“Kalau ayah pintar, kenapa kehidupan keluarga kita begini (miskin)?”
Begitu teriak Andi kepada ayahnya dalam sebuah pertengkaran ayah-anak di sebuah rumah sederhana, di Kp Kalibata Srengseng Sawah Jagakarsa Jakarta Selatan RT09/07. Posisi rumahnya tak jauh dari Kukusan Teknik Universitas Indonesia-Depok.
Andi dan ayahnya yang bernama Nurdin (panggilannya Udin), memang kerap berselisih pendapat. Mereka bukan sosok yang akur. Andi beberapa kali mengungkapkan rasa muaknya tentang kondisi rumahnya yang semrawut, terkurung kemiskinan tanpa ada peningkatan kualitas hidup.
Komplain Andi pada ayahnya yang bertindak selaku kepala keluarga menurutku bukan semata berasal dari Andi. Ia mewakili komplain anggota keluarga lainnya, ibu dan tiga orang adik Andi lainnya.
Di kesempatan lain menurut cerita ibunya, Andi pernah diam-diam membuat puisi dengan judul Ayah ‘Botol’ (Bodoh dan Tolol). Awalnya aku kaget mendengar sikap Andi yang tidak sopan pada orangtuanya sendiri. Tapi belakangan aku menyadari, jika kita ada di posisi terjepit, miskin, sulit bayar uang sekolah, tak tahu mau makan apa hari ini, tentu kita kurang bisa menjadi tuan atas diri kita sendiri. Artinya, segala luapan emosi bisa bercampur jadi satu, dan jika tidak kuat mengontrolnya, ia bisa dimuntahkan bersama kata-kata kasar. Continue reading