni Sekolah Batutis juga. Mereka benar-benar terbangun kecerdasan jamaknya, dan mudah-mudahan bisa mengubah Indonesia dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga mereka sendiri. Mereka harus jadi agen perubahan bagi keluarga mereka. Keluarga mereka harus jadi keren nantinya. Mereka yang mengangkat harkat-martabat-derajat keluarga mereka masing-masing.

Pak Ading sudah 2 kali melihat proses belajar di SD. Dalam observasi singkat itu, suasana belajar di Batutis itu memberikan suasana bebas, riang-gembira dalam belajar bagi siswanya. Di sekolah seperti tidak ada tekanan/ tuntutan yang berat. Belajar membaca puisi, ya bebas. Mau belajar memasak, ya langsung praktek. Batutis memberikan sarana siswanya untuk lebih ekspresif, tidak ditahan-tahan, apalagi malu-malu.

Meskipun kamu masih kelas Toddler, ternyata kamu bisa diajak kerjasama dalam memasak. Anak kecil pun ternyata jika kita selaku orang dewasa mampu mengomunikasikan informasi dengan baik, ternyata bisa diserap dengan optimal juga kok. Itu hebatnya sistem di Batutis. Segala sesuatu harus dikomunikasikan. Jika ada masalah, maka bicara. Bicara adalah salah satu cara menyelesaikan masalah. Sebaliknya, menangis tidak akan menyelesaikan masalah.

Alhamdulillah, setiap Afiqah nangis, kita dorong agar ia mampu mengomunikasikan apa yang ditangisinya, sehingga masalahnya bisa segera ditangani. Banyak anak yang menangis tanpa mau bicara apa akar masalahnya. Sehingga ia menangis sepanjang jalan, membuat orangtuanya jengkel, dan bahkan ia sampai menghardik, mencubit, atau memukul anaknya agar diam. Lebih parahnya lagi, supaya anaknya diam, si orangtua menakut-nakutinya dengan sesuatu yang salah kaprah, “Itu ada polisi….ih takut…nanti mau ditangkap polisi? Kalau nggak mau makan, ditangkap polisi..ayo makan..ih itu ada ambulance. Nanti dimasukkan ambulance, disuntik dokter…ayo makan..”

Dengan kemampuan berani mengungkapkan apa yang ada di pikiranmu nak, bisa dibayangkan, jika nanti kamu atau teman-temanmu menjadi politisi, kamu tidak akan mudah mutung. Kamu akan bicara jika ada masalah. Kamu dan teman-temanmu tidak akan memendam dendam tujuh turunan seperti Megawati ke SBY, karena kamu mengedepankan BICARA. Ya, bicara-lah yang menyelesaikan masalah. Kamu tidak akan seperti Pak Jokowi yang tidak berani terus terang kepada Megawati dalam polemik Kapolri. Jika ia tak sepakat dalam pemilihan KAPOLRI, ia akan bicara, karena bicaralah yang akan menyelesaikan masalah. Ia takkan sempat memilih “barang busuk”, yang mengakibatkan konflik POLRI-KPK berlarut-larut hingga membesar seperti saat ini.

Penutup

Kalau berkaca pada diri Pak Ading, rasanya aku banyak bolong-bolongnya proses tahap perkembangan diri dari masa kecil. Sehingga, aku merasa belum mengembangkan semua potensi di dalam diri secara optimal. Hal ini tentu tak boleh terjadi padamu nak. Ini kuberitahu sejak awal agar kau paham betul, bahwa dirimu ada di track yang tepat dan harus bersyukur atas itu.

Atas keirianku itu, aku dan manda Andin bertekad untuk membantu Batutis demi memperluas lagi informasi tentang Metode Sentra yang digarap oleh Batutis Al-Ilmi, agar banyak anak-anak Indonesia yang bisa mengenyamnya juga. Kalau bisa, makin banyak orangtua yang sadar tentang kesalahan-kesalahan fatal mereka ketika melakukan drilling terhadap anaknya dengan semena-mena. Mereka kerap memaksa anaknya agar cepat bisa membaca-menulis-berhitung. Mereka lupa, bahwa membentuk karakter yang kuat sebenarnya lebih utama daripada apapun. Itu yang harus dijadikan dasar pembangunan utama seorang anak. Drilling anak-anak untuk mampu membaca-menulis-berhitung, sebenarnya bisa dikebut dalam hitungan bulan. Itu bukan perkara sulit. Tapi, membentuk karakter agar ia berani bicara, sopan-santun, mampu membedakan mana tindakan yang kasih-sayang, mana yang anarkis, itu butuh pondasi mendasar. Kalau telat meng-install-nya, maka wassalam deh.

Mudah-mudahan semakin banyak orang yang tertarik mendaftar jadi Relawan untuk Batutis. Apapun jabatan, profesi, kemampuan, skill yang Anda punya, silakan disumbangkan ke Batutis, agar ilmu yang dibangun di Batutis bisa tersebar lebih cepat dan lebih luas ke masyarakat se-Indonesia. Ada teman Pak Ading, Wahyu Awaludin namanya (Digital Media Strategist), mau bergabung menyumbangkan perannya membantu Batutis dalam social campaign. Ada juga Adhe Alfan Nafi (Pengusaha Online) yang juga bersedia menyumbangkan waktu dan masukan untuk pengembangan Batutis ke depan. Ada juga Nurhablisyah, seorang dosen Komunikasi Visual yang membantu pembuatan video teaser tips dari Batutis untuk ditampilkan di Youtube. Ada Mas Imam yang menyumbangkan waktu dan tenaganya untuk mengelola channel Youtube Batutis. Nah, Anda juga berminat jadi relawan Batutis? Sila mention di twitter saya: @pukul5pagi atau kirim pesan ke: umarat.adlil@gmail.com

Semoga bisa jadi amal jariyah Anda kelak di hari akhir. Amin.

Alamat Sekolah Batutis Al-Ilmi:

Pondok Pekayon Indah Blok BB 29 No. 6
Jl. Pakis V B, Pekayon Jaya, Bekasi Selatan 17148
Telp. 021. 9827.3077 / 0813.8842.0811 (Yudhistira Massardi)

Fax 8206326, email: siskatkbatutis@yahoo.com / ymassardi@yahoo.com

REVOLUSI TRANSPORTASI

Revolusi Transportasi

Pak Ading

Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga……. (Ost Keluarga Cemara) 

Tidak ada yang lebih menyenangkan di dunia ini kecuali dipanggil dengan panggilan manja dari anak sendiri. Itu merupakan kenikmatan tersendiri. Tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Panggilan manja dari anak ke orangtuanya menggambarkan bagaimana bentuk relasi dan jarak sosial diantara keduanya. Semakin “unyu” panggilannya, semakin kuat relasi dan makin dekat jarak sosialnya.

Anakku–si cantik Afiqah Humayra Umarat–punya panggilan manja dan sayang padaku. Awalnya ia kami biasakan memanggil Panda-Manda (untuk ayah-ibunya). Namun belakangan ada perubahan. Afiqah awalnya tak masalah dengan sebutan Panda untukku. Namun sejak ia kami kenalkan pada bermacam-macam jenis hewan, ia mengalami kebingungan. Afiqah tak mau lagi memanggilku dengan sebutan Panda. Panda dalam benaknya adalah sejenis hewan bertubuh besar, berbulu, dan berwarna kombinasi hitam-putih. Jadi ia mulai enggan memanggilku Panda. Ia tak tega memanggil orangtuanya dengan panggilan yang sama dengan hewan mamalia itu. Pada kenyataannya ia melihat beberapa perbedaan yang signifikan antara hewan Panda dengan ayahnya. Kalau imut dan lucunya sih sama, tapi secara fisik jelas berbeda. Hewan Panda besar, ayahnya malahan kecil. Hewan Panda berbulu di seluruh tubuhnya, sementara ayahnya hanya di wilayah tertentu saja. Hewan Panda kalau bergerak agak lamban, sementara ayahnya Afiqah sangat lincah. Hehehehe.

Pertanyaannya, lalu ayahnya Afiqah dipanggil dengan sebutan apa kalau bukan Panda? Ternyata Afiqah memilih memanggilku dengan sebutan, “Pak Ading”. Pak Ading adalah bentuk lain dari Pak Adlil setelah mengalami beberapa derajat “distorsi”. Karena ia belum terlalu jelas pelafalan makharijul huruf-nya, ia mengeja Adlil menjadi “Ading”. Terdengar lucu sih di telingaku. Manda juga mendengarnya selalu tertawa. Continue reading

Ketika Orang Bejo Kalah Sama Orang Pintar

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman

Begitulah cuplikan lagu ‘Kolam Susu’ dari Koes Plus. Lagu sederhana, yang sangat gamblang menjelaskan kondisi suburnya Indonesia. Apakah lagu itu berlebihan? Tidak juga. Lirik lagu itu ada benarnya.

Saya punya pengalaman umroh tahun 2011. Karena saat itu saya kali pertama ke tanah Arab, maka saya pun terheran-heran melihat kondisi alam negara Arab Saudi. Suasananya gersang, panas, angin gurun, minus tanaman seperti di Indonesia. Yang ada hanyalah kerikil, lahan tandus, pasir terburai.

Kalau kemana-mana, kita harus pakai mobil yang kalau bisa ber-AC. Kalau tanpa AC, dijamin kepanasan di perjalanan. Warna yang melekat sepanjang perjalanan adalah warna pasir: cokelat muda. Continue reading

Agar Pancasila Ndak Basi!

Ketika dengar info lomba penulisan tentang Pancasila, saya tergelitik. Jadi ingat pengalaman setahun lalu di pertigaan Relasi-Kebon Jeruk Jakarta Barat. Saat saya sedang berhenti di lampu merah, pandangan saya tertuju pada papan reklame ukuran jumbo yang memasang foto seorang politisi yang menghimbau masyarakat untuk mencintai Pancasila dan menjaga NKRI. Sebagai catatan, ukuran fotonya jauh lebih besar daripada tulisan ajakannya itu.

Taken from google.co.id

Taken from google.co.id

Dalam hati saya berpikir, “Masih layakkah gaya kampanye yang seperti itu? Mohon maaf banget sebelumnya. Bukankah itu cara ‘basi’ yang sudah jauh ditinggalkan orang masa kini? Mengajak tanpa memberi contoh kongkret? Bukankah partai-partai banyak tersangkut kasus korupsi? Masih berani mengajak masyarakat agar berjiwa Pancasila?” Begitu gumam saya dalam hati.

Saya mungkin satu dari sekian banyak orang yang merasa skeptis jika kita menghimbau orang menerapkan ajaran Pancasila, hanya lewat cara berkoar-koar seperti di papan reklame itu, tanpa bukti.

Akibatnya apa jika kampanye Pancasila dikemas dengan cara-cara kuno seperti di papan reklame itu? Lambat laun stigma negatif tentang Pancasila semakin kuat. Kalau ngomongin Pancasila kadang rasanya berat, serius, idealis, sok tua, sok bijak, masa lalu, basi, dan seterusnya. Stigma negatif itu wajar saja terjadi. Kenapa?

Coba renungkan. Sejak usia dini, di institusi pendidikan kita sudah dijejali mata pelajaran Pancasila lewat Pendidikan Kewarganegaraan (PPKN). Kalau dulu seingat saya namanya pelajarannya Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Namun apa yang dipelajari itu lebih banyak teorinya, minus praktek. Kita jago ngomongin hal-hal idealis, tapi kurang dalam implementasi. Kita ngomongin Pancasila, tapi korupsi malah merajalela. KPK malah panen raya menangkap para koruptor dimana-mana. Pertanyaannya, kemana larinya nilai-nilai Pancasila yang diajarkan sejak usia dini? Lenyap begitu sajakah? Apa tidak takut Tuhan yang Maha Esa? Apa tidak mempedulikan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia, jika uang rakyat diembat? Dimana bekas atau efek dari belajar Pancasila seumur hidup? Ndak ada blas..

Permasalahan

Ada yang salah dengan sistem pendidikan moral Pancasila yang dulu diajarkan kepada kita. Ada ironi di sana. Ada gap antara teori dengan praktek. Semua itu harus kita identifikasi, untuk kemudian kita carikan solusinya.

Nah, sejauh ini menurut saya, bangsa kita terlalu banyak teori, ‘terlalu banyak cakap’ kalau menurut istilah melayunya. Talk only, no action.

Lihat di tv, bagaimana public opinion dibangun oleh para politisi, pengacara, pejabat, dan lain sebagainya, untuk pembenaran sesuatu. Siapa yang bicara keras, teriak-teriak meyakinkan, maka (seolah) dia yang benar. Contoh sederhana saja. Kalau kita tabrakan atau senggolan di jalanan ibukota, maka orang yang marah duluan, adalah orang yang dianggap ‘benar’, dan orang yang kalah gertakan, maka dia ada di posisi ‘salah’. Dunia sudah kebolak-balik. Maaf, itu semua basi!

Bisa jadi banyak yang muak melihat fenomena seperti di atas. Terlalu banyak topeng, kedok, penutup yang menipu di sekeliling kita. Kita harus berani mengambil langkah, merubah cara atau teknik mendidik siswa/ pelajar kita, dari yang porsi belajar lebih banyak teori, menjadi lebih banyak praktek. Terutama untuk masalah teknik mengajarkan materi Pancasila di sekolah.

Menurut saya, Pancasila tidak bisa diajarkan dengan kata-kata saja. Pancasila akan lebih efektif kalau diajarkan dengan contoh dan praktek. Dampaknya akan jauh lebih mengena di otak dan sanubari para siswa. Pada usia emas sekitar 0-7 tahun, di sanalah seharusnya pelajaran mengenai Pancasila yang ‘ga basi’, bisa disusupkan ke dalam diri siswa. Tujuannya? Di masa emas itu, si siswa lebih mudah didoktrin secara kuat, dan dampaknya tahan pada jangka waktu yang panjang. Bisa sampai seumur hidup bahkan.

Saya ingat-ingat lagi bagaimana saya belajar Pancasila di sekolah. Kebanyakan hanya menghapal. Selain Pancasila, tambahan lain adalah menghapal pasal di UUD 1945. Parahnya, sampai sekarang metode belajar Pancasila tidak ada perubahan signifikan. Teoritis dan mengawang-ngawang. Siswa jadi kurang paham makna dari peduli, berbuat adil, musyawarah, bersatu-berkolaborasi, dan lain sebagainya.

Solusi

Metode belajar Pancasila kita harus segera diubah. Handphone saja, tiap 3 bulan, selalu ada update terbaru teknologinya. Ada saja yang baru dari fitur-fiturnya. Sehingga masyarakat selalu tertarik untuk membelinya. Masyarakat Indonesia termasuk yang digandrungi oleh produsen gadget sebagai tempat launching produk baru. Masih sering lihat kan, orang ngantri panjang sampai menginap di mall/ pusat perbelanjaan hanya karena ingin mendapatkan produk promo super murah dengan teknologi mutakhir?

Kalau kita mampu mengubah metode belajar Pancasila menjadi lebih atraktif, lebih seru, lebih aplikatif, lebih praktis, tentu siswa akan merasa senang menjalani proses belajar-mengajarnya.

Seperti apa sih kongretnya tawaran ide dari saya? Begini ceritanya.

Saya sempat survey ke TK Batutis Al-Ilmi di Bekasi, di bawah pimpinan Bpk Yudhistira Massardi. Beliau wartawan senior yang banting stir jadi pendidik usia dini. Di TK Batutis, siswanya (sebagian besar adalah kalangan kurang mampu) diajarkan untuk main peran beragam. Ada anak yang berperan sebagai ibu rumah tangga. Ia menyapu, mengepel, menyeterika. Sensasi dari semua kegiatan itu ia rasakan betul. Sehingga empatinya terhadap ibunya di rumah yang capek bekerja bisa terbangun sejak usia dini. Ia lebih menghargai ibunya.

Di pengamatan lain, saya melihat ada permainan peran unik, yaitu main peran cita-cita. Ada anak yang main peran sebagai supir angkot. Lama-lama ia merasa capek jadi supir angkot. Dapat uang sedikit. Lalu ia paham mengapa supir angkot gampang emosi. Untuk meredakan emosi, ia merasa senang jika ada penumpangnya yang mengucapkan terima kasih secara tulus. Nah, hal-hal yang melatih kepekaan sosial seperti ini jarang ada di kurikulum pendidikan kita.

Anak di usia dini harus didorong untuk punya pengalaman bermain peran (role play) yang beragam, agar ia bisa mempunyai empati yang tinggi, baik di lingkungan keluarga, maupun masyarakat. Empati yang tinggi inilah modal awal yang baik bagi lahirnya sifat-sifat baik lainnya dalam interaksinya dengan orang lain.

Untuk siswa yang sudah SD, SMP, SMA, atau mahasiswa, saya menyarankan, agar mereka dibuatkan sistem lomba social project yang keren di mata pelajaran bertema Pancasila. Bentuknya seperti apa? Bisa macam-macam. Tergantung kreativitas. Orang Indonesia sudah terkenal sebagai orang kreatif dan kelebihan energi. Ini bisa jadi modal dasar yang cukup baik untuk diolah.

Kalau untuk anak SD misalnya, ia bisa bermain peran membantu orangtuanya. Mereka harus dilibatkan mulai dari bagaimana menyiapkan sarapan, belanja bahan untuk sarapan ke pasar tradisional, dan sejenisnya. Ini merupakan bagian dari latihan mental mereka agar mandiri, bertanggung jawab, tidak tergantung pada orang lain, tidak main perintah kepada asisten rumah tangga. Tentu porsinya diatur sesuai kemampuan si anak, agar ia tetap bisa menikmati masa kanak-kanaknya.

Untuk anak SMP & SMA, mereka bisa didorong untuk mempunyai social project super keren menurut mereka. Bisa saja misalnya tiap siswa harus menjadi inisiator gerakan sosial di lingkungan tempat tinggalnya. Isunya bisa macam-macam. Bisa olahraga bersama antar-RT, RW, dan lain sebagainya. Kalau ia berhasil menjadi social actor di lingkungannya, berarti ia telah belajar banyak hal sekaligus. Tidak hanya berlatih kecakapannya dalam mengolah hal-hal yang sifatnya klerikel, tapi juga melatih kualitas leadershipnya. Kelak, ketika ia harus menjadi pimpinan di lingkungan kerjanya, ia tak lagi canggung dalam mengelola dinamika kelompok di lingkungannya.

Untuk mahasiswa misalnya, sebagai wujud cinta tanah air, ia bisa merancang program kreatif KKN (Kuliah Kerja Nyata) di daerah terluar Indonesia. Mereka bisa berbagi pengalaman luar biasa kepada masyarakat di daerah terluar Indonesia. Pengalaman hidup di tempat serba terbatas ini diperlukan agar kelak ketika jadi pemimpin, mereka bisa punya perspektif yang luas, komprehensif, humanis, dan tidak arogan. Ingat, Indonesia itu bukan hanya Jawa dan Pulau Jawa saja lho.

Ringkasnya, siswa kita harus diberi ruang dan peluang untuk berekspresi, berkarya, membuat social project, sesuai minatnya, dan segala kegiatan itu harus merupakan pengembangan operasionalisasi konsep dari Pancasila. Pancasila yang abstrak, harus bisa diterjemahkan secara personal dan dijabarkan operasionalisasi konsepnya ke tataran yang detil dan kongkret. Tidak mengawang-ngawang lagi. Semakin detil, semakin bagus. Jangan sampai, siswa kita hanya belajar aspek kognitif (menghapal) saja. Tapi minus aspek lainnya dalam pendidikan, yaitu afeksi dan psikomotorik.

Saya membayangkan, tiap semester akan ada lomba adu kreativitas social project keren, yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Mulai dari kecamatan, kabupaten, propinsi, hingga nasional, semuanya diperlombakan dan dinilai oleh ahli bidang filantropi, akademisi, dan praktisi.

Pancasila itu intinya pendidikan moral. Agar moral yang terbentuk itu jernih, maka harus dari usia dini diinternalisasikan nilai-nilainya kepada si anak didik. Internalisasi dari nilai-nilai (values) ini, akan membentuk jadi doktrin positif, lalu jadi habit, dan terakhir bisa jadi karakter yang kuat. Untuk itu, kegiatan berlomba-lomba bikin social project ini harus dipupuk dari kecil, agar terinternalisasi rasa peduli. Siswa tidak hanya ‘selesai’ memikirkan dirinya, peduli pada lingkungannya.

Contoh social project keren yang bisa dijadikan referensi sebenarnya banyak kita jumpai kini. Misalnya gerakan sosial @IDBerkebun, Indonesia Mengajar, Indonesia Berkibar, Gerakan Ayah ASI, Akademi Berbagi, dan lain-lain. Mereka membentuk komunitas-komunitas yang concern pada satu hal kecil yang mereka sukai. Efek kegiatan mereka cetar dan bermanfaat bagi orang banyak.

Nah, gerakan sosial yang disebutkan di atas sebenarnya adalah wujud nyata dari penerapan Pancasila. Tak perlu teori, langsung praktek. Hasilnya nyata, dampaknya jelas. Tak perlu mulut berbusa seperti politisi di papan reklame untuk himbau orang agar lebih Pancasilais.

Sebagai penutup, saya ingin tekankan, agar Pancasila tak basi, diperlukan kreativitas sebagai pengawetnya. Sekolah & orangtua sebagai pendidik utama, harusnya memberikan ruang-ruang bagi tunas bangsa untuk bereksperimen menerapkan nilai-nilai Pancasila, sesuai dengan minat-bakat atau hal yang mereka sukai. Pancasila untuk konteks kekinian, harus diturunkan indikator-indikatornya menjadi lebih down to earth, jelas, aplikatif, seru, dan atraktif.

Bayangkan jika kita mampu beri ruang berekspresi untuk anak didik demi merancang social project yang keren menurut mereka, maka mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, hingga kuliah, bahkan sarjana, akan terkumpul jutaan database social project yang keren, kreatif, multikulturalistik, berciri khas kedaerahan, dan yang terpenting, berbasiskan nilai-nilai Pancasila.

Thus, para praktisi Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan ternama di Indonesia, atau bahkan dunia, bisa mencomot langsung social project mana yang efektif dan berdampak luas untuk mereka adopsi dan ajak kolaborasi. Nantinya, Indonesia akan dikenal sebagai bangsa yang sangat filantopis. Ini identitas kebangsaan yang unik dan bisa dibanggakan. Tentunya ini merupakan representasi nyata dari nilai-nilai Pancasila. Sehingga peran bangsa kita di tatanan masyarakat dunia akan sangat penting dan berpengaruh besar. How cool is that?

lomba_blog_pusakaid

#PrayForGaza

“Ini bukan perang, ini pembunuhan!” ujar Chomsky dosen linguistik MIT ketika melihat serangan Israel terhadap Palestina. (Koran Sindo, Minggu, 18 Nov 2012).

Total update korban dalam agresi Israel dalam beberapa hari terakhir ini berdampak pada tumbangnya korban: 162 orang dari Palestina, dan 5 orang dari Israel.

Anehnya, presiden Obama seperti mengalami penurunan IQ karena ngawur menjelaskan makna dari “self-defence”. Ia setuju bahwa Israel bertindak demikian dalam rangka “self-defence”. Nenek-nenek yang udah mau qoid aja mungkin tahu artinya “self-defence” (bela diri) itu apa dan kapan munculnya.

Seperti yang dimuat di Koran Sindo, Minggu 18 Nov 2012, analisa yang berkembang bahwa agresi brutal ini disinyalir sebagai agenda pemilu Netanyahu yang posisinya lemah secara politik. Jadi, menyerang Palestina ini adalah tindakan populer secara politis. Jika ini benar, maka sungguh terlalu! Demi citra dan dukungan politik di Januari 2013, dia kerahkan tenaga untuk bunuh negara tetangga, agar kelihatan hebat, kuat, keren, dan berwibawa. Sungguh sakit jiwa!

Ada juga analisa yang mengatakan bahwa ini cara Israel untuk mengurangi concern Palestina untuk diakui jadi negara anggota PBB yang rencananya akan diumumkan tgl 29 November 2012. Jadi, serangan ini untuk memecah konsentrasi dan tenaga pemimpin Palestina. Continue reading

childhoodoptimizer

"Optimalkan masa kecil anak, agar hidupnya selamat, kelak!"

One's Blog

Ucapan berhamburan - Tulisan akan bertahan

Ollie dan Dunianya

"I read, I travel, and I become"

penjelajahmimpi

Terus menjelajahi mimpi, karena semua berawal dari sini

Chae's Blog

Life begins at the end of your comfort zone

Muhammad Jhovy Rahadyan

Be The Best Of Ourself

Ardisaz

Game Development and Game Industry news in Indonesia

Kiki Barkiah

Ummi diary

Fitri Ariyanti's Blog

Mengolah Rasa, Menebar Makna

DIENG PLATEAU

PARADISE OF CENTRAL JAVA

Febri Photography

Kadang keindahan diawali oleh kegilaan

dinysullivan92

This Is My Life

Tentang Hidup

Hidup sekali, Hiduplah yang berarti..

Seorang Pemuda Pendamba Ridho Ilahi

Pecinta Dzikir dalam Alunan Fikir

Seni Hidup

=Ketidaksempurnaan Itu Cantik=

Story of Jingga

Biarlah tertulis apa adanya

literasi . seni . lestari

untaian patahan kata bertaut menjadi narasi beresensi

direizz

Just another WordPress.com site

Komunitas Ngejah

Desa Sukawangi - Kec Singajaya - Kab Garut

sihaik

This WordPress.com site is the bee's knees

Azinuddinikrh's Blog

barangkali kau benar, hanya malaikat dan gemericik air lah yang dapat membawaku pergi berlalu

rumah matahari

"sebab tiap kata adalah rumah doa, maka semoga hanya ruh kebaikan yang menjadi penghuninya."

Ayunda Damai

- a bibliophile & learner

Kicau Kaki

Melangkah, memotret, menulis

serbaserbitoyota

information & news

Scientia Afifah

bacalah, dan bertumbuhlah!

Yanto Musthofa

Pengabdian pada bangsa, dedikasi pada profesi, dan segala pikiran serta pengalaman kehidupan adalah harta pusaka yang hilang bila tidak diabadikan. Jangan sia-siakan. Lestarikan dan wariskan dalam buku!

nimadesriandani

Balanced life, a journey for happiness site

Rindrianie's Blog

Just being me

rizasaputra

tempat kuring ngacapruk

Moh Darodjat

Muhammadiyah Gerakanku

Ruli Blogger

Wordpress.com

Faiz' Journey

Mushonnifun Faiz Sugihartanto's Journey

JaTiara

Menulis itu soal rasa bukan hanya tentang tata bahasa

Imaji Tiada Batas!

Hidup sederhana, berkarya luar biasa.

Ridwanologi

Ruang Pandang Ridwan Aji Budi Prasetyo

unspoken mind

if you can't tell, just write

Arip Yeuh!

Harimau berburu, burung terbang, dan protagonis kita ini terus menggerutu

jemari anneo

"LEPASKAN YANG RAGU, GENGGAM YANG PASTI".

RGS no tsubuyaki

dengan semangat Bangun Indonesia!

just a treasure

jika kau bertanya apa hartaku yang paling 'berharga', maka kau sudah menemukannya. :)

Penyukajalanjalan

Jelajahi dunia selagi bisa

Mirna's Blog

My Life, My Story