Posts Tagged ‘#AfiqahHumayraUmarat’

Bakso U* & Adu Main Peran

Bakso U* pertama kali istilah itu muncul lewat kejadian spontan dialog singkat antara Afiqah dan Bu Imas, guru Main Peran di Sekolah Batutis Al-Ilmi, Pekayon-Bekasi. Awalnya saya menjemput Afiqah pulang sekolah. Pas jalan menuruni tangga, ternyata kami bertemu Bu Imas yang sedang duduk di sebuah kursi panjang. Ia terlihat lelah, matanya sayu. Bu Imas itu kalau ngajar sepenuh hati. Wajar jika energinya terkuras habis.

Saat kami berpapasan setelah turun dari tangga, terjadilah dialog antara Bu Imas dengan Afiqah. Intinya, Bu Imas menyebutkan dirinya ingin sekali makan bakso. Entah siapa yang memulai duluan, tapi ujung pembicaraan tersebut mengarah pada sebuah kesepakatan. Afiqah berjanji untuk membawakan bakso U* untuk Bu Imas. Ia berdialog sebentar dengan abang Bleki (tokoh imajiner Afiqah yang direpresentasikan lewat boneka beruang hitam dan saat itu Bu Imas tidak tahu bahwa Abang Bleki adalah fiktif bukan tokoh nyata).

Alamak, kalau sudah berjanji, mesti ditepati. Bagaimana ini Afiqah berjanji pada Bu Imas? Ayahnya yang pusing. Hari itu kalau tidak salah Afiqah baru saja ikut kelas Main Peran bersama Bu Imas. Jadi materi Main Peran mungkin masih melekat hangat di ingatan Afiqah. So, wajar saja terjadi pembicaraan akrab diantara kedua insan tersebut. Aku pasrah saja menjadi pendengar sambil senyum-senyum meringis. Kenapa? Karena setiap janji harus ditepati. Kembali ke sana lagi pikiranku melayang. Meskipun aku tahu bahwa Bu Imas sedang bercanda.

Bu Risna & Bu Imas (pink) outing ke Bandung

Bu Risna & Bu Imas (pink) outing Batutis ke Bandung

Menjadi orangtua dengan pendidikan anak Metode Sentra, kita tidak boleh terlalu reaktif dalam merespon apapun kejadian. Dulu mungkin aku dan Andin masih tertanam tipe kaget-kagetan, “Masya Allah….Afiqah… Astaghfirullah…Afiqah…Ya Allah…Afiqah….”. Nah kalau sekarang, sudah ada remnya. Kami bisa kontrol diri. Tidak semua hal itu harus ditanggapi berlebihan. Biasa aja. Santai. Hadapilah hidup ini dengan santai. Jangan panikan. Beri anak ruang untuk berekspresi dan mengeksplorasi hal yang ia sukai. Meski dampaknya akan berimbas kepada kami. Misalnya rumah jadi lebih berantakan, tembok jadi tercorat-coret, atau si anak main kotor-kotoran tanah dengan senyum nyengir. Kami benar-benar belajar hal yang esensial dengan mengadopsi Metode Sentra ini sebagai salah satu tools dalam membangun karakter Afiqah.

Hari “Penagihan”

Keesokan harinya, tak sengaja Afiqah berpapasan lagi dengan Bu Imas. Kebetulan aku juga sedang berada di lokasi Batutis Al-Ilmi. Tempatnya kan tidak luas, jadi mudah menangkap kejadian apapun di lingkungan sekolah.

“Eh Afiqah….kebetulan ketemu lagi. Mana bakso U* yang dijanjikan? Bawa gak?” tanya Bu Imas.

“Hmmm…” Afiqah tampak sedang mikir.

Dalam hati aku berpikir, nah bagaimana nih Afiqah menanggapi janji yang telah ia utarakan sendiri kemarin. Kira-kira akan seperti apa responnya? Aku masih harap-harap cemas melihat respon natural anakku si pipi mentul ini.

Sejenak Afiqah berpikir, lalu ia segera merespon sapaan Bu Imas. “Ada kok.” Afiqah menggerakkan badannya ke arah belakang. Ia seolah-olah sedang membawa bakso dalam box yang diselempangin ke belakang punggungnya. Ia putar box bawaannya ke arah depan, lalu ia buka tutupnya dan ia berujar, “Ini bakso U*”

Aku kaget bukan kepalang. Tak menyangka, Afiqah ternyata menjawab tantangan dari Bu Imas itu dengan bermain peran, karena ia tahu sedang berhadapan dengan guru Main Peran dan pembicaraan kemarin adalah bagian dari pembicaraan dolan-dolanan Main Peran diantara mereka berdua. Bu Imas sejatinya memang bernada bercanda dalam meminta bakso karena Afiqah pamer cerita bahwa punya bakso U* yang enak untuk ditawarkan.

Kalau dipikirkan serius, maka rumusan bakunya adalah semua janji harus ditepati. Tapi untuk kasus Afiqah dan Bu Imas, ada kadar candaan yang tak perlu ditanggapi terlalu serius banget. Ada ruang imajinasi yang bermain diantara Bu Imas dan Afiqah di hari kemarin dan hari ini. Namun, diriku masih terjebak pada pemikiran, Afiqah sudah kadung berjanji. Kira-kira bagaimana menepatinya ya?

Bu Imas yang melihat respon Afiqah ternyata juga kaget. Ia kira Afiqah takkan bisa berkelit karena sudah kadung janji. Mungkin ia juga penasaran bagaimana si anak ini menepati janji yang sudah ia buat. Ternyata, candaan main peran yang dilontarkan oleh guru Main Peran, dibalas “secara tunai” oleh Afiqah dengan Main Peran juga. BRAVO! 1-1 skor kedua belah pihak. Tadinya Bu Imas udah girang melihat Afiqah kemungkinan tak bisa berkelit dan di awal Bu Imas bilang, “Ayo…..mana baksonya…kemarin udah janji…..”

Artinya apa? Artinya, dalam kondisi terdesak, otak Afiqah ternyata “jalan” untuk bagaimana memberikan respon terbaik dalam menghadapi kasus pelik “terjerat janji sendiri”. Aku gak kepikiran semua skenario pembicaraan itu bisa diarahkan ke Main Peran.

Bu Imas tidak mau kalah. Setelah ia mengucapkan terima kasih karena sudah dibawakan bakso U* oleh Afiqah meskipun sifatnya “virtual” samar-samar, di ujung pembicaraan Bu Imas menyisipkan pesan lanjutan, “Besok-besok bawa bakso lagi ya….” Afiqah mengangguk tanda setuju. Yah, Afiqah, kenapa menanggguk pula? Kan artinya janji lagi??? Si ayah kembali pusing.

Hari “Penodongan” Janji

Hari-hari berikutnya, aku datang bersama Andin untuk jemput Afiqah. Afiqah bertemu Bu Imas lagi di halaman sekolah. Nah lho…. “Afiqah, mana bakso U* nya? Bawa gak? Kemaren kan sudah janji mau bawakan bakso dari Abang Bleki?”

Aku penasaran juga melihat bagaiman respon Afiqah. Kondisi skor masih 1-1. Sekali bu Imas menodong, tapi Afiqah bisa jawab dengan main peran (pura-pura ambil bakso di tasnya).

Afiqah ternyata tak kehabisan akal. Ia rogoh koceknya, lalu ia keluarkan bakso dari balik kantongnya. “Ini bakso U*-nya,” sambil ia menyerahkan kepada bu Imas.

Bu Imas senyum lebar. “Lho, kok baksonya dikantongin? Gak panas? Kan ada kuahnya?” Nah, bagian ini benar-benar hal yang paling sering terjadi di Sentra Main Peran. Biasanya hal-hal logis dimasukkan ke dalam interaksi yang terjadi di Main Peran, agar anak terbentuk daya kritis berpikirnya.

Bu Imas, tersenyum lebar. Senyuman agak nakal, karena ia seperti yakin bahwa Afiqah tak bisa berkelit kali ini.

Afiqah tak kehabisan akal. “Yang ini baksonya di plastik, tidak pakai kuah. Kalau mau kuah, kan dibikin dulu.” Oh, jadi ia bisa memvisualisasikan bahwa yang ia bawa bakso-nya doank. Sementara kuahnya yang biasanya panas, harus dibikin sendiri terlebih dahulu. Customized sesuai keinginan pelanggan, kapan mau dimakan, baru dibuat kuahnya.

Bu Imas yang tadinya sudah berpikiran skor 2-1, eh sekarang malah disamakan jadi 2-2. Afiqah bisa menahan “serangan” Bu Imas.

Bu Imas bilang ke Bu Andin. “Bisa aja ya dia. Saya kira tadi udah mau kalah dia ga bisa jawab. Ternyata bisa aja jawabnya.”

Bu Andin dan aku senyum-senyum aja. Hihihi. Anak Metode Sentra mah, selalu ada akal untuk dijalankan. Tidak salah memang, guru Main Perannya adalah Bu Imas. Senjata makan tuan. Serangan pakai main peran, dibalas secara tunai dan tuntas dengan main peran juga oleh Afiqah.

Pembongkaran Misteri Abang Bleki

Setelah lama tak terdengar lagi tentang Bakso U*, barusan minggu lalu Andin bilang ke saya bahwa Bu Imas ngobrol lagi dengan Afiqah tentang Bakso U*. Ternyata, terkuaklah misteri yang selama ini tak diketahui oleh Bu Imas.

Misteri tersebut adalah bahwa Abang Bleki yang Afiqah klaim sebagai penjual Bakso U* terungkap identitas aslinya. Bu Andin-lah yang membocorkan ke Bu Imas. “Bu Imas, Abang Bleki itu tidak ada sebenarnya. Itu boneka beruang yang berwarna kehitam-hitaman.” Sebenarnya Bakso U* itu pun bakso ngarang.

Bu Imas kaget. Ia sudah menganggap Abang Bleki itu nyata. Selama ini, setelah melewati beberapa episode percakapan-percakapan tentang Bakso U* itu secara serial, ternyata Bu Imas larut dalam imajinasi yang dibangun Afiqah tanpa crosscheck terlebih dahulu validitas ceritanya. Afiqah memainkan peran sebagai broker diantara Bu Imas dengan Abang Bleki dengan lokus main perannya adalah Bakso U*. Anak Metode Sentra, memang tak pernah kehabisan akal. Skor 3-2 untuk Afiqah atas Bu Imas. 😉

Bu Imas selaku guru yang mengajarkan main peran, sekarang kena batunya. Muridnya lebih liar lagi imajinasinya. Senjata makan tuan. Hehehe. Terima kasih Bu Imas, sudah “menghidupkan” tombol imajinasi Afiqah lewat Sentra Main Peran. Semoga ia bisa tumbuh menjadi anak yang ketika menghadapi masalah, tak langsung freezing, tapi bisa cari solusi, karena imajinasinya sudah “dinyalakan” sejak usia dini. Terima kasih juga untuk guru-guru Batutis Al-Ilmi lainnya, yang juga membantu perkembangan Afiqah di sentra-sentra lainnya yang nanti juga akan saya tuliskan ceritanya (Seni, Persiapan, Imtaq, Balok, Bahan Alam).

Ingin mengetahui ilmu Metode Sentra secara mendalam? Teman-teman bisa diskusi dengan saya dengan kontak via Whatsapp di 08111170128 atau colek di Twitter saya @pukul5pagi

DIMODUSIN Afiqah

Sore itu, saya baru pulang dari Sovereign Plaza, mengikuti sebuah training penting. Manda Andin sudah tahu biasanya di tiap Senin, saya akan sampai Kota Wisata jam 18.00. Maka, Manda Andin menjemput saya di depan Kota Wisata. Tadinya Afiqah tak diajak serta. Tapi begitu tahu mau jemput Pak Ading, ia segera berubah pikiran, ingin turut serta.

Di Whatsapp saya meminta Andin ajak serta Afiqah. Entah kenapa, karena habis menyepi nulis di bawah kaki gunung Galunggung-Tasikmalaya selama 3 hari 3 malam, maka rasa kangen itu masih membuncah. Afiqah sekarang jauh lebih ceriwis. Ditinggal 3 hari, benar-benar ceriwis banget. Ngomongnya itu seperti orang dewasa.

Afiqah Melucu

Afiqah Berbahasa Betawi

Ada update-an baru pada diri Afiqah. Ia sekarang sedang terpengaruh gaya bicara khas Betawi. Pengaruh itu berasal dari teman sekolahnya di Batutis Al-Ilmi. Suatu kali saya menjemput Afiqah di sekolah, lalu dari kejauhan, saya sudah terlihat oleh teman-temannya. “Noh, bapak loe noh…” kata teman Afiqah memberi tahu bahwa ia sudah dijemput.

Kira-kira model ngomong khas Betawi begitulah yang sedang trending di dalam diri Afiqah. Sekarang ia biasa ngomong, “Iya yak…”. Ia juga mulai ngomong kata “gue”.

Ketika saya tanya, “Gue itu apa sih artinya dek?”

Dijawab Afiqah, “Betawi.”

“Iya, itu bahasa Betawi, tapi artinya apa?” tanyaku penuh selidik.

“Saya,” jawab Afiqah singkat. Ternyata ia tahu sedikit-sedikit arti kata bahasa Betawi.

Nada ngomong Afiqah sekarang cukup tinggi, seperti orang Betawi yang rame’ banget. Saya jadi ingat dulu sangat dekat dengan Mpok Ani, penjual nasi uduk yang sudah saya anggap seperti keluarga sendiri di Kukusan Depok, dekat Universitas Indonesia.

Padahal, tepat bulan Desember 2015 lalu, kami pulang ke Surabaya dan Mojokerto. Dari sana, Afiqah sudah bermetamorfosis jadi orang Jawa. Dialeg bahasanya medhok banget khas Suroboyoan. Tapi ternyata, setelah bergaul lagi dengan teman-temannya di sekolah, ia bisa dengan mudah berubah. Anak-anak di usia emas, memang paling cepat menyerap segala sesuatu dari lingkungannya. Mereka seperti sponge. Gampang nyerap cairan.

Apa reaksi saya dan Manda Andin terhadap Afiqah yang mulai berbahasa Betawi? Kami tidak menganggap ketika Afiqah berbahasa Betawi atau berbahasa Jawa sebagai sesuatu yang salah. Namun, kami anggap itu sebagai momen perkenalan Afiqah kepada bahasa daerah. Kami menanggapi Afiqah yang bilang “gue” dengan respon, “Oh, Afiqah sedang berbahasa Betawi. Tapi Pak Ading dan Bu Andin ingin kita di rumah pakai bahasa Indonesia ya…”

Meminta Secara Halus

Kembali ke laptop, cerita awal Afiqah menjemput saya di depan komplek Kota Wisata.

Saya turun dari angkot 121 jurusan Kampung Rambutan-Cileungsi. Setelah membayar ongkos angkot, pas turun saya sudah lihat ada mobil keluarga kami yang parkir di bundaran depan Kota Wisata. Alhamdulillah sudah standby.

Saya jalan menghampiri mobil, lalu lewat kaca mobil sebelah kiri depan, saya goda Afiqah. Saya gelitik ia dari belakang. Ia kaget. “Eh….., ada Pak Ading…”

“Terima kasih ya udah jemput ayah…,” kataku. “Afiqah kangen ayah? Katanya tadi mau main sama Uti?,” tanyaku pada Afiqah.

“Aku kangen ayah….,” balas Afiqah so sweet.

Kalau udah begini, saya hanya bisa menjadi lilin yang sedang dibakar api: MELELEH.

“Ayah duduk di belakang ya. Afiqah di depan,” begitu kata Afiqah mengatur posisi tempat duduk kami.

Okelah. Saya pun kemudian membuka pintu belakang, masuk, duduk, dan mengucap Alhamdulillah tanda bersyukur karena bisa bertemu keluarga lagi.

Baru beberapa detik duduk, lalu Afiqah nanya lagi, “Ayah bawa apa?”

“Maksudnya?” kataku heran. Tak biasanya dia bertanya seperti itu. “Ayah bawa tas.”

“Oooh, tas. Isinya apa?” selidik Afiqah lebih lanjut.

Saya segera buka tas dan menunjukkan kepada Afiqah isinya. “Ada laptop dan buku. Tidak ada yang spesial, biasa aja. Emangnya kenapa? Kok nanya begitu?” kataku balik bertanya.

“Nggak…kirain Pak Ading bawa mainan…” lanjut Afiqah lagi sambil tersenyum lebar.

Seketika juga saya dan Manda Andin pun ngakak. Gila ya. Dua orand dewasa sedang DIMODUSIN oleh anak umur 3 tahun 3 bulan. Ternyata Afiqah baru saja mempraktikkan bagaimana teknik berbahasa dengan cara yang tak biasa.

Ketika kami belajar ilmu Metode Sentra di Batutis Al-Ilmi, Bu Siska menjelaskan ada 4 jenis pertanyaan: konvergen, divergen, faktual, dan evaluatif. Pertanyaan konvergen itu biasanya dimulai dengan kata : apa, siapa, kapan atau dimana. Jawabannya pun agak mengerucut, sudah jelas. Pertanyaan divergen ini jenis pertanyaan terbuka, dan biasanya dimulai dengan kata: bagaimana dan mengapa. Pertanyaan factual mengacu pada pertanyaan yang meminta jawaban yang sifatnya pasti, ilmiah. Misalnya, ada berapa jenis pembagian lapisan langit? Jawabannya ada 7, diantaranya Termosfer, Stratosfer, dan seterusnya. Lalu pertanyaan evaluatif berupa pertanyaan nyecer mengejar sampai tuntas.

Pertanyaan konvergen itu contohnya: “Apa rasanya laut?”

Pertanyaan divergen itu contohnya: “Bagaimana ciri-ciri air laut?”

Pertanyaan faktual itu contohnya: “Apa nama laut diantara pulau Sumatera dengan pulau Kalimantan?”

Pertanyaan evaluatif itu contohnya: “Kamu menggambar apa? (dijawab: pohon pisang). Apa yang kamu tahu tentang pohon pisang? (dijawab: rasa buahnya manis). Bagaimana dengan tekstur buahnya? (dijawab seterusnya).”

Kalau kita lihat dalam perspektif umum, Afiqah menyelidikiku dengan pertanyaan evaluatif dalam kadar yang ringan, lalu ditutup dengan pernyataan tidak langsung (non-directive statement).

Afiqah: “Ayah bawa apa?”, dijawab Ayah: “Ayah bawa tas” à pertanyaan evaluative.

Afiqah: “Oooh, tas. Isinya apa?”, dijawab Ayah: “Ada laptop dan buku. Tidak ada yang spesial, biasa aja. Emangnya kenapa? Kok nanya begitu?” à pertanyaan evaluatif. Ternyata ia sudah puas mendengar jawaban ini.

Afiqah: “Nggak…kirain Pak Ading bawa mainan…” à Pernyataan kalimat tak langsung (non-directive statement). Ini pesan terselubung yang ingin disampaikan.

Simple-nya, Afiqah sebenarnya secara tidak langsung sedang menerapkan teknik persuasi untuk mewujudkan sebuah harapan atau ingin menyampaikan pesan: BELIIN AKU MAINAN DONK….

Tapi caranya halus. Caranya tidak langsung. Itu cukup elegan dan menarik buat kami berdua. Alhamdulillah Afiqah naik tingkat dalam hal kemampuan berbahasanya. Kalau kami ingat lagi masa kecil diri kami ataupun adik-adik kami, biasanya anak kecil minta mainan main langsung saja, tanpa tedeng aling-aling, “Mau ini, mau itu…” Kalau tidak dibelikan, bisa jadi pakai jurus nangis guling-guling di depan umum agar orangtua kita mau membelikan apa yang dikehendaki. Tapi untuk kasus Afiqah sore ini, ia benar-benar menunjukkan teknik berbahasa yang cukup tinggi untuk anak seusianya. Ini jenis high context communication. Komunikasi tingkat tinggi.

Anak-anak yang dibangun teknik berbahasanya dengan SPOK (Subjek Prediket, Objek, Keterangan) sejak usia dini, maka ketika besar nanti dia tidak akan kesulitan mengutarakan apa yang menjadi masalah dalam hidupnya. Daya ungkapnya mampu menolong dia untuk menyelesaikan masalah-masalah hidup yang ia hadapi. Jadi, bukan lari dari masalah, tapi dihadapi dengan berbicara, berbahasa secara elegan. Jangan hanya bayangkan satu-dua anak Batutis saja. Bayangkan kalau kemampuan berbahasa ini dimiliki anak di seluruh Indonesia saat ini, maka nanti di tahun 2045, saat kita mendapatkan bonus demografi yang tumpeh-tumpeh itu, maka angkatan kerja (produktif) kita bisa berlaku sebagai BERKAH, bukan MUSIBAH. Orang-orang yang jelas tujuan dan mau kemana langkah, peran, dan karyanya karena konsep dirinya jelas sejak usia dini. Mereka mengerti AKU dan KEBUTUHANKU.

Ini sore yang indah buat saya. Satu-persatu bukti dampak mendalam dari pendidikan Metode Sentra di sekolah Afiqah, keluar secara alamiah dalam kehidupan keluarga kami. Kami semakin tertarik dan penasaran, apa lagi di masa mendatang yang keluar spontan dari tindakan Afiqah, yang bikin kita geleng-geleng kepala lagi.

Ingin ngobrol dengan saya tentang Metode Sentra? Silakan colek saya di Twitter saya @pukul5pagi atau kontak Whatsapp saya di 08111170128.

Insight Jauh ke Depan-nya Afiqah

Malam ini (4/2/2016), Manda Andin mengantarkan Afiqah tidur di kamar. Ia menemani Afiqah di kasur sambil cerita-cerita ringan. Afiqah sudah siap memakai baju tidurnya. Ia sudah makan, minum, dan sudah pipis ke toilet. Namun masih kurang satu hal sebenarnya, belum sikat gigi. Itu yang terlewatkan malam ini.

Afiqah tanya ke Manda Andin, “Manda, kalau Afiqah kuliah, Afiqah baru punya adik?”

Manda menjawab, “Nggaklah, kalau Afiqah kuliah, Manda udah tua. Coba itung. Kalau Afiqah kuliah, berarti umur Afiqah 20-an. Berarti Manda umurnya 48 tahun.”

Disanggah Afiqah, “Mungkin 18 tahun kalau Afiqah kuliah.”

“Oh iya ya? Bisa awal kuliah masuknya 18 tahun. Berarti Manda umurnya 46 tahun,” ralat Manda Andin.

“Berarti adikku yang satu SMA, yang satu SMP,” respon Afiqah.

Manda Andin cukup heran. Berarti dia sudah tahu urutan sekolah, urutan umur. Artinya, logika anak ini jalan. Otaknya bisa mikir secara logis.

“Kalau perempuan, lulus kuliah, trus wisuda, trus menikah,” kata Afiqah.

“Kalau perempuan, lulus kuliah boleh kok kerja dulu,” kata Manda Andin memberikan alternatif konsep lain di benak Afiqah.

Dibalas lagi oleh Afiqah,”Kalau laki-laki, lulus kuliah, kerja, menikah, baru punya anak.”

“Sama, perempuan bisa juga kerja dulu setelah lulus kuliah…” kata Manda.

“Nggak…,perempuan lulus kuliah, menikah, punya anak…”

Manda Andin mulai nge-test Afiqah, “Trus, uangnya dapat dari mana?”

“Ya dari suaminya dong,” kata Afiqah. Mukanya serius sekali menjawab pertanyaan tersebut.

“Afiqah tahu itu dari mana?”

Ia cengar-cengir saja, “Hmmmmmm….. dari otak…,” katanya sambil menunjukkan telunjuknya ke kepalanya.

“Beneran ini…darimana tahu konsep itu….” Kata Manda Andin sambil memelas kepo ingin tahu.

“Iya, dari dalam sini, dari dalam otak,” jawab Afiqah.

“Ah, yang benar?” manda Andin sambil terus menggali informasi. Ia penasaran, bagaimana bisa anak 3 tahun berpikir sejauh itu tentang konsep urutan kehidupan seseorang. “Dari Bu guru di kelas kali? Apa dari Bu guru di main peran?” selidik Manda Andin.

“Nggak….,” kata Afiqah sambil senyum-senyum.

Tetap Afiqah menjawab bahwa pemikiran tersebut berasal dari otaknya. “Ada di pikiran sini di dalam,” begitu jawabnya secara lugas.

Saya yang mendengar cerita tersebut merasa terkejut juga. Di saat jelang tidur, Afiqah bisa berpikiran jauh ke depan. Sebuah insight tentang kehidupan masa depan bisa ia bayangkan. Luar biasa menurut saya. Ini obrolan berat sekali.

Kami akan selidiki darimana konsep ini berasal. Bisa jadi dari gurunya, bisa jadi dari teman-temannya. Bisa jadi dari tantenya. Bisa jadi dari Uti-Akungnya. Entahlah. Besok akan kami caritahu darimana informasi itu bisa masuk, dan melekat terpatri di dalam pemikirannya.

Hari ini Afiqah pokoknya dewasa sekali deh. Cara ngomongnya itu seperti orang yang haus belajar. Ia tik-tok ngobrol dengan Manda Andin terus-menerus. Jika kurang puas, ia tanya lagi. Manda Andin sampai bilang begini ke saya setelah Afiqah tidur, “Ini seperti….anakku bukan anakku….Ini beneran ga sih Afiqah? Kok dia tahu konsep-konsep yang kita belum pernah ajarkan (baca: nikah)?” Begitulah keheranan dan penasaran Manda Andin terhadap pembicaraannya dengan Afiqah malam itu.

IMG-20160122-WA0024

Pembelajaran Anak Metode Sentra

Kadang ketika anak menyampaikan pemikiran-pemikirannya, kita selaku orangtua harus bisa bijaksana menanggapinya. Jangan sampai kita terburu-buru langsung men-judge pemikirannya salah. Cari tahu dulu penyebab atau asal-usul mengapa ia bisa berpikiran seperti itu. Kami pasti akan cari tahu, darimana ia bisa punya pemikiran itu. Uniknya di pendidikan Ber-Metode Sentra, meski anak terlihat main-main saja kegiatannya di sentra-sentra tersebut, sebenarnya di saat bersamaan, ia sedang dalam proses download dan instalasi konsep-konsep yang ia dengar dan lihat, yang dipandu oleh guru. Bahkan mungkin tidak dari gurunya saja. Dari temannya juga bisa jadi acuan dan masuk untuk dipikirkan makna dari kejadian-kejadian yang ia amati.

Misalnya bisa dari Sentra Main Peran. Dari sana, bisa jadi saat main peran, konsep-konsep tentang bagaimana peran seorang anak, ibu, bapak, kakak, adik, semuanya bisa terserap dan terinstall di dalam kepala anak, meski ia hanya melihat dan mendengar saja keterangan guru saat main peran. Serpihan-serpihan berupa puzzle tentang konsep kehidupan itu, dimaknai secara mendalam oleh anak dengan Metode Sentra karena itulah inti dari pendidikan: mampu membaca kejadian. “Iqra”. Kejadian bukan sekedar kejadian yang lolos dari pengamatan mata. Kejadian, jika kita jeli melihatnya, bisa jadi suatu pembelajaran yang berharga.

Lalu, jika ada kemungkinan-kemungkinan yang anak yakini saklek harus begini atau begitu, kita bisa luruskan pemahamannya terhadap suatu konsep. Misalnya pada kasus di atas konsep menikah, konsep bekerja antara perempuan dan laki-laki harus diluruskan agar ia tak hanya punya satu perspektif saja.

Perkara insight yang jauh ke depan itu juga dialami Andin saat jadi pengajar di SD Batutis Al-Ilmi di semester I tahun 2015. Waktu itu ada siswa kelas 3 bertanya, “Bu, diperkosa itu apa sih?” Sebagai guru science, Andin tidak reaktif menanggapi pertanyaan dengan topik tersebut. “Diperkosa itu dipaksa melakukan hubungan suami-istri, oleh orang yang bukan pasangan suami-istri,” jelas Andin pada siswanya.

Lalu para siswi malu-malu menanggapi pembicaraan itu. Sementara itu para siswa biasa saja menanggapinya. Andin mengingatkan para perempuan agar tidak berjalan sendiri, kalau ada orang yang mencurigakan atau memaksa, teriak saja. Bisa lari ke tempat ramai. Perempuan juga harus bisa bela diri, pertahankan diri.

Tiba-tiba saja seorang siswa bernama Fajri bilang, “Kalau aku nanti pasti akan lindungi istri aku bu.”

“Oh ya. Harus itu,” respon Andin sambil menelan ludah karena kaget. Anak kelas 3 sudah punya insight jauh ke depan tentang kehidupan berumah tangga dengan tekad yang mulia.

Ada lagi siswa lain yang memang emosinya bergejolak, bilang, “Kalau aku, kuhajar dia (pelaku pemerkosaan),” sambil memperagakan gaya menghantam seseorang. Benar-benar deh. Anak Batutis itu baik yang Bayi, Toddler, Playgroup, TK, dan bahkan SD, selalu punya pemikiran dengan pemaknaan mendalam atas suatu kejadian. Dipikiriiiiiiiin banget.

Kami berdua senang sekali, Afiqah bisa eksplorasi berbagai konsep-konsep yang berputar di dalam otaknya. Meskipun tidak semua pemikirannya tepat, tapi paling tidak, ia berani mengungkapkan apa yang ia pahami. Kami selalu menjunjung tinggi diskusi dua arah. Tak hanya satu arah. Ini sungguh asyik, menjalani dialektika dengan anak yang ikut serta dalam pendidikan Metode Sentra. Anda akan banyak kagetnya.

Ingin ngobrol dengan saya tentang apa dan bagaimana itu Metode Sentra? Silakan kontak saya di 08111170128 atau colek saya di @pukul5pagi

Sampai Jumpa! Baik di darat, laut, maupun udara!

Istiqomah-lah, Afiqah!

Sepulang shalat jemaah dari masjid Darussalam Kota Wisata, saya menyaksikan kepolosan Afiqah yang mengundang tawa. Kami selalu beri pijakan ketika akan menyeberang jalan, kita harus perhatikan jalan, toleh kiri-kanan apakah ada mobil. Jika ada mobil, kita bisa memberikan tanda dengan tangan agar si supir melambatkan mobilnya.

Nah, pas keluar dari area parkir masjid, ternyata Afiqah mempraktekkannya. Ia menyodorkan telapak tangan kirinya kepada sebuah mobil sebagai sinyal untuk memperlambat lajunya karena kami sekeluarga ingin menyeberang jalan. Sang sopir yang melihat tindakan Afiqah ternyata langsung stop, membuka kaca dan ia tersenyum pada keluarga kami.

Melihat Afiqah menyetop mobil itu lucu sekali. Kami tahunya belakangan, setelah sang sopir menyapa kami. Ada-ada saja si kakak Afiqah.

Afiqah Pulang dari Masjid

Nah, itu bagian bahagianya. Lalu masuklah ke bagian tantrumnya.

Afiqah Tantrum

Kami ingin ke minimarket untuk beli keperluan makan malam. Manda Andin rencananya mau membeli telor dan minyak goreng. Lalu Afiqah nyeletuk, “Afiqah haus. Mau beli minum, boleh?” Manda Andin mencoba negosiasi bahwa kita bisa minum nanti di rumah. “Tapi, hausnya sekarang,” kata Afiqah. Okelah, sebotol minuman air mineral tak mengapa. Bahaya juga kalau kurang minum. Kami juga kehausan. Butuh minum.

Begitu sampai di minimarket, Afiqah dan Manda Andin sudah berkeliling mencari barang yang dibutuhkan. telor dan minyak goreng sudah di tangan. Begitu pas mau bayar, ternyata mata Afiqah tertuju pada buku mewarnai. Ia pun berjalan nyamperin rak buku mewarnai. Lalu Afiqah pun mulai pasang jurus merengek. Ia mulai meminta dibelikan buku mewarnai karena buku mewarnai yang ia punyai, ketinggalan di apartemen di Jakarta. “Di Cibubur belum ada,” begitu penjelasannya untuk meyakinkan kami berdua.

Tapi kami berdua langsung membaca gelagat tidak baik ini. Kami harus berani dan istiqomah dengan tujuan awal ke minimarket, yaitu membeli telor dan minyak goreng untuk makan malam. Tidak ada agenda lain di luar itu. Jadi, kalau Afiqah mau mengada-ada membeli hal di luar tujuan awal, harus direm. Tidak bisa semua hal yang dimaui anak, harus kita turuti agar ia merasa senang. Tidak bisa seperti itu. Kita harus strict, bahwa jika kita ingin sesuatu, harus ada prosesnya, ada planningnya, ada pengalokasiannya. Tidak bisa segala sesuatu itu selalu datang tiba-tiba, tanpa rencana, atau bahkan hanya untuk memenuhi keinginan mendadak alias nafsu semata. Hal ini sangat perlu ditekankan kepada anak.

Afiqah mulai menangis. Mulai dari level nada rendah, sedang, lalu tinggi, dan sampai pada kondisi tidak terkontrol karena suaranya berisik mengganggu pengunjung minimarket. Akhirnya, saya harus ambil sikap. “Mohon maaf Afiqah, tidak semua keinginan kamu harus kami turuti. Kita harus istiqomah sesuai tujuan awal mau beli apa ke sini. Untuk beli buku mewarnai bukan sekarang waktunya. Itu bukan kebutuhan mendesak. Nanti bisa menunggu kita ke apartemen,” kataku sambil menggendong Afiqah keluar dari minimarket. Tindakan saya itu tergolong ke dalam tindakan opsi terakhir setelah negosiasi secara verbal tidak berhasil, yaitu physical intervention. Itu dibutuhkan dalam kondisi darurat chaotic terjadi.

Afiqah menangis makin menjadi-jadi. Semua orang lihat kami dengan seorang anak di gendongan yang meraung. Tak apa-apa dibilang macam-macam oleh orang lain. Ini momentum pembelajaran buat Afiqah. Tidak semua hal harus diikuti. Tidak semua kemauan dan keinginan bisa terwujud tiba-tiba. Semua butuh proses. Itu pesan mendalam yang ingin kami sampaikan kepadanya secara tidak langsung.

Kami terpaksa masuk mobil, lalu beranjak pulang. Ia tetap menangis. Manda Andin tetap memberikan sugesti positif. “Manda mengerti perasaan Afiqah. Afiqah sedih. Tapi kita tetap harus sesuai tujuan awal mau belanja apa tadi sebelum berangkat. Kita mau beli telor dan minyak goreng, kan?”

Manda Andin memeluk Afiqah dengan penuh kasih sayang, meski ia tetap dalam keadaan menangis. “Manda yakin Afiqah bisa mengontrol emosi. Afiqah kan sudah kakak-kakak, sudah sekolah playgroup” kata Manda Andin memberi apresiasi sekaligus menyindirnya secara halus.

Begitu masuk gerbang komplek perumahan kami, Afiqah masih menangis. Sampai di depan rumah, ia masih tetap menangis. Tapi begitu sudah turun dari mobil, tangisnya mulai reda. Ia sudah bisa kontrol emosi.

“Afiqah butuh berapa menit untuk tenangkan diri?” tanya Manda Andin.

Mulut Afiqah menjawab dalam kalimat terbata-bata sambil isakan tangis sesekali menyelinginya, “Lima menit.” Ok, kita beri lima menit. Biasanya sih lima menitnya masih belum akurat. Biasanya kurang dari waktu normal lima menit.

Sesuai Tujuan, Tetap Istiqomah

Praktis, dari sejak nangis awal, hingga reda, durasi menangis Afiqah hanya sekitar 12 menit. Waktu 12 menit yang sangat krusial dan menentukan pembentukan karakter seorang anak. Apakah orangtuanya “mengalah” demi anak, atau ia tetap pada pendirian dan istiqomah menjalani tujuan awal yang sudah ditetapkan?

Saya dan Andin meyakini, jika kita terlalu gampangan menuruti kemauan anak, kelak ia bisa dengan mudah minta ini-itu tanpa tahu ada proses yang berdarah-darah juga dalam mewujudkan keinginan tersebut. Ada yang miss di sana, yaitu proses mewujudkannya. Anak yang terbiasa sedikit-sedikit minta ini-itu lalu diwujudkan orangtuanya secara cepat, akan menganggap ketika minta sesuatu, jurus simsalabim bisa dipakai dan bisa berhasil. Tinggal minta, tiba-tiba barangnya ada. Ia tidak akan mau tahu bahwa untuk mau sesuatu itu, butuh perjuangan terlebih dahulu.

Namun beda hasilnya jika anak yang kita biasakan strict dengan memperhatikan proses serta mampu membedakan keinginan dengan kebutuhan. Kalau si anak mampu istiqomah pada tujuan awal, lalu ia juga mengerti bahwa jurus ujug-ujug bisa dapat ini-itu tidak berlaku, maka ia akan tumbuh menjadi orang yang sangat menghargai proses dan perjuangan hidup. Rasa syukurnya pun lebih tinggi.

Kami membiasakan Afiqah untuk bisa mengerem nafsu keinginannya. Ia harus bisa potong ego-nya. Beberapa bulan lalu, ketika Afiqah punya keinginan untuk memiliki sepeda, kami tidak langsung membelikan. Kami memberikan informasi bahwa untuk beli sepeda, butuh waktu dan usaha. Harganya mahal, dan kita harus kumpulkan uang dulu. Untuk mengumpulkan uang, kita harus bekerja, berkarya. Jadilah Afiqah menyibukkan diri seolah-olah ia bekerja di rumah. Ia sibuk belajar. Memberes-bereskan mainannya, dan dia anggap itu bekerja.

“Lagi apa kak?” tanyaku iseng di suatu siang. “Afiqah mau kerja dulu mau nabung buat beli sepeda.” Kami hanya senyum menanggapinya. Meski konsep kerjanya masih kurang tepat, tapi okelah. Ia tak langsung ujug-ujug bisa dapatkan sepeda dengan mudah. Harus kerja dulu, harus cari uang dulu. Harus hitung, berapa upaya dan usaha yang harus dilakukan untuk capai target yang sudah dikunci tadi. Konsep itu yang kami install di kepala Afiqah. Kalau mau sesuatu, harus ada usahanya. Tidak bisa menengadahkan tangan begitu saja. Terima pasif, terima jadi. Dengan begitu, kita melatih logika berpikir Afiqah (logic mathematic). Ia jadi tahu tentang sebab-akibat, konsekuensi logis dari suatu tindakan. Kalau mau sesuatu, rencanakan sejak jauh-jauh hari. Itu lebih baik. Meski kami tidak menutup ruang untuk tetap bisa melakukan tindakan impulsif seperti pemberian hadiah kejutan atau tindakan surprise lainnya.

Tantangan Lingkungan

Permasalahan yang kerap kita hadapi adalah manakala ada orang di sekeliling kita yang terlalu mudah memberikan atau memenuhi keinginan anak kita. Bisa saja kakek-neneknya, atau om-tantenya. Atas nama kasih sayang, semua barang yang diinginkan si anak segera hadir di pelupuk matanya dengan begitu cepat. Atas alasan agar si anak tidak nangis, semua barang dibelikan. Ini sulap dan ini sihir, TARA……

Untuk itu, perlu dikomunikasikan kepada keluarga besar kita bahwa untuk membangun mentalitas dan karakter anak yang lebih baik, kita jangan sampai memanjakan anak dengan gampangan memberikan ini-itu sesuai keinginan dia. Kita harus selektif, dan memperhatikan ada proses perjuangan yang harus dilalui seseorang jika ia inginkan sesuatu. Orangtua dan keluarga besar harus satu frekuensi dalam menjalankan pola asuh terhadap seorang anak agar tidak ada kebingungan di dalam dirinya.

Menghargai proses adalah sesuatu yang mahal di Indonesia, karena banyak orang yang tak sabaran dan ingin potong-kompas saja. Budaya ingin sukses instan adalah musuh yang harus dienyahkan dalam pikiran kita. Sukses yang dicapai lewat perjuangan yang berproses, masa “panen”-nya lebih lama. Tidak cepat hilang.

Dalam pengamatan kejadian kongkret di jalanan, kita sering lihat banyak motor karena buru-buru mengejar waktu, saban hari melawan arus untuk bisa sampai lebih cepat ke tempat yang dituju. Padahal sudah disediakan U-TURN meski memang sedikit lebih jauh dibandingkan memotong jalan atau melawan arus. Tapi tetap saja, pola pikir melawan arus lalu lintas, itu adalah salah. Selain melanggar aturan lalu lintas, hal itu juga bisa membahayakan si pengendara dan pengendara lainnya. Efek lainnya, kemacetan jadi mengular kemana-mana karena ada kumpulan ego yang tak bisa ditahan. Seenak jidatnya saja. Yang penting kepentingan saya pribadi terpenuhi (cepat nyampai). Peduli setan dengan urusan jalanan jadi tambah macet kek, mau mandeg kek. Sabodo teuing kalau dalam istilah urang Sunda. Ini contoh kongkret orang yang tidak menghargai proses, hanya berorientasi result, ingin cepat sampai, apapun caranya. Segala cara ditempuh untuk memenuhi hasrat dan ego.

Mari mengubah masyarakat kita mulai dari keluarga kita, dari anak kita sendiri. Pastikan anak kita tidak ter-install prinsip “simsalabim sulap”, “asal cepat sampai”, “potong-kompas”, “egosentris” di dalam dirinya. Pastikan ia menghargai proses. Pastikan ia melakukan sesuatu, sesuai tujuan awal, tidak gampang terdistraksi di tengah jalan. Pastikan apapun kegiatan yang ia lakukan, ia harus istiqomah menjalani pilihan kegiatannya hingga tuntas. Tidak melenceng sana-sini. Pastikan juga kegiatan tersebut harus memenuhi kebutuhannya, bukan karena impulsif memenuhi keinginan hawa nafsu belaka. Kebutuhan selalu ada batasannya karena ada elemen pengukuran yang bisa dikontrol di dalamnya. Sedangkan keinginan, tidak ada batasnya. Ia adalah laju nafsu yang tak terkendali. Ia adalah jelmaan kongkret dari istilah matematika, Tak Terhingga (~).

Istiqomah ya Kakak Afiqah,

Adlil Umarat

Tim Riset & Pengembangan

Sekolah Dhuafa Bermetode Sentra, Batutis Al-Ilmi, Pekayon-Bekasi

@pukul5pagi

umarat.adlil@gmail.com

http://www.umarat.wordpress.com

08111170128

childhoodoptimizer

"Optimalkan masa kecil anak, agar hidupnya selamat, kelak!"

One's Blog

Ucapan berhamburan - Tulisan akan bertahan

Ollie dan Dunianya

"I read, I travel, and I become"

penjelajahmimpi

Terus menjelajahi mimpi, karena semua berawal dari sini

Chae's Blog

Life begins at the end of your comfort zone

Muhammad Jhovy Rahadyan

Be The Best Of Ourself

Ardisaz

Game Development and Game Industry news in Indonesia

Kiki Barkiah

Ummi diary

Fitri Ariyanti's Blog

Mengolah Rasa, Menebar Makna

DIENG PLATEAU

PARADISE OF CENTRAL JAVA

Febri Photography

Kadang keindahan diawali oleh kegilaan

dinysullivan92

This Is My Life

Tentang Hidup

Hidup sekali, Hiduplah yang berarti..

Seorang Pemuda Pendamba Ridho Ilahi

Pecinta Dzikir dalam Alunan Fikir

Seni Hidup

=Ketidaksempurnaan Itu Cantik=

Story of Jingga

Biarlah tertulis apa adanya

literasi . seni . lestari

untaian patahan kata bertaut menjadi narasi beresensi

direizz

Just another WordPress.com site

Komunitas Ngejah

Desa Sukawangi - Kec Singajaya - Kab Garut

sihaik

This WordPress.com site is the bee's knees

Azinuddinikrh's Blog

barangkali kau benar, hanya malaikat dan gemericik air lah yang dapat membawaku pergi berlalu

rumah matahari

"sebab tiap kata adalah rumah doa, maka semoga hanya ruh kebaikan yang menjadi penghuninya."

Ayunda Damai

- a bibliophile & learner

Kicau Kaki

Melangkah, memotret, menulis

serbaserbitoyota

information & news

Scientia Afifah

bacalah, dan bertumbuhlah!

Yanto Musthofa

Pengabdian pada bangsa, dedikasi pada profesi, dan segala pikiran serta pengalaman kehidupan adalah harta pusaka yang hilang bila tidak diabadikan. Jangan sia-siakan. Lestarikan dan wariskan dalam buku!

nimadesriandani

Balanced life, a journey for happiness site

Rindrianie's Blog

Just being me

rizasaputra

tempat kuring ngacapruk

Moh Darodjat

Muhammadiyah Gerakanku

Ruli Blogger

Wordpress.com

Faiz' Journey

Mushonnifun Faiz Sugihartanto's Journey

JaTiara

Menulis itu soal rasa bukan hanya tentang tata bahasa

Imaji Tiada Batas!

Hidup sederhana, berkarya luar biasa.

Ridwanologi

Ruang Pandang Ridwan Aji Budi Prasetyo

unspoken mind

if you can't tell, just write

Arip Yeuh!

Harimau berburu, burung terbang, dan protagonis kita ini terus menggerutu

jemari anneo

"LEPASKAN YANG RAGU, GENGGAM YANG PASTI".

RGS no tsubuyaki

dengan semangat Bangun Indonesia!

just a treasure

jika kau bertanya apa hartaku yang paling 'berharga', maka kau sudah menemukannya. :)

Penyukajalanjalan

Jelajahi dunia selagi bisa

Mirna's Blog

My Life, My Story