Memilih Pakai Hati

Hati nurani tak bisa dibohongi. Jika dibohongi, maka rasa tak nyaman akan datang menyerang diri.

Hal itu aku rasakan saat bingung memilih antara D3 STAN, atau Sosiologi Universitas Indonesia. Aku diterima di dua tempat tersebut, pada pertengahan Juli-Agustus tahun 2002. Sebelum SPMB, aku melakukan tes minat dan bakat di SMA. Hasil dari psikolog mengarahkan aku ke bidang yang banyak berhubungan dengan masyarakat. Maka, jurusan komunikasi direkomendasikan untuk dipilih. Aku ikuti saran mereka memilih Komunikasi, dan Sosiologi sebagai backup plan.

Ayahku sudah sangat bangga dengan kelulusanku di STAN. Bagi kami di Riau–propinsi yang masih berkategori belum maju–STAN adalah lambang kesejahteraan, prestise, dan kepastian masa depan. Di kampungku Bukittinggi, jika berkenalan dengan orang lain dengan menyebutkan STAN sebagai identitas, pasti membuat orang terkagum-kagum. Siapa yang tidak bangga? Begitu lulus, bisa langsung kerja di Depkeu, dengan gaji paling besar dari PNS lain di level yang sama.

Awalnya aku juga ikut bangga menjadi salah satu dari beberapa lulusan SMA Insan Cendekia yang lulus STAN, jurusan Akuntansi. Aku larut dalam euforia. Kos tempat tinggal sudah disiapkan, hasil bookingan dari kakak kelas kenalanku di Insan Cendekia. Observasi lingkungan STAN pun sudah dilakukan selama beberapa hari.

Namun, siapa sangka pikiranku berubah drastis tepat di saat aku selesai Shalat Zuhur di daerah Bintaro, yang hanya beberapa puluh meter dari kampus STAN. Sebelumnya aku baru saja mengukur baju untuk seragam dan sudah siap untuk ikut ospek di STAN. Hatiku tak nyaman melihat diriku bergaul di lingkungan STAN yang cenderung kurang dinamis. Organisasi mahasiswa di STAN pada waktu itu lebih bertumpu pada kelompok-kelompok berbasis daerah asal. Sekelebat pikiranku berubah drastis. Aku jadi ragu, pikiran berkecamuk, hati berkata lain. “Tempat ini tak cocok untukmu,” begitu suara dari hatiku terus merongrong keteguhan, dan euforia atas keberhasilan lolos STAN yang sempat aku rayakan.

Setelah shalat Zuhur itu, aku nekat, meniatkan diri “kabur” dari STAN, dan mengejar mimpiku di Sosiologi Universitas Indonesia. Aku tak tahu harus naik angkot jurusan apa waktu itu. Aku ambil saja transportasi mudah didapat, taksi Blue Bird.  Setelah membuka pintu taksi dan naik, aku jelaskan ingin ke Depok, kampus UI. Sopir pun mengangguk. Aku sedikit lega, aku mengambil keputusan berani dengan mendengar kata hati. Itulah perjalanan terpanjang yang pernah aku rasakan dalam hidup. Parahnya lagi, setelah sampai di sekitar Fatmawati, aku cek dompet, uangku tak seberapa di kantong. Kurang dari Rp 50 ribu. Akhirnya aku meminta pak Supir untuk mengantarkanku ke atm untuk mengisi kocek. Setelah mengambil uang di ATM Mandiri, aku naik taksi yang sama, dan lanjut lagi ke UI.

Universitas Indonesia

Sesampainya di UI, rasa pesimis datang menghampiri. Ternyata pendaftaran ulang mahasiswa UI fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sudah lewat tiga hari dari jadwal resmi. Aku berjalan lesu membaca pengumuman itu. Tapi segera aku berpikir lagi. Jangan patah arang. Aku kan perantau. Coba dulu sekuat tenaga. Aku tanya ke petugas dari pihak rektorat. Akhirnya aku beranikan diri menghadap Wakil Rektor. Aku lupa Wakil Rektor yang mana waktu itu. Singkat kata, aku jelaskan keinginanku ingin masuk UI, tapi telat. Sang Wakil Rektor pun bertanya darimana asalku. Aku langsung buktikan aku dari Riau dengan menunjukkan KTP. Lalu ia berkata, “Oo kamu dari Riau, jauh juga ya?” tanyanya penuh iba. Aku hanya menjawab dengan senyuman mengembang saja, tanpa kata-kata. Aku memang anak Riau. Tapi barusan dari Bintaro, dan sekolahku bukan di Riau, melainkan SMU Insan Cendekia bikinan Habibie dekat Puspiptek-Tangerang. Tapi aku memutuskan untuk tak menyebutkan atau berkomentar menanggapi Wakil Rektor tersebut. Cukup melempar senyum saja.

“Ok dek, mengingat kamu anak daerah, saya kasih kesempatan. Kamu bisa masuk UI, dan tidak perlu cek kesehatan ini-itu. Langsung masuk. Ini saya kasih suratnya untuk pembayaran awalnya.”

“Terima kasih banyak pak atas pengertiannya. Tapi ada satu persoalan lagi pak.” “Apa itu?” tanya Wakil Rektor penasaran. “Saya tidak punya uang. Orangtua saya di Riau.” “Wah, kamu ini bagaimana sih. Oke, bagaimana kalau besok? Bisa?” “Belum tentu juga pak, tapi Insya Allah saya coba pak. Saya harus ke bank dulu, memastikan bisa trasnfer,” jawabku meminta dispensasi yang kesekian kalinya. “Ok, deal!” ucap Wakil Rektor yang aku tak ingat namanya itu.

Jadilah aku diterima di Sosiologi UI tanpa tes kesehatan, tanpa antri, namun pakai surat sakti dari Wakil Rektor saat itu. Aku senang sekali. Lega. Aku tak lagi membohongi atau menutupi keinginan hati nurani. Aku resmi jadi mahasiswa Sosiologi UI dengan status “ngutang dulu”. Memang, Sosiologi bukanlah pilihan utamaku. Aku memilih jurusan Komunikasi sebagai pilihan pertama saat SPMB dulu. Namun, Allah meloloskanku di Sosiologi. Rezekiku mungkin di sana. Awalnya memang ada sedikit rasa kecewa karena gengsi atau prestise nama Sosiologi kurang mentereng menurut orang banyak. “Palingan karirnya jadi guru di SMA,” begitu kebanyakan orang berkomentar. Namun rasa itu perlahan hilang karena aku gembira, dengan meninggalkan STAN, aku bisa jadi anak UI yang terkenal dengan jaket kuning dan gerakan reformasi saat itu. Aku punya keyakinan, kehidupan dinamis di UI akan menggemblengku menuju jalan yang lebih terang bagi diriku ke depannya.

Menjadi Penghuni Gelap Kos-kosan

Aku berjalan gontai sepulang dari mendaftar ulang dari UI. Memang, ada kabar baik, aku diterima di UI. Tapi ada lagi masalah lain. Mau balik ke STAN, atau ke rumah teman di Ciputat? Barang-barangku banyak di rumah temanku Adyarachman Herdian, di Ciputat. Kalau aku pulang ke sana, tentu jauh, dan banyak memakan waktu serta ongkos. Sementara, di UI, harus sudah mulai kegiatan ospeknya besok. Bingung kan? Akhirnya, dengan beberapa lembar baju yang aku bawa, aku nekat ke tempat kos kakak kelas IC di Kukusan Teknik. Aku jalan dari Balairung ke Kutek. Jaraknya lumayan, sekitar 2 km. Pegel juga. Aku masih ingat rumah indekost kakak kelasku karena pernah berkunjung saat ada kegiatan Bedah Kampus dulu.

Sesampainya di sana, untunglah kakak kelas sedang ada di tempat. Aku disambut hangat. Aku ceritakanlah masalahku seputar tempat tinggal dan ia mafhum. Akhirnya ia bersedia menyediakan tempat tinggal sementara bagiku. Syukurlah. Masalahnya hari sudah beranjak malam.

Aku memulai aktivitas ospek berupa latihan nyanyi untuk wisuda di Balairung pukul 5 pagi keesokan harinya. Pakaian yang aku bawa seadanya saja. Untunglah aku punya celana putih dan baju putih. Celana putih bekas seragam SMA. Baju putih beli di mall.

Latihan nyanyi saat ospek begitu menguras energi. Aku harus berangkat pukul 5 pagi dengan barang bawaan ini-itu yang sedikit seperti “ngerjain” sih menurutku.

Pusing juga beradaptasi dengan dunia baru, numpang di kos orang pula. Bangun pagi, aku harus sarapan. Kalau dulu di IC ada kantinnya, sekarang harus mulai makan sendiri. Awalnya aku coba sarapan bubur kacang ijo dan roti. Walhasil aku sering sakit perut karena begitu selesai harus ke toilet. Sudah 6 tahun aku terbiasa sarapan nasi sebelum memulai aktivitas pagi. Jika hanya makan bubur kacang ijo dan roti, murah sih, tapi tidak cukup memberi energi. Ada kalanya aku coba makan di warteg. Tapi lauknya, terus terang belum ada yang sesuai dengan lidahku. Meski pernah 3 tahun di Solo, aku rasa masakan warteg di Kutek tidak seenak masakan orang Solo. Bahkan aku lihat masakannya lebih banyak minyaknya, dan kurang bersih. Sungguh perjuangan yang teramat sangat berat. Harus sarapan subuh, meski tak ada pilihan makanan yang enak. Waktu itu berpikir, enak banget ya tinggal di Jakarta dengan keluarga. Bisa sarapan tiap hari dengan masakan favorit. Beruntunglah mereka yang tinggal di rumahnya, bersama keluarga. Tapi pembandingan-pembandingan seperti hanya akan membuatku lemah. Lambat laun, aku hapus dari memori otakku.Tepok jidat. I  have to fight! Aku anak rantau!

Ada rutinitas baru yang aku jalani tiap hari. Jika tak sempat numpang nyuci di kos kakak kelasku, aku membeli baju/kaos baru di mall. Seingatku waktu itu di Ramayana Depok. Terlebih jika aku tak sempat nyuci, sementara baru pulang jam 8 malam. Aku beli baju dan kaos termurah biar hemat. Sepintas terlihat gaya banget ya, seperti orang kaya saja. Tapi trust me, ini karena terpaksa, aku ga punya baju lagi. Hanya bawa beberapa helai. Biar murah, aku beli kaos dalam warna putih. Nah, saat itu harganya palingan Rp 15 ribu – Rp 20 ribu. Kaos polos menemaniku tidur.

Tak jarang teman-teman kampusku mungkin heran melihatku selalu tampil rapi dengan berkemeja di awal-awal kuliah (masa ospek jurusan). Aku tertawa dalam hati, “Belum tahu aja mereka. Emang ga punya baju lagi! Hehe”

Waktu berlalu dengan cepat. Aku tetap menginap di kos kakak kelasku yang bernama Zaini Rosyid. Menumpang memang tak enak. Tapi itu dilakukan terpaksa.Semua kos penuh karena aku telat daftar ulang ke UI. Aku sempat minta dicarikan jika ada yang kos kosong. Kakak kelasku yang lain, Danang Aziz rencananya akan selesai ngekos dan kamarnya akan diberikan padaku. Setelah aku lihat, ternyata kamarnya bagus, dan lingkungannya aman. Tapi harus nunggu 2 minggu lagi. Tak apalah menunggu.

Hidup di rantau memang tak selalu mulus. Ada kalanya sedih. Suatu hari, karena terlihat sering mondar-mandir di kos, aku ditegur oleh pemilik kos. “Adek ini siapa?” tanya bapak tua bervespa. “Saya adek kelasnya Zaini pak, numpang dulu sementara sebelum dapat kos.” “Saya perhatikan kamu sudah lama numpang. Jangan numpang-numpang dek, di sini kosan mahal.”

Sumpah. Itu pengusiran yang bikin nyesek dada. Mau pergi, pergi kemana? Nyari kos, susah juga. Sudah pada penuh. Kamar kos yang dijanjikan padaku baru kosong dua minggu lagi. Akhirnya aku jawab sekenanya saja, agar si bapak pemilik kos itu senang. “Iya pak, ini sementara masa ospek saja pak. Saya sedang nyari kos juga di sekitar sini, tapi belum ketemu. Kalau sudah dapat, saya pindah pak.” “Bener ya!” tutup pak tua sambil pergi. “Iya pak,” jawabku lemas.

Waktu berlalu hari demi hari. Aku tak kehabisan akal. Agar tak kelihatan oleh bapak si empunya kos, aku pergi subuh, dan pulang larut. Beberapa hari aku tak bertemu dengannya. Alhamdulillah. Main kucing-kucingan memang membuat adrenalinku kembang-kuncup.

Namun, sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh jua. Aku kepergok oleh Bapak kos, tepat saat aku keluar kamar mandi dan sedang mengibas-ngibas rambut dengan handuk. Parahnya, pak Kos itu sedang mengepel lantai tepat di depan pintu kamar mandi. “Alamak! Bakal kena gebok nih” Begitu keluar kamar mandi, langsunglah aku di skak-mat. “Kamu masih di sini? Dek, di sini kos mahal. Kan saya sudah bilang supaya pindah.” Aku gelagapan menjawab pertanyaannya, tertangkap tangan tanpa keluar banyak kata. Masa sih aku ngeles hanya numpang mandi? Akhirnya aku berani ngomong bahwa butuh beberapa hari lagi untuk pindah karena orangnya belum habis masa kontraknya. Lagi pula kataku, aku sedang menggantikan kakak kelasku, Zaini, yang pulang kampung. Jadi kamarnya kosong. Alasanku tetap disambut senyum kecut, tanda tak ikhlas dari pak kos tadi. Pahit sekali rasanya.

Tak berapa lama, aku mendapatkan lengseran kamar kos dari Kak Danang AZ. Alhamdulillah. Aku masih sering main ke kos lama kak Zaini. Tapi kali ini kepalaku sudah tegak. Ketika berpapasan dengan pak kos super pelit itu, jika ditanya lagi, aku sudah siap menjawab, “Sudah punya kos.”

Pada akhirnya ia tak pernah bertanya lagi. Palingan, hanya mengkerut dahinya tiap melihatku melintas di depan rumah kosnya. Tak apalah. Itu masalah dia, bukan masalahku.

Masa Indah Sosiologi

Lima tahun aku perdalam ilmu di Sosiologi UI. Aku begitu mencitai ilmu tentang masyarakat karena sejak di SMA dulu, nilai pelajaran Sosiologiku paling tinggi di rapor. Jika berkesempatan mengunjungi perpustakaan, aku terbiasa membaca dua topik di koran nasional, politik (headline) dan olahraga. Aku sangat suka sekali melihat fenomena sosial. Sosiologi adalah passionku. Masuk jurusan Sosiologi memberikanku kesempatan lebih untuk belajar mengenal teori sosial, ilmu penelitian sosial, dan tak ketinggalan ilmu statistik. Pelajaran terakhir adalah yang paling sulit aku pahami.

Jika boleh mengajukan klaim, aku akan lakukan itu. Aku menilai jurusan Sosiologi UI lebih unggul daripada jurusan di fakultas yang sama. Aku rasa itu bertahan hingga kini. Dosen utama Sosiologi selalu hadir mengajar di kelas S1, meski sudah profesor sekalipun. Tiap mata kuliah sosiologi, selalu seperti “ditakuti” oleh mahasiswa jurusan lain karena metode mengajarnya lebih banyak membuat kita berpikir, membuat paper, dan harus rajin mengeluarkan analisa bernas. Bagi yang suka ujian menghapal teori, pasti kewalahan mengambil mata kuliah Sosiologi. Terkesan subjektif memang, tapi Anda bisa cek ke jurusan lain. Berapa banyak dosen utama mereka yang masih mengajar di kelas yang diampunya. Palingan asistennya yang disuruh menggantikan. Sementara dosen ternama itu malah asyik tampil di tv, jadi seleb.

Mahasiswa sosiologi juga dikenal ‘rese’ oleh anak jurusan lain. Jika mereka mengambil mata kuliah jurusan lain, perdebatan biasanya diarahkan ke ketiga core competences anak sosio, yaitu teori, metodologi, dan statistik. Dua hal pertama mungkin yang paling sering dijadikan andalan. Tak jarang, mahasiswa jurusan lain, terintimidasi dengan anak Sosio. Menurutku bukan karena anak sosio ingin pamer. Tapi mereka memahami teori sosial secara komprehensif, dalam, dan jelas sistematika atau klasifikasinya. Jadi, anak sosio di kelas jurusan lain kerap bikin “onar” dengan pertanyaan-pertanyaan teoritisnya, analisa metodologi yang membuat orang keder.

Dok. Pribadi: Adlil Umarat & Rambut Pant*ne

Dok. Pribadi: Turun Lapangan di Borobudur "Lebih rapi ya?"

Jika sekelas dengan anak sosio, umumnya orang akan memilih mereka masuk ke dalam satu tim agar merasa aman. Hahaha. Anak sosio aku bisa katakan, selalu berpikir kritis terhadap apapun. Itu yang aku suka. Kami diajarkan materi critical thinking di awal-awal ospek jurusan dulu. Sementara jurusan lain ospeknya masih yang berorientasi lucu-lucuan, hora-horean, dan plonco ga penting dari senior terhadap junior, meski kadarnya tidak parah-parah amat.

Puncak prestasiku di Sosiologi adalah saat ikutan ajang Mapres (Mahasiswa Berprestasi). Hasil diskusi di kelas Sosiologi Pembangunan membuatku terinspirasi untuk mengkritisi kemacetan sistem demokrasi di Indonesia saat itu, terutama sorotan aku tujukan kepada DPR yang sedang banyak ulah saat itu. Akhirnya aku buat tulisan yang agak serius, dengan bantuan dosen muda I Wasi Gede. Paperku dinilai cukup bagus oleh dewan juri. Aku dapat peringkat 2 Mahasiswa Berprestasi di FISIP UI. Peringkat satunya Sofwan Al Banna, mahasiswa Hubungan Internasional. Ia adalah penulis buku yang sudah berkeliling Indonesia menjadi pembicara berbagai seminar saat itu. Belakangan ia menjadi mahasiswa berprestasi no 1 tingkat nasional. Wajarlah aku kalah. Adapun peringkat 3 adalah Faozan. Ia mahasiswa jurusan Komunikasi. Kali ini aku cukup puas. Ternyata, meski tak masuk jurusan Komunikasi saat di SPMB, tapi aku mampu mengalahkan mahasiswa terbaik di jurusan Komunikasi. Ada kepuasan batin tertentu dalam hati.

Akhirnya aku lulus dengan penelitian tentang FOSMA Depok–komunitas ESQ di bawah pimpinan Ary Ginanjar Agustian–setelah sebelumnya magang di ESQ Leadership Center. Di sana, Sastrawan-Jurnalis ternama Yudhistira ANM Massardi menjadi mentorku dalam belajar tulis-menulis.

Dok. Pribadi: Wisuda Bersama Papa-Mama di Balairung UI

Pasca Kampus

Setelah lulus, kusibukkan diri selama 6 bulan menjadi asisten dosen melakukan penelitian sosial ke daerah-daerah. Hal yang paling berkesan adalah penelitian ke Tegal dan Brebes. Di sana kami meneliti tentang koperasi. Luar biasa, ternyata koperasi sekarang tinggal merk saja. Filosofinya sudah jauh hari ditinggal pergi.

Tak lama setelah itu, ada lowongan di RCTI. Aku coba daftar. Ternyata calon bosku waktu itu merasa langsung klik denganku saat wawancara. Aku pun diterima di “dapurnya” RCTI, Departemen Program Research & Development.

Sekarang, sudah tiga tahun lebih aku berkarya di RCTI. Departemen tempat aku bekerja adalah garda terakhir yang menjaga kualitas tayangan RCTI agar tetap aman dikonsumsi oleh masyarakat. Ternyata Allah menjawab doaku yang tak bisa masuk jurusan Komunikasi di FISIP UI saat SMPB tahun 2002. Aku bekerja di stasiun tv nomor 1 pilihan pemirsa.

Setelah dipikir-pikir, ternyata Allah punya caranya tersendiri untuk menjawab permintaan hamba-Nya. Meski aku kuliah di Sosiologi, aku kerja di bidang media yang nuansanya lebih kental dengan ilmu komunikasi. Aku ditaruh di tempat yang aku inginkan sejak memutuskan pindah dari STAN. Aku sama sekali tak menyesal memilih “kabur” dari STAN di pertengahan Juli-Agustus 2002. Aku memilih pakai hati dan perhitungan yang pasti.

Apakah Anda pernah mengalami hal serupa? Mengambil keputusan, memilih apa yang sesuai kehendak hati nurani, dan mendapatkan hasil yang diinginkan. Mari berbagi kisah di sini…

 

Me @office

 

Cerita di akhir bulan Juli ini didedikasikan untuk adikku Rafiqa Rahim, yang baru mulai kuliah di ITT (Institut Teknologi Telkom) Bandung. Rajinlah belajar, luaskan cakrawala berpikir, lebarkan pergaulan, pilih sahabat yang tepat, dan ingat pengorbanan orangtua di kampung. Engkau memasuki fase hidup menjadi orang dewasa seutuhnya. Berpikir matanglah selalu sebelum bertindak. Dan yang paling penting, jadilah mahasiswa keren! Hanya ada dua tipe manusia orang di dunia: orang malas dan orang rajin. It’s all up to you, mau pilih yang mana. Mau “berdarah-darah” saat kuliah, atau menyesal di kemudian hari. Semoga ada manfaat dari kisahku ini. From the buttom of my heart I will say, ”I Love u sis..I do care about you. Happy learning!”

Follow me on twitter: @pukul5pagi

123 responses to this post.

  1. Posted by Dian Sas on July 30, 2011 at 5:46 AM

    Wah..aad bener2 fighter sejati!! aq baru tau lo klo aad pernah jd mapres 😀 pemeran dalam cerita, semuanya familiar ni.. hehe.. Sukses Ad!!

    Reply

    • Diaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnn! sabahaso, Sakampuang, sajurusan, saangkatan, ndak tau? Sungguh TERLALU! (Bang Oma)

      Reply

    • Posted by Bimo Perbowo Sakti on October 9, 2013 at 2:14 PM

      Luar biasa!! Salut!!
      by : Mahasiswa STAN 2013 asal Brebes yang mungkin akan melakukan hal yang sama.. Minta do’anya saja..

      Reply

      • Sebelum ambil keputusan, coba cek langsung ke lokasi masing-masing, STAN dan universitas lain alternatif pilihan Anda. Harus dirasakan dulu lingkungannya, lalu pertimbangkan, baru ambil keputusan. Soalnya, STAN sekarang kan sudah lumayan lebih baik kualitasnya. Jangan langsung tiru kasus saya ya. Jika memang dari faktor panggilan jiwanya yang ga cocok, baru deh bisa ditiru.

  2. selalu ada cerita yang menarik untuk dibagikan dan disimak dalam setiap perjalanan hidup.

    Reply

  3. Posted by harbaw on July 30, 2011 at 8:21 AM

    cendol dah gan…

    Reply

  4. Posted by yesitea on July 30, 2011 at 8:22 AM

    Wah2, wkt kuliah aku plg ga suka MK sosio. Ini ad org yg passionny di sosio. Hehe…

    Bener bgt mas. Mengukuti kata hati adl yg tbaik. Karena petunjuk Allah bs dtg lwt keyakinan hati.

    Sharing sdkt, Wkt SMA, aku pengen banget kerja di tv. Makanya aku mau masuk komunikasi UI. Tp ats ajakan temenku, aku ikut acara introduction to psychology di UI. Dr awl dtg ke kampus psiko, rasanya homy bgt, beda bgt sm kampus fisip yg trasa asing saat itu. Stlh djelaskn ttg jur psikologi, aku pun mulai jatuh cinta sama ilmunya. Sempat bimbang. Menit2 t’akhir sblm mengumpulkan form spmb, aku br isi pilihan ptamaku. Bismillah, aku plh psiko. Ga nyangka stlh lulus, aku apply ke PR&D rcti yg kebetulan lg cr sarjana psiko. Jadilah aku ttp terjun d dunia tv. Subhanallah…

    Reply

  5. Posted by nastiti on July 30, 2011 at 11:04 AM

    pantesan aad kurus ya.., ternyata agak susah juga makannya….:))

    tulisan yang bagus ad.., dan selamat, kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau.., semoga tetep semangat..dan sukses

    btw.., ditunggu tulisan selanjutnya

    Reply

  6. Posted by Fani on July 30, 2011 at 11:06 AM

    kata orang… intan supaya indah harus digesek, emas supaya lebih bernilai harus ditempa dengan suhu tinggi… gitu duuul.. 🙂
    tp gue seneng dengan kalimat ini “….stasiun tv nomor 1 pilihan pemirsa”, karena impact-nya bonus caspleng, insentif lancarrr…hahaha

    Reply

  7. Posted by najib el on July 30, 2011 at 11:19 AM

    live is a choice…but sometimes live doesn`t have any choice..

    salut buat aad yang keukeuh dalam pilihannya..juga sekelumit lika-liku kehidupan yang menarik untuk dishare. tentu ada banyak pertimbangan, kemantaban hati dll untuk memutuskan sesuatu. hal utama dalam membuat keputusan salah satunya adalah informasi yang berkualitas (cukup, relevan, sumber yg terpercaya dll), disamping itu tentu saja ada hal lain sperti SWOT, willingness risk, capability risk dll. do we have ? jika itu tidak terpenuhi,bagi sebagian orang, ada kalanya menjadi sesal, tp Allah pasti memberikan jalan yang lain bagi hambaNya yang berusaha 🙂

    kawan2 yang memilih STAN (skitar 90% mahasiswa STAN jg diterima di PTN lain) tentu jg punya pertimbangan sendiri..

    Tp apa pun itu, semoga menjadi yang terbaik 🙂

    Reply

  8. Posted by Ana Aulia on July 30, 2011 at 12:22 PM

    Dulu sedih, susah, penuh perjuangan.. Tp klo dceritain skrg jd lucu yaa! Dibikin film kyknya oke nih!”Adlil adventure” haha!! Btw itu foto nyeremin kyk teroris msi aja exist! Foto yg lg pake yellow jacket kenafa??

    Reply

  9. Posted by bunda key on July 30, 2011 at 12:44 PM

    mantap bg,,, mudah2an ika bisa termotivasi….

    Reply

  10. Posted by ummu on July 30, 2011 at 1:24 PM

    dulu pilihan gw cuma 2 yang 22nya sekolah gratis, yang kuliah bayar gak dikasih jalan sama Allah alias kaga lulus 😀 Alhamdulillah ketemu jodohnya disono, awet ampe sekarang :D.
    Semoga adikmu sukses ditempat baru ya Ad 🙂

    Reply

  11. Sekali lagi membaca artikel ini sambil tertawa terkekeh-kekeh. Pertama, tertawa krn kisah numpang kost dt4 kakak kelas, (kepergok dg Bapak kost dll), kedua, tertawa melihat foto pertama (dg rambut panjang ala Beeges 😀 haha). Tapi foto terakhir oke juga (lebih rapi & klimis tentunya, orang RCTI geeto loh ).

    Hmm..tulisan khas sosiolog yang mengakar hingga pengalaman di tahun-tahun lalu begitu lekat. Terkait masalah pilih pakai hati, aku insya Allah tipe yang selalu merujuk pada hati. Pilih baju pakai hati, bekerja lebih enak pake hati (enak kan kalau kerja dg hati nyaman?), bikin buku juga tentang hati, termasuk mau pilih calon suami, juga harus pake hati. Hmm, is it true?

    Reply

    • wah wah wah. Mbak ana begitu menikmati penderitaan orang lain kepergok bapak kos. Hehehhe. Tentang yang pakai hati, ya sepakat, ikut aja pakai hati.

      Reply

  12. pengalaman kak aad seiring dengan pengalaman saya..
    saya sering mengambil pilihan2 sesuai hati nurani saya yang tak jarang menentang arus bahkan dianggap aneh, g cuman itu.. bahkan banyak yg menentang, mencemooh, menakut nakuti, berkata bahwa hal itu tak mungkin, dan banyak hal hal yang terkadang membuat semangat itu menjadi kendur untuk menggapai apa yg aku inginkan…

    tapi percayalah… mata hati itu jauh lebih tajam untuk menunjukkan jalan hidup kita dari hanya sekedar mengikuti pendapat2 orang lain yg belum tentu benar adanya…

    selain itu pula, pilihan dengan hati membuat hidup nyaman, karena akan bekerja sepenuh hati, penuh kesenangan, tanpa adanya suatu keterpaksaan.. karena itu hadir dari dalam diri sendiri… bukan karena orang lain..

    so.. be your self..
    kita punya jalan hidup berbeda2 untuk meraih kesuksesan…
    pilihlah dengan hati nurani, ukir jalan hidup kita dengan baik

    Reply

  13. Aduh, berasa kejedot tembok ka, baca postingan yang ini!!

    Perjuangan yang tak kenal menyerah!!!

    hahha.. kyknya emang derita anak yg mw kuliah tuh.. entah jurusanlah, perguruan tinggilah.. tapi, tentu hati ini pun mempunyai pilihan sendiri dan yang kadang, tak semua org setuju dgn pilihan hati ini..

    soalnya ya ka,, awalnya hati ini udah bneran mantep ke psikologi, tp krn satu dan lain hal, akhirnya pend. dokter jd pilian utama.
    tp alhamdulillah, psikologi pun jd takdir aq ka,, hehehe 😀

    aq bersyukur ka, akhirnya hati ini pun ikut bicara.. 🙂
    ngmong2, gmn hati bicara yak??!! ahahaha,, aq yakin dia punya caranya sendiri.

    makasih ka,
    jadi tersadar bahwa skrg memanglah fase hidup menjadi orang dewasa seutuhnya.
    Dan menjadi mahasiswa keren tentunya,, iya tho?? 🙂
    ahaha, sampe berdarah-darah coba..!!

    tp hal itu jd motivasi saya ka, pastinya aq ga mau menyesal jg di kemudian hari.. hehe 🙂

    Reply

  14. Posted by Gufy on July 30, 2011 at 8:34 PM

    Sekedar sama2 mengingatkan ad, ikhtiar dg hati juga mesti harus berdoa, karena hati bisa juga salah, makanya kita diajari doa “yaa muqallib al qulub, tsabbit qalbi ‘ala dinik”

    Reply

  15. mantap!

    btw, pemirsa stasiun tv nomor satu mau kasih masukan nih,
    itu sinetron musiknya nyang biasa2 aja, napa? agak2 lebay gimana gitu.

    scene lagi jayus2an, eh musiknya kaya backsound scary story. yg tiap malem jum’at diputer di radio2 itu lhoo..

    overall, saya makin salutlah sama dikau, sukses ya bang!

    Reply

  16. Posted by duha on July 30, 2011 at 9:30 PM

    bagus broo…
    ternyata kamu pernah di usir si pemilik kos pelit ya brooo…
    apakah semua kata hati akan berujung manis brooo…

    Reply

    • kata temanku, mas Gufy, harus pake doa juga. Kalo kata adekku, harus pake otak juga. Tapi terakhir, bisa tanya hati ketika semuanya udah dijalani. Kalkulasi yang matang semua potensi, peluang, ancaman, kekuatan, kelemahan. Lalu doa, lalu segera tetapkan pilihan lebih condong ke mana. Klo langsung pake hati, terlalu emosional. So, be careful lah ya.

      Reply

  17. Masha Allah, mantab sekali! akhirnya Fahmi dapat juga cerita lengkap bung Aad kabur dari STAN….

    Saya sepakat 100% sama yal-akh.. ikuti kata hati!

    Reply

  18. Posted by Nadya Wijanarko on July 31, 2011 at 8:27 AM

    Jaman masih anak2, saya bercita-cita jadi arkeolog, tapi diketawain sama temen, kata temen itu, kalo mau jadi arkeolog, gali aja halaman sekolah. Tapi masih terus bercita-cita belajar arkeologi. Pas SMA, lagi2 pilihanku di-ceng-in senior yang bilang kalo arkeologi (di UI) adalah jurusan cemen karena passing grade-nya rendah. Aku akhirnya pilih sosiologi karena nilai sosiologiku di sekolah lumayan (paling tinggi di kelas malah). Dan akhirnya saya pun nyangsang di sosiologi UI. Sempat “minder” juga karena prospek kerja sosiologi ga jelas. Mungkin ini juga yang bikin sosiologi bukan jurusan favorit seperti halnya Komunikasi atau HI. Ortu pun, yang semuanya lulusan ITB, sempat skeptis. Masa2 kuliah buatku adalah masa2 “semau gue” karena ortu yang kurang mendukung. Secara mereka anak IPA di SMA (saya IPS) dan ngambil jurusan kuliah di ITB, sepertinya mereka rada2 gak “nganggep” saya, yang dianggep justru adek saya yang anak IPA dan kuliah di ITB. Tapi waktu yang membuktikan kualitas. Sekarang saya jadi PNS di kementerian paling elit: PU 😛 ; tentu saja dengan penghasilan jauh dari cukup untuk bertahan hidup. Setidaknya sekarang saya ga “takut” lagi sama anak2 populer jaman2 sekolah yang kadang2 sikapnya sok kuasa hanya karena ortunya punya uang. Mereka punya uang? Sekarang saya juga punya! Mereka mau macam2? Tinggal saya timpuk pakai amplop honor rapat, hehehehehe…….
    Sosiologi is “mother of science”. Mungkin itu sebabnya anak2 sosiologi lebih “istimewa” kalau sudah terlibat diskusi dengan anak2 dari jurusan lain kalo kebetulan kuliah bareng. Basic ilmunya memang kuat.
    Tapi ada juga yang aku ga suka dari sosiologi. Kita memang dari tahun awal udah diajarin untuk kritis. Tapi kadang2 sifat kritis itu berubah jadi sotoy yang nyebelin, sok pinter malah keblinger. Saya ingat betul pas sarasehan, ada diskusi tentang masalah ketuhanan yang menurutku itu konyol. terutama ketika senior melontarkan ilustrasi ini: “Ada anak miskin yang sangat baik, suatu hari ibunya sakit dan dia terpaksa merampok untuk mendapatkan uang untuk mengobati ibunya. Tapi karena merampok itu, ketika dia meninggal, dia masuk neraka” dan diakhiri dengan pertanyaan: “…apakah Tuhan itu adil?” dan selanjutnya adalah diskusi ngalor-ngidul tentang eksistensi Tuhan. Dulu karena saya masih culun dan anak baru dan otak butek saya cuma diam. Tapi sekarang setelah saya dewasa, ini jawaban saya: “Kalo Tuhan itu tidak adil, terus kamu mau apa? Mau protes? Demo? Atau murtad, jadi atheis? Apakah itu menyelesaikan masalah? Dan kalo kamu atheis, apakah Tuhan jadi lebih adil buat kamu?”
    Well, lupakan sajalah dialog imajiner saya dengan senior, toh saya juga ga tahu senior mana yang didebat, hehehehe. Tapi itu adalah salah satu yang aku ga suka dari sosiologi, esp. pandangan pemikrian senior waktu itu yang saking pengen membuat adik2 kelasnya kritis malah dicekoki diskusi tentang ketuhanan seperti itu yang mungkin bisa bikin shock bagi beberapa orang. Katanya diskusi itu penting untuk membongkar pola pikir, tujuannya supaya lebih mudah menerima sosiologi. Benarkah? Beberapa teman yang tidak pernah mendapatkan diskusi tersebut nyatanya sukses2 aja kok kuliah di sosiologi. Dan yang terpenting, sukses setelah lulus dari sosiologi. Intinya, sih, kalo sosiologi hanya untuk memperdebatkan eksistensi Tuhan, mendingan saya drop out aja 😛
    Ilmu, apapun itu, yang paling utama adalah implementasinya; bagaimana supaya itu bisa bermanfaat bagi masyarakat, atau minimal bagi dirinya sendiri. Ilmu bukan sesuatu untuk dipamerkan dalam debat argumentatif di forum diskusi ataupun rapat. Termasuk juga sosiologi. Sebagai mantan mahasiswa yang kuliahnya kelamaan (6 tahun euy…..), saya tentu juga sudah hafal dengan tabiat karakter anak2 sosiologi (hasil dari mengamati tentunya). Terutama teman2 yang saya kenal. Ada yang bersemangat, begitu getol dengan teori sampai ngelotok di kepala, kalau perlu menjadi salah satu penganut “isme” yang ada di teori. Ada yang hobi diskusi, berdebat dan berwacana. Ada yang aktivis, suka demo turun ke jalan. Ada juga yang keliatannya santai2 saja, kebanyakan haha-hihi, kuliah yang penting setor muka dan lulus. Ada yang begitu “study oriented”, mengutamakan IPK. Dan lain-lain. Apa pun itu , pembuktiannya adalah ketika lulus; jadi apa ketika lulus. Bisa tidak dia menolong dirinya sendiri (syukur2 orang lain juga) untuk mengubah nasib, yang tadinya kere jadi kaya; yang tadinya udah punya modal sebagai anak orang kaya jadi tambah sukses. Bukan kebalikannya: yang tadinya anak orang kaya ga jadi apa-apa, yang tadinya kere tambah terpuruk. Saya pribadi lebih menghargai mahasiswa sosiologi yang sikapnya biasa2 saja, mungkin tidak terlalu kritis, tapi ketika lulus bisa menjadi “something”, daripada mahasiswa sosiologi yang jaman2 kuliah menonjol, kritis, banyak omong tapi ketika lulus cuma menjadi “nothing”.
    Mungkin segitu aja komentar saya. Sori kepanjangan, malah jadi curcol, hehehehe…

    -Nadyana Rahayu Wijanarko a.k.a Gal, mantan mahasiswa sosiologi UI angkatan 99-

    Reply

    • Terima kasih. Ternyata tulisanku bisa memancingmu untuk curcol dan berbagi kisah nan panjang. It’s ok. Aku suka.
      Tentang sosiologi, aku ingin komentar, tergantung kita sebagai sarjana sosiologi, mau pake pisau analisa sosiologi spt apa dalam menghadapi masalah hidup. Apakah itu masalah pribadi, atau masalah yang berhubungan dengan masyarakat. Kalau aku, lebih memilih memakai pisau analisa Sosiologi yang bermanfaat buat diri dan masyarakat. Kita sudah dewasa. Tergantung kita, menghadapi pilihan-pilihan.

      Tentang di bawah bayang-bayang “ITB”, aku juga merasakan. Sebagai anak kedua dengan kakak lulusan Teknik Mesin ITB, pada awalnya hidup menjadi tidak mudah. Standar yang dituntut oleh orangtua pastinya mengikuti standar tinggi. Mulai dari IPK, sampai ke tempat kerja. Tapi, kalau menyerah pada nasib tentu kita jadi pecundang. Kita harus segera keluar dari bayang-bayang semu itu. Segera temukan passion dan positioning kita. Kembangkan bakat dan hobi kita. Sehingga, output karya kita jelas. Sejak kuliah, aku sudah terbiasa menulis di koran. Ternyata, menulis di media itu, membuat hati orangtua luluh dan bangga. Perlahan, positioning kita semakin jelas. Maka, anggapan remeh pun akan hilang dengan sendirinya jika kita berani unjuk gigi, memberi bukti. Semoga pembaca blogku bisa mengambil sesuatu dari diskusi ini. Salam “Keluar dari bayang-bayang!”

      Reply

  19. Posted by DanangAziz on July 31, 2011 at 10:48 AM

    Aku pikir kamu dulu dari keluarga kaya Ad? Sampai sekarang aku pikir kamu dan keluargamu orang kaya? Ternyata benar.

    Reply

  20. aad….ngakak gak abis2 baca kisahmu yang ini…Aad banged gtu louw!
    tapi aq stuju, ad..yang namanya hati gak bisa dibohongi..kadang tempat yang nyaman belum tentu membuat kita kerasan..karena akan membuat kita terlena dan tumpul didalam kenyamanan. Semoga kondisi kamu yang sekarang juga tidak menjadikanmu nyaman dan tumpul kemudian…

    Reply

  21. wah. jadi ingat masa masa ketika dulu keterima di STAN juga. tapi gw gak mau masuk. soalnya kayanya nasib sudah ditentukan. setelah lulus ya pasti di depkeu (pemikiran gw jaman dulu). apalagi ada seragam. dulu sih ngerasanya nggak banget deh pas kuliah pake seragam. udah hampir 12 tahun berturut turut pake seragam terus tiap hari. bosen. hehe. lagian, sebagai orang yang punya jiwa petualang, gw pengen mengeksplorasi semua kemungkinan, merasakan keajaiban yang tidak disangka sangka, mencoba banyak hal. memang sih segala keputusan mempunyai resiko masing-masing.

    tapi, bicara tentang hati. mungkin harus hati hati. karena jika tidak dituntun oleh bimbingan Sang Maha Kuasa, bisa saja itu bukan bisikan hati, tapi bisikan nafsu sesaat. wallahu a’lam.

    Reply

  22. Posted by Hana on August 1, 2011 at 3:13 PM

    Punya kisah serupa aad.. Ttg sebuah keputusan penting dan kita memilih pakai hati.
    Walaupun mgkn ta sehebat aad.. Kpn2 aku share.

    Reply

  23. Posted by oppie on August 4, 2011 at 5:00 PM

    ya allah aad, sedih bgt ceritanya, terharu..apalagi yg pas jadi penghuni gelap kos2an..tapi hidup memang perjuangan..Alaisallahu lil insaani Illa Maa Sa’a (Allah tidak akan memberikan sesuatu kepada manusia kecuali jika ia berusaha)..Allah udah jawab do’a aad..krn aad udah berusaha..:>:>semangat yach aad..oh ya, so sweet bgt sm adenya..pasti dia bangga punya kakak kaya aad:>dan pastinya dia bakalan ngejalanin petuah dari aad:> salut sm aad..

    Reply

  24. Posted by berlian dewirani on August 5, 2011 at 12:52 PM

    K Aad !!! hahahaha.. critanya asik banget dibaca 😀 tp kl liat foto2nya.. kok tambah kurus, ya? berkali-kali main ke RCTI tetep aja ngga sempet ketemuan..

    sebagai mentor mapresku di tahun 2008 lalu.. kuucapkan terima kasih buanyaaaakkkk atas bimbingannya 😀

    Reply

  25. tulisannya sungguh sangat luar biasa dahsyat menginspirasi
    terima kasih bang aad…

    Reply

  26. Posted by ika on August 6, 2011 at 8:55 PM

    Abangku <3…. Ika bacanya baru setengah… Ntar ika sambung lagi pas mau tidur ya… 🙂

    Reply

  27. tulisan yang amat sangat inspiratif….saya jamin teman-teman yang mampir membacanya akan tersentak bahkan merenung perjalanan masa hijau mereka saat injakan kaki di dunia kampus…..

    ada beberapa kisah yang hampir sama tu…

    sama-sama anak perantau, sama-sama bingung saat memilih dan kabur adalah solusi terbaik, saya sebelumnya kulia di perencanaan wilayah dan tata kota, Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, sebelum kabur 1 tahun kemudian, dan memilih komunikasi sebagai pelarian dari studi saya…

    yang berikut kita sama-sama anak kos, malah saya nekat menyamar jadi mahasiswa Uncen Jayaputa dan berhasil di terima tinggal di asrama mahasiswa (unit maleo Uncen) walau sebenarnya saya Kuliannya di STIKOM Muhammadiyah Jayapura,

    ending teriakhirnya tidak kala menarik…
    kalau add sendiri mahasiswa Sosiologi IU yang sukses di bidang Komunikasi,
    saya juga mahasiswa Komunikasi yang sukses di bidang Fisik dan Prasarana di BAPPEDA Provinsi Papua barat. saya hanya dedikasikan keberhasilan ini sama orang tua saya sedangkan add sendiri kepada orang tua dan adik anda.

    pendek kata hikmah dari tulisan ini adalah memilih pakai hati, karena Hati nurani tak bisa dibohongi. Jika dibohongi, maka rasa tak nyaman akan datang menyerang diri.

    Reply

    • Salam. Terima kasih dah mampir. Wah mirip ya cerita kita. Kapan2 kita ketemu lagi. Kalau lagi di Jkt, mampir lah ke tempatku. Kabar-kabari. Mudah2an aku bisa ke Papua.

      Reply

  28. Posted by shelly on August 18, 2011 at 9:32 PM

    Ad, sering ketemu olga dong yah *hahacomentgapenting* ˆ⌣ˆ‎​​​​ 😛

    Reply

  29. Posted by Randy on December 13, 2011 at 7:05 AM

    Ada ustadz terkenal pernah bilang bahwa hati nurani itu adalah “kompas” alami yang selalu menunjuk kepada sang pencipta. Jadi, di kala bimbang……selalu gunakan waktu sejenak untuk membaca dan mendengar hati nurani. Tetapi (sangat perlu diingat)……tidak selalu yang “terdengar” di kala kita mencoba mendengar kata hati adalah hal yang benar. Sering syetan membisikkan hal-hal yang tidak benar di saat ini. Jadi, kita harus bisa menjaga hati agar suara hati kita bisa lebih “nyaring” terdengar. Karena hati nurani adalah lantera hidup yang diberikan sang pencipta kepada makhluknya agar selalu menemukanNya.

    Salam,

    Reply

  30. Posted by Andela Levani on January 20, 2012 at 7:57 PM

    Kakak kakak yg sudah berpengalaman, mohon sarannya. Saya murid kelas 3SMA sedang pusing-pusingnya menentukan jurusan untuk kuliah. Saya senang dengan pelajaran yg berbau sosial, nilai-nilai sosiologi dan sejarah saya cukup bagus di rapot. Tapiiiii….. saya bingung karena minim pengalaman. Saya anak pertama, tidak punya kakak untuk berbagi pengalaman kuliah. Orangtua saya pun membebaskan saya untuk menentukan masa depan saya sendiri, oleh karena itu saya tidak mau sampai salah ambil keputusan.Bulan november kemarin saya sudah diterima di STIKS Tarakanita Jkt sejujurnya pilihan menjadi seorang sekretaris ingin saya jadikan pilihan terakhir. Saya masih kukuh dengan keinginan saya menjadi seorang yg pandai sosialnya hehehe walaupun kadang teman-teman mencemooh tentang pilihan saya tersebut. Mohon balasan dan bantuannya ya kakak yg berpengalaman 😀

    Reply

    • Kamu bisa diskusi dan sharing dengan siapapun di internet. Salah satunya dengan saya. Jangan merasa sendirian. Ini dunia digital. Kalau bingung, tanya. Jangan takut, ragu, atau diam saja.

      Jika orangtuamu membebaskan masa depanmu, itu cukup bagus. Jadi kamu tidak dipaksa siapapun. Kamu manusia bebas menentukan diri sendiri.
      Kembali ke masalah jurusan. Jika memang kecintaan kamu ada pada dunia Sosiologi dan Sejarah, maka perkuat itu sampai dalam, sampai detil, sampai tidak ada yang bisa mengalahkanmu di dua bidang itu. Usahakan masuk ke perguruan tinggi yang atmosfernya bagus untuk belajar, bukan bagus untuk kongkow yg ga jelas. Untuk itu, dari sekarang harus rajin belajar biar nilainya mencukupi untuk lulus dan ikut SMNPTN. Ketika ujian SMNPTN nanti, berjuanglah masuk ke jurusan yang kamu sukai pelajarannya. Menurut saya, ke depan jurusan Sosiologi dan Sejarah itu prospektif. Kalau sosiolog, enaknya kita bisa baca situasi sosial yang ada. Tidak hanya di angan-angan saja, tapi bisa dipraktekkan di kehidupan nyata. Di lingkungan kerja, lingkungan rumah, lingkungan keluarga.

      Mengenai cita-cita, harus ditaruh setinggi mungkin. Jadi sekretaris boleh saja. Tapi harus yang paling handal di Indonesia. Bukan sekretaris biasa. Namun, kalau passion Anda di sosiologi dan sejarah, menurut saya, Anda akan bosan jadi sekretaris karena tugasnya repetitif (berulang). Saya tidak bilang menjadi sekretaris itu jelek. Semua pekerjaan itu bagus (jika halal dan baik). Tapi yang saya ingin katakan adalah, sesuaikan pilihan cita-citamu dengan passionmu. Passion itu adalah apa yang paling engkau sukai. Jika memilih passion, kau takkan pernah capek menjalani bidang itu, meski dalam kondisi berat.

      Segitu dulu jawaban dariku. Kalau mau diskusi lebih lanjut, sila kontak ke e-mail: umarat.adlil@gmail.com

      Reply

  31. Posted by ariyan on April 9, 2012 at 10:38 PM

    Assalamualaikum,

    numpang sharing mas..
    saya anak d3 pajak stan sekarang, sudah tingkat 3 (2012)

    Dulu saat setelah SMA saya lulus tes stan dan juga keterima ITB teknologi hayati. Waktu SMA pun olimpiade yang saya ikuti biologi
    sudah lama saya memendam perasaan galau ini, karena saya rasa minat dan bakat saya bukan di pajak..

    saya masuk stan karena ortu tidak ada biaya menguliahkan. ortu saya seorang PNS juga namun sedarhana dan biasa. saya pribadi yakin akan segala macam beasiswa, tapi entah mungkin ortu tidak percaya dan takut biaya kuliah yang besar. ditambah lagi menurut ortu biologi bukanlah bidang yang “basah”

    sebenaranya untuk ITB sendiri saya juga ingin masuk perminyakan, namun saat masukkan pilihan saya tidak jadi ambil karena takut tidak lolos saking ketatnya dan pilihan pun saya jatuhkan ke “minat” saya kedua dan saya lumayan punya basis, yaitu biologi.

    Namun sangat terpukul diri saya ketika ternyata selisih poin antara teknik tertinggi dengan yang terendah di ITB sangat kecil, tidak jauh berbeda. Saya sangat menyesal pada saat itu, karena kepengecutan tidak berani meraih yang besar (minyak) lalu saya alihkan hanya berdasar minat yaitu biologi. mungkin sekali kalau dulu saya masuk minyak, ortu akan mendukung dari segi biaya, dan saya pun bisa cari beasiswa.

    Melihat cita2 masa kecil, prestasi dan panggilan hati, saya meyakini hidup saya seharusnya di bidang biologi, geografi, lingkungan, dan teknik lain di bidang serupa.

    apalagi ketika saya cari2, pajak sendiri dalam islam hukumnya tidak jelas, cenderung haram.
    semakin manambah kerisauan akan status sebagai calon PNS pajak begini.

    kini saya benar2 bingung, harus bagaimana nantinya, apakah saya harus mengejar cita2 saya atau pasrah?
    apakah kesempatan terbuka lebar untuk orang seperti saya?

    Tapi jika memaksa hidup dengan ilmu perpajakan saya merasa tidak akan berkembang.. IP saya 5 semester tidak pernah lebih dari 3,1. saya belajar hanya saat ujian, karena benar2 tidak mencintai pajak. banyak waktu tidak produktif, pergaulan sempit.. sampai sekarang saya belum bisa cinta dengan almamater STAN. karena masalah masa depan ini. saya jadi hidup dengan kacau.

    sekarang saya sudah tingkat 3, dan saya terus mencoba memperbaiki, menanamkan saya termasuk beruntung dan harus bersyukur. Ya, itu bekerja.. namun kemudian selalu dtang siklus saya ingin keluar dari kehidupan yang sekarang, selalu bangkit lagi kata hati saya.
    apalagi jika mengetahui sahabat2 yang kuliah sesuai minatnya telah banyak prestasi sampai jadi mapres.. sedangkan saya merasa sangat malu dan jatuh.

    mohon saran nya mas..

    dan juga nasehat tentang kehidupan manusia yang kuliah setelah selesai kuliah apa saja rahasia2 yang harus diketahui dan tips2 apa yang harus dipegang.. saya sungguh menyesal dulu waktu SMA tidak mempersiapkan dunia kuliah dengan baik, bukan kerena tidak mau, tapi karena tidak tahu seperti apa.

    terimakasih banyak..

    Reply

  32. Posted by Aufa on May 24, 2012 at 9:30 PM

    setelah baca artikel kakak ini, saya jadi semangat daftar jurusan sosiologi. doain saya ya kak bisa diterima di sosiologi UI lewat snmptn tulis aamiin

    Reply

    • Selamat berjuang. Semoga sukses. Semoga ini adalah pilihan yg menggunakan hati, bkn sekedar emosi. Follow me untuk update tulisan seru lainnya: @pukul5pagi

      Reply

  33. Posted by viena fauziah on January 18, 2013 at 5:26 PM

    nah, INI DIA.. . !!!
    oke, manfaatnya WOW bgt.. ..
    dan ini saatnya saya melangkah, mengikuti kata hati dan memantapkan sebuah pilihan.

    smoga saya BISA, BERHASIL, DAN SUKSES. AMIN
    (y)

    Reply

  34. Posted by ira on February 6, 2013 at 6:36 PM

    keren ceritanya, sekarang aq jg bingung memilih univ?

    Reply

    • Wah, jangan sampai bingung. Let discuss! Coba dianalisis, kamu sukanya apa, karakter spt apa, dan membenci hal2 apa saja. Baru bisa ditentukan pilihan.

      Reply

  35. Posted by Tam-tam on April 3, 2013 at 4:00 PM

    Wah ceritanya benar-benar menarik, kurang lebih mirip dengan yang pernah saya alami. Saya terpaksa mengikuti ujian STAN karena keinginan orangtua, tetapi di hati kecil merasa bahwa saya tidak cocok dengan lingkungan disana. Saya nekat menjawab “asal” soal USM STAN dan berdoa agar tidak diterima karena pada waktu itu saya sudah diterima di UI jurusan Pajak. Alhamdulillah sekarang saya merasa bangga dan lega dengan nikmat yang Allah berikan dengan Almamater UI, saya memiliki banyak pengalaman yang pasti tidak akan saya peroleh jika saya jadi kuliah di STAN. Terlebih setelah saya merasakan sendiri bahwa di UI, hampir seluruh dosen mengajarkan mahasiswa untuk berpikir kritis terhadap kasus-kasus yang menimpa negeri ini.
    Saya juga sudah membaca tulisan menjemput jodohnya, subhanallah begitu menyentuh. Lagi-lagi tulisan ini mungkin menjadi salah satu petunjuk dari sekian banyak petunjuk yang Allah beri untuk memantapkan hati memilih orang yang tepat. Terima kasih mas Adlil 🙂

    Reply

    • Selamat berjuang dan berkarya dalam hidupmu. Sila kunjungi tulisan saya yang lain. Dijamin memikat dan bermanfaat. Sila dishare link nya pada teman Anda. Terima kasih sebelumnya.

      Reply

  36. salam superrrrrrrrrr, emang superrrrrrrrrrr ceritanya.
    *sedikit berbagi pengalaman mas.

    apa yang selalu guru saya bilang, “Man jadda wad jadda”, bersungguh-sunggulah maka akan sukses. mungkin kalimat ini yang selalu terpatri di hati saya. sehingga saya memilih dengan hati, setelah perjuangan yang berliku-liku. alhamdulillah saat ini saya mendapatkan kesempatan untuk menempuh mendidikan S1 Sosiologi di Kuban State tachnology University, Krasnodar, Russia.

    Masih ingat, tangisan bahagia ketika selembar pengumuman terpampang lebar di website Resmi PIPKR. Mengetahui nama saya lulus sebagai daftar peserta penerima beasiswa dari pemerintah Russia yang cakupannya tidak begitu banyak, sudah membuat saya merinding sejadi-jadinya, pasalnya saya tidak tau apa yang harus saya lakukan di Rumah jika tidak kuliah tahun ini, dengan rasa ragu saya hanya bisa mengatakan saya “BISA” mendapatkan beasiswa ke Luar Negri”, jikapun tidak bisa saya akan tetap ke Keluar Negri tapi dengan tujuan yang berbeda dengan kata lain “PRT” atau Industri di Hongkong. (mengingat tak banyak cukup dana yang keluarga miliki untuk saya bisa kuliah, sampai membuat saya gila kesana-kemari mencari beasiswa, alhasil….semua yang di lakukan dengan hati berbuah manis).

    Tiap pagi bangun tidur, siang hari pulang sekolah, sore hari sehabis mandi, lalu malam akan tidur, dan pagi lagi begitu seterusnya….., mata saya tak lepas dari kertas rencana yang saya tempel di dinding. Pada bagian yang benar2 spesial saya tandai dengan warna merah yang tebal yaitu “Kuliah ke luar Negeri”, saya tidak bisa memastikan negara apa yang ingin saya kunjungin sebagai tujuan study, oleh karena itu saya apply semua beasiswa dari berbagai Negara, dari itu beasiswa Jepang,china, sri lanka, thailand, India, Mesir, Turkey, Bulgaria, Belgia, Inggris, stockholm, Amerika Dll, temasuk Russia salah satunya, dari semua beasiswa itu, saya katakan dengan jujur, “saya tidak mengajukan persyaratan dengan lengkap”, salah satunya TOEFL dan IELTS yang saya tidak punya. Saya hanya mengajukan beberapa dokumen yang saya miliki, setiap setelah mengajukan beasiswa itu saya berharap mereka berfikir 2 kali untuk menerima saya dan memberikan kesempatan pada saya untuk menunjukan potensi yang saya bisa. Tapi memang TOEFL menjadi syarat penting semua beasiswa di mana saja, bahkan Negara tetangga Malaysia juga menjadika TOEFL sebagai syarat wajib mahasiswa internsional yang ingin studi di negaranya. Ampuuuuuun…. seiringnya waktu berjalan, beberapa beasiswa menolak saya, bahkan ada yang tanpa pikir panjang melihat saya tidak punya TOEFL cepat-cepat menolak saya hari itu juga. Tapi saya bersyukur masih ada beberapa negara yang tidak hanya memandang kandidat dari persyaratan semata. Salah satunya saya menerima “INVITATION OF INTERVIEW” dari beberapa negara “Turkey,inggris dan Russia”, dengan jadwal dan waktu yang berbeda.

    bahkan untuk apply beasiswa, saya harus mondar-mandir berkali-kali dari lampung ke jakarta, dengan kondisi uang pas-pas_an. tapi ada saja rejeki yang allah berikan.
    terlebih lagi saya harus bolos beberapa mata pelajaran untuk mengikuti seleksi yang diadakan di jakarta, semua atas inisiatif sendiri..dan saya lakukan sendiri. dari tes kesehatan,cap notaris, terjemah tersumpah,..sampai mintak-mintak di beeberapa kementrian dengan proposal seadanya.

    belum lagi cemo’ohan teman-teman yang selalu menganggap saya bermimpi terlalu tinggi. tapi mimpi itulah yang saya perlukan…!!

    dan sekarang. saya tidak perlu kecewa, karena saya sudah berada di Russia, semua tampak dingin di sini bukan hanya cuacanya tapi masyarakatnya jua hehe, hari pertama saya di sini saya katakan “saya menangis”. Karena ini adalah sesuatu yang sangat indah bagi saya dan keluarga. 🙂

    maaf mas, jadi cerita panjang lebar haha 🙂

    Reply

  37. Posted by fikry on July 16, 2013 at 4:14 PM

    Pencerahan dong kaka saya sekarang d3 pajak UI vokasi udah jalan 1 tahun ip masih batas wajar 3 keatas dikit tahun ini keterima di sosiologi UI gimana pencerahannya

    Reply

    • Tergantung passion kamu. Kamu suka sosiologi ga? Sukanya suka aja atau suka banget? Kalau suka banget, ambil sosiologi. Kalau suka banget, nanti enak menjalani kuliahnya dan mengembangkan karir ke depannya. Tapi kalau ga terlalu suka sosiologi, ya jangan diambil. Apakah sosiologi prospektif untuk karir ke depan? Saya jawab, tergantung orangnya. Kalau dia mampu kreatif, berani, jeli melihat peluang, dan hobi mengasah soft skill, pasti sukses. Saya sudah banyak lihat lulusan sosiologi yang berkarir di bidang apapun. Ya politik, aktivis sosial, korporate level dunia, dll. Kembali lagi hanya kepada kualitas pribadi orang tersebut.

      Saya pribadi dari dulu suka sosiologi. Pertama, saya suka pelajarannya sejak SMA. Karena lebih masuk akal buat saya dibandingkan ilmu yang lainnya. Kedua, saya suka guru sosiologi SMA saya yang gokil. Ketiga, saya suka mengamati fenomena sosial, mulai dari hal kecil hingga besar. Simpelnya, saya suka sekali membaca koran, pengen tahu orang Indonesia lagi mengalami apa, dsb.

      Nah, ketika masuk sosiologi, saya belajar banyak tentang Teori Sosiologi (teori sosial). Di Sosiologi dapat 3 mata kuliah tentang Teori Sosial. Jurusan lain di FISIP UI paling dapat 1 mata kuliah Teori Sosial. Intinya, Sosiologi itu sangat teoritik. Kedua, di Sosiologi juga belajar Statistik. Ampe 2 mata kuliah. Saya memang tak terlalu suka dengan statistik. Tapi ya mendapatkan ilmu statistik 2 kali itu, bisa jadi modal kuat untuk jadi peneliti yang mumpuni. Terakhir, di Sosiologi juga diajarkan metodologi penelitian sosial. Ini ampe dapat 3 kali mata kuliah dan 1 kali praktek penelitian ke luar kota (ini bagian yang paling seru dan berkesan).

      Dari keunggulan mata kuliah yang saya sebutkan di atas, saya membentuk diri saya jadi seorang yang analitik. Ditambah saya mampu menulis artikel dengan baik, maka ilmu teori sosial, metode penelitian sosial dan statistik itu memperkuat argumentasi saya dalam menulis. Tulisan saya sudah tersebar di media online dan cetak.

      Saya sekarang kerja di RCTI, TV dengan raihan share penonton terbanyak di Indonesia. Saya di bidang program research & development. Saya sangat bersyukur memilih Sosiologi dibandingkan STAN. Passion saya bertemu dengan ilmu, lalu menyatu menjadi karya lewat tulisan.

      Sekarang, semua tergantung Anda. Anda mau jadi apa ke depannya? Seperti apa membayangkan diri Anda sendiri? Benar-benar suka dengan sosiologi atau hanya kamuflase? Terpulang ke Anda. Semoga terjawab ya pertanyaannya.

      Salam SuksesMulia.
      Adlil Umarat

      Reply

  38. Kak saya juga minta pencerahannya dong. Jadi gini, apakah akreditasi jurusan itu penting? Alhamdulillah saya diterima di UIN Jakarta jurusan Sosiologi melalui jalur SBMPTN,dan saya juga diterima di Universitas Gunadarma jurusan S1 Akuntansi. Saya sangat bingung untuk menentukan pilihan, terlebih karena akreditasi jurusan Sosiologi di UIN masih B, sementara Akuntansi Gunadarma sudah A. Tolong kak pencerahannya…

    Reply

    • Saya meyukai pelajaran sosiologi sejak kelas 10 SMA, ketika itu entah mengapa saya menjadi sangat tertarik oleh cara mengajar guru sosiologi di sma saya, ia cukup menaruh perhatian kepada saya mungkin karena saya dianggap bisa mengikuti pelajarannya dengan sangat baik. Sementara saya juga menyukai pelajaran akuntansi sejak kelas 12 SMA, ketika itu saya mendapat walikelas yang kebetulan guru ekonomi, saya merasa asik dengan apa yg ia berikan saat pelajaran ekonomi-akuntansi. Karena sering dapet nilai bagus (gak2 sering2 amat sih temen yg lain jg ada yg dpt nilai bagus) dia pernah mengatakan kepada saya bahwa saya cukup mumpuni di bidang ini.

      Reply

    • Akreditasi itu penting, tapi bukan segalanya. Sosiologi di UI akreditasinya A, dan sistem mengajar di dalamnya sangat jelas, terukur, fair, dan transparan. Jadi, kalau mahasiswa belajar, asalkan dia niat belajar, ya dapat pinternya. Tapi kalau tipikal mentalnya mudah menyerah dan menganggap ribet tugas-tugas kuliah berbahasa inggris, ya Sosiologi menjadi tak menyenangkan. Nah, kalau Sosiologi di UIN masih akreditasi nya B, saya pribadi belum terlalu tahu sampai sejauh mana tingkat kualitas sistem belajar-mengajarnya. Tapi teman saya pernah ngajar di sana. Dalam proses berkembang sih. Tapi pastinya masih kalah dari UI. Kalau Gunadharma dapat akreditasi A untuk Akuntansinya, belum tentu dia lebih bagus sistemnya dari Akuntansi UI, atau jurusan lain yang dapat akreditasi B di UI. Kenapa? Yang ga didapat di kampus swasta itu persaingan dan atmosfer akademik yang sehat. Rasanya univ swasta belum bisa mengalahkan atmosfer akademik di Univ. Negeri ternama (Kecuali BINUS, yang saya lihat makin matang). Meskipun, ada catatan penting. Misalnya kamu kuliah di tempat berakreditasi B, kamu tetap bisa jadi orang sukses, asal benar-benar mendalami kuliahmu itu, dan berkarya dengan baik dan mampu mengembangkan kemampuan diri secara cepat. Kamu pun bisa jadi orang biasa-biasa saja, meski kuliah di kampus berakreditasi A, karena kamu tak ada karya yang bisa dibanggakan. Persaingan untuk mencapai sukses sebenarnya ada di dunia kerja, bukan kuliah.

      To sum up, mendapatkan tempat kuliah yang bagus itu penting. Itu akan membantu melatih cara berpikir, etos kerja, semangat juang kamu untuk hidup menjadi lebih cendekiawan. Namun, yang mengantarkan kamu menjadi seseorang yang berhasil di suatu bidang, bukan dimana kamu kuliah, tapi, apa karya dan kontribusimu untuk orang banyak.

      Sekarang kembali ke kamu. Kamu passionnya di bidang apa. Apakah lebih ke Akuntansi yang itung-itungan, atau sosiologi yang kental isu sosialnya. Kamu ingin dikenang sebagai apa nanti dalam 10-20 tahun ke depan? Mana yang kamu lebih enjoy? Belajar sosiologi atau akuntansi? Yang kalau belajar, ga capek-capek. Bisa ga makan ga minum. Kamu harus pilih yang kamu benar-benar enjoy, karena terjebak di jurusan yang kita tak sukai itu rasanya menyiksa. Kamu takkan jadi apa-apa, atau sulit menonjol diantara teman-teman sainganmu nanti.

      Perlu dipertimbangkan juga biayanya. Mana yang sesuai kocek kamu dan orangtuamu. Tapi kalau biaya tak menjadi masalah, kamu bisa kembali ke point utama: jurusan yang dipilih adalah yang sesuai dengan passion saya, hati nurani saya, pelajaran yang kalau saya pelajari, saya makin asyik terjun di dalamnya, tak kenal lelah, dan sesuai dengan cita-cita masa depan saya.

      Semoga menjawab ya.

      Reply

  39. salam… share..
    Mas sudah tahu atau baru dengar jurusan sosiologi agama.

    Reply

  40. Hayo,,, pilih IPB
    IPB bagus…
    wets, mungkin emang di kepala orang2 pas dengar IPB pasti lgsg nanya… Pertanian?? hello, ngapain coba kuliah di pertanian?… kumuh, nyangkul, petani, hutan, miskin, kuper atau apapun itu hal yg buruk2 yg ada di kepala kalian… sy cm mau bilang bahwa pertanian bukan cuma ttg hal2 itu guys… pertanian itu keren.. Ratusan juta rakyat Indonesia bergantung dari matapencaharian ini. Ratusan juta rakyat Indonesia hidup dari pertanian!
    Prospek?
    Jangan ragu. Kalau di bidang pertanian, IPB ngga perlu diberikan pertanyaan dan keraguan apapun. Mungkin yang ngga kalian tau, IPB punya kepanjangan lain lo.. Institut Perbankan Bogor! Percaya nggak? Haha.. Kembali ke temen2 kok percaya atau ngga.. alumni IPB adalah alumni yang dikenal membanjiri semua Bank! Bukan cuma anak2 dari Fakultas Ekonomi yang membanjiri Bank, tapi banyak yang dari jurusan lainnya seperti Fisika, Industri dsb juga turut bekerja di Bank. Jadi mohon maaf buat univ lain yang selama ini bernada protes ke IPB, kenapa ‘lahan’nya dikuasai IPB. Kata Pak Dekan, ‘ya jangan salahin anak2 IPB dong yang punya kemampuan di segala bidang..’. Haha.. Peace ah! :p
    Nah, tadi kan saya bilang Institut Perbankan Bogor, sekarang saya mau kenalin nama yang ngga jauh beda. Institut Pengusaha Bogor! Yah..! Here we are! Saya ngga tau harus nunjukin bukti yang mana untuk nama yang satu ini. Karena saya sendiri geleng2 kepala. Betapa jiwa bisnis dan pengusaha dari mahasiswanya, CRAZY! Semua dibisnisin. Bahkan ada temen sekelas saya, -padahal baru beberapa bulan kita di IPB- dia buka usaha di bidang peternakan, sampai dia dan teman2 grupnya, bisa masing2 beli laptop+motor sendiri dengan uang mereka sendiri! Gila! Seumuran saya bisa seperti itu.. tiap bulan entah berapa puluh juta uang masuk ke kantongnya.. Itu cuma dari angkatan saya. Angkatan2 di atas saya apalagi. Contohnya, pengusaha muda terbaik se-Indonesia, Elang Gumilang. Kebetulan si kakak ini alumni jurusan Manajemen, FEM IPB (jurusan saya, hehe..) Kalian bisa search sendiri ya tentang apa yang dibuatnya.. Biar saya ngga dibilang mengada-ada. 🙂
    IPB punya visi untuk menjadikan Indonesia negara dikjaya dengan kemampuan pertanian yang luar biasa! Mau turun ke lapangan langsung, atau di bawah atap gedung, IPB akan terus mengawal pertanian kita. Ciyeee… ahhaha..
    Baiklah, kembali serius. Kalo tadi saya jelasin tentang perbankan dan jiwa bisnis anak IPB, sekarang tentang pertanian itu sendiri. Untuk jurusan2 seperti Tekpang (teknologi pangan), gizi, teknologi industri pertanian, amat jelas lahan kerjanya.. bisa di BPOM, perusahaan2 makanan apapun itu, Nestle misalnya, perusahaan kopi, dan aaaah.. banyak deh!

    Akses IPB ke Luar Negeri?
    Where there is a will, there is a way! Bagi yang punya keinginan buat mengecap manisnya study di luar negeri, IPB jawabannya. Dosen2 kami hampir semuanya menyelesaikan S3 di luar, paling banyak kayanya dari Jepang. Mahasiswa? Sangat amat sering…

    Oh iya main2 ke website ini yah buat tau bnyak ttg IPB http://ipb.ac.id/

    Reply

  41. Posted by Mega on January 12, 2014 at 10:03 PM

    Saya jd bingung, antara sosiog/management administrasi,,prospek kerja y sosiolog it ap aj??

    Reply

    • Yg Utama jd peneliti. To until profesi bisa APA aja. Sy kerja do TV sbg program TV analyst. Semua tergantung anda. Lbh suka mana. Sosiologi yh bahas teori sosial Dan nulis ato administrasi yg lbh dkt keep itung2an. Cari passionmu. Cek tulisanku “Kiat Sederhana menemukan passion”

      Reply

  42. mas… baru ketemu website yang bercerita tentang sosio ui… saya tertarik lebih dalam… kalau bisa email bagaimana?

    Reply

  43. nice pos bang 🙂 aku lagi bingung milih jurusan kuliah, antara keinginan berkehidupan di bidang komunikasi atau melanjutkan kuliah sesuai dengan pekerjaanku setahun ini di pengadministrasian…. dan aku fikir ilmu komunikasi itu passionku tapi bagaimana dengan pekerjaanku yang banyak tidak berkesinambungan dengan jurusan itu, tapi ini ceritamu keren bang,,, perjuanganmu jempol, berkesan …. terimakasih telah menginspirasi dengan ceritamu itu bang, semoga aku bisa sukses sepertimu. 🙂

    Reply

    • U better follow your truly passion..kerjaan skrg jd pijakan untuk melejit lbh tinggi. Kalau hny berkutat di tmpt dmn hatimu tak ada, lompatanmu takkan spt lompatan quantum.

      Reply

  44. Posted by Nicky on June 9, 2014 at 9:04 PM

    kak saya mau minta pencerahan ya kak. Tahun ini alhamdullilah saya keterima di UI jurusan sosiologi melalui jalur snmptn, saya seneng banget awalnya sampe gak bisa tidur. karena emang saya dari kelas 10 udah suka juga sama sosiologi nilai saya juga bisa dibilang cukup tinggi. Tapi kemudian banyak sodara sama tetangga yang nyaranin buat milih STAN karena prospeknya yang bagus sedangkan sosio katanya rada suram. Orang tua saya yang awalnya seneng saya bisa masuk UI jadi ikut kecewa, saya pun jadi kecewa juga kak. Kata orang juga nilai sosio bagus dari SMA belom tentu jadi passion buat ambil jurusan pas kuliah nantinya. Saya jadi bngung sndiri kak, ditambah rasa kekecewaan orang tua, saya jadi makin bngung. apa sosio ini tepat buat saya? prospek kedepannya apa ya kak biar saya lebih semangat buat ngejalanin kuliah saya disosiologi nantinya?

    Reply

    • Begini saja: datangi kampusnya. Tanya dan wawancara org yg kuliah di sana. Dalami. Resapi sampai ke sum sum tulang belakang. Wawancara alumni kedua kampus tersebut. Bikin matrix perbandingannya. Jembrengin plus-minus keduanya. Tanyakan hal yg bikin galau. “Katanya begini katanya begitu, bla bla bla..” Jgn hidup karena kata orang. Untuk pilihan kuliah, tergantung dirimu. Apa hal yh plg disukai? Apakah bercengkrama dgn angka? Atau dgn buku, teori, dan manusia? Pertanyaan itu hny bisa dijawab oleh dirimu sendiri. Hatimu yg tau. Bukan org lain. Kalau kita memilih bidang yg hati kecil kita cintai, perjalanan dan karir ke depan lancar jaya. Uang yg akan datang padamu. Tp jika salah pilih jurusan, dirimu akan terkungkung dalam keluh kesah.

      Reply

      • Posted by Nicky on June 9, 2014 at 9:49 PM

        makasih ya kak jawabannya. Nah itu dia masalahnya saya susah tau isi hati saya apa. Saya malah cenderung ngikutin kata orang. Saya udah nanya2 ke kakak kelas saya yang dari sosiologi yang dari stan juga udah, sampe curcol juga. Tapi masih bngung aja. emang gak bisa ya kak mencintai sesuatu yang awalnya gak kita suka?

      • Posted by Nicky on June 9, 2014 at 9:52 PM

        soalnya kadang awalnya saya suka A misalnya trus ada orang yang ngomong kalo A jeleklah inilah bagusan B. nanti akhirnya saya ikutan gak suka A akhirnya ikut suka yang B walaupun awalnya suka yang A.

      • Berarti kamu perlu perbaiki diri. Jdlah org yg berani ambil sikap. Life is a choice. Stlh memilih, kita hrs konsekuen menjalankan pilihan kita. Di sana kedewasaan kita diuji. Jd mnrt sy mslhmu bukan di jurusan. Tp ada di diri kamu. Byk diskusi dgn org senior yg berpengalaman.

  45. Posted by Lila on June 30, 2014 at 11:10 AM

    inspiring banget ka. aku juga baca beberapa komentar yg lain dan mereka termasuk anda adalah orang yg luar biasa. aku pernah debat dg orangtua karena masalah jurusan. sbagai anak tunggal aku harus membuat mereka bangga, tapi entah kenapa soal jurusan aku ga ngikutin saran mereka. orangtua mana yg ga pengen anaknya sukses kan? tapi aku bilang kalo aku pasti bisa banggain mereka dengan kemampuan yg aku punya (insyaallah). thx buat postingannya ka. do’akan aku menjadi salah satu mahasiswi penerus sosiologi UI tahun ini. well, selamat berpuasa. 🙂

    Reply

  46. Posted by Zara on July 1, 2014 at 12:36 PM

    Aku skr maba sosiologi ui!Semoga aku bs sukses kyk bapak:)

    Reply

  47. Posted by Arvi on July 3, 2014 at 9:17 PM

    Pak, saya boleh nanya nanya untuk profil alumni fisip ga? (Buat keperluan psak) hehee kalo boleh minta e-mailnya ya pak, makasih:)

    Reply

  48. Posted by Arman on August 8, 2014 at 10:22 PM

    Kak…sy dari Tangsel juga….. rumah saya di BSD Serpong.
    Sy diterima di Akuntansi UI 2014. Udah masuk kemarin, 05 Agustus 2014.

    Saya Lulusan 2014, SMA Labschool Kebayoran, Jakarta Selatan. Doakan saya ya kak.
    Saya senang sekali bisa masuk Universitas Indonesia.

    Saya ingin berprestasi di UI, makanya smuanya yg udah di terima sy lepas juga, spt kakak.

    Reply

  49. kisah yg sangat inspiratif. saya sendiri dulu malah masuk jurusan sosiologi karena salah ambil jurusan, tp saya selalu punya prinsip utk tidak menyesali apa yg saya pilih, jd saya lanjutkan dan jalani apa adanya. saya malah bersyukur telah salah ambil jurusan. saya jd mendapat sahabat2 kuliah yg luar biasa, ilmu2 sosial yg bermanfaat dan bahkan mengubah cara berpikir saya menjadi lebih terbuka.
    Semoga cerita kamu bs menjadi inspirasi bagi yg lain. 🙂

    Reply

    • Bisa ceritakan sekarang aktif bekerja di bidang apa Mr. Sosiologi? Akan sangat menarik jika sharing cerita di sini. Terima kasih sebelumnya.

      Reply

      • saya sekarang lebih ke bidang wirausaha dan penulisan. soalnya sering nulis2 buat novel, buku dan blog ttg masalah sosial. Kadang juga mbantu adek2 mahasiswa/i yg lg skripsi biar lancar skripsinya. 😀
        Tp yg kerja agak pokok saya ngelola usaha jasa kebersihan dan dekorasi sama pembuatan media pembelajaran,
        Jangan nyerah aja pas lulus dari kuliah bingung jadi apa. Jurusan Sosiologi itu universal, bisa jadi apa aja karna anak sosial. 🙂

  50. Posted by Dea on July 13, 2015 at 12:53 AM

    This post just makes me feel warm inside… Pertamanya agak sedih dipandanga remeh karena keterima jurusan sosiologi, tapi selama itu dijalani dengan passion pasti hasilnya juga adalah yang terbaik. Terima kasih untuk kisahnya yang inspiring banget kak!
    Best regards
    Maba UI, sosiologi 2015

    Reply

  51. Posted by Asri on August 17, 2015 at 9:41 AM

    Maaf permisi saya Asri mahasiswa baru FISIP UI 2015 ada tugas untuk mewawancarai alumni, apakah Kak Aad bersedia? Terima kasih.

    Reply

    • Boleh. Siapa takut?

      Reply

      • Posted by Andri on March 2, 2016 at 3:48 PM

        Kak kalo mau tahu info alumni gmna ya kak..butuh motivasi bgt buat lebih matang memilih jurusan sosiologi karena kurang tertarik di komputer dan hitung-hitungan..

      • Alumni Sosiologi keren-keren deh pokoknya. Kemampuan social skill untuk membaca situasi-kondisi-nya rata-rata tinggi. Jadi mampu adaptasi dengan lingkungan. Jadi nilai lebih dari sarjana lainnya.

  52. Assalamualaikum kak.
    Terimakasih atas ceritanya, sangat menginspirasi :))
    Saya juga milih jurusan sosiologi karena melalui pertimbangan hati kak, padahal pas SMA seringnya ikut olimpiade ekonomi. Begitu saya bilang ke teman-teman dan guru-guru bahwa saya memutuskan untuk kuliah di jurusan sosiologi, beberapa dari mereka bilang “wah sayangnya… padahal kan kamu dari dulu bagusnya di ekonomi…”
    Kalau sudah begitu kadang saya jawab, “Allah Maha Membolak-balikan Hati”, kadang saya jawab juga dengan argumen yang komprehensif, kadang juga saya senyumin aja. Hehe.
    Alhamdulillah, adanya cerita kakak ini semakin memantapkan saya bahwa saya tidak salah memilih jurusan sosiologi.

    Salam kenal dari orang yang mengikuti passionnya sama kaya kakak,
    Zulfan, Maba Sosiologi UI 2016.
    http:///sakadarnya.blogspot.com

    Reply

  53. Posted by Panji Krisnayasa on September 7, 2016 at 5:52 AM

    Kak tolong kasi pendapat ya, saya keterima di STAN D1 pajak dan di UB teknik informatika. Saya sebenarnya lebih memilih UB karena saya rasa itulah passion saya, saya suka matematika, komputer, dan ingin merasakan hidup di tanah rantauan juga ingin kuliah yang dinamis karena saya ingin lebih mengembangkan softskill tetapi karena dorongan orangtua akhirnya saya masuk STAN. Nah setelah selesai ospek dan tiga hari kuliah di STAN saya merasa semakin tidak cocok karena saya dari dulu tidak pernah tertarik mengenai ilmu hukum dsb. Selain itu perjuangan dari D1 menuju S1 saya rasa sangat terhambat di STAN. Juga mengenai minat bakat yang kurang dapat dikembangkan di STAN. Memang sih jika saya ambil STAN setelah lulus saya sudah pasti bekerja tetapi jika saya lakukan dengan setengah hati saya rasa hasilnya tidak akan maksimal. Dan jika saya ambil UB, kepastian mengenai pekerjaan belum jelas, tetapi saya pikir saya akan puas dengan segala pencapaian saya karena itu merupakan pilihan hati saya, dengan cinta kita berjuang begitu katanya. Nah masalahnya saya telat menyadari ini semua, apakah masih ada kesempatan bagi saya untuk mengejar pilihan hati saya, sedangkan orangtua saya tetap memilih STAN, sedangkan saya harus mengulang ospek tahun depan, dsb. Apa yang harus saya lakukan kak? Terimakasih 🙂

    Reply

    • Ikuti kata hati, dan segerera MOVE ON dari kondisi serba ragu. Putuskan, mau STAN atau UB. Jika hati condong ke UB, ya pilih UB. Ospek ngulang gak masalah. Segera adaptasi. Jangan setengah2. Harus totalitas. Adapun orangtua yang masih ingin di STAN, berarti kamu harus buktikan bahwa di UB itu kamu melejit potensinya. Selama kamu setengah2 juga di UB, masih kepikiran STAN, kamu gak akan bisa berkarya maksimal. Jadi, harus totalitas perjuangan. Make something. Buktikan seberapa hebat kamu di IT UB. Harus segera menghasilkan, bukan sekedar suka. Beri bukti pelan-pelan kepada orangtua bahwa dengan memilih UB, kamu tahu segala konsekuensi logis dari resiko yang ada. kamu siap menerimanya. Panji adalah laki-laki yang nanti jadi kepala rumah tangga. Jangan galau terlalu lama. Harus segera yakinkan diri, hanya ada di 1 kapal saja, yaitu UB. Apapun konsekuensi yang harus diambil, kamu harus tanggung jawab. Jangan sampai nanti pas di UB kamu malah gagal, gak suka, lalu kabur ke hal lain. Sudah berani memilih, berani memulai, berani mempertanggungjawabkan.

      Reply

  54. Kak menurut kakak apa solusinya untuk masalah ini. Saya diterima di UB teknik informatika dan D1 pajak STAN, tetapi akhirnya saya memilih STAN. Nah diperjalanan setelah selesai ospek dan udah kuliah selama 4 hari saya baru menyadari bahwa saya kesini hanya karena dorongan orangtua saja, sebenarnya saya sama sekali tidak ada minat dalam perpajakan, justru sebaliknya minat saya besar di TI. Nah apakah masih ada kesempatan bagi saya untuk memperjuangkan pilihan hati saya? Jujur di UB saya tidak ikut ospek univ dan fakultas, tidak mengikuti kuliah selama 4 hari, belum adaptasi lingkungan, belum cari kos, dsb. Tapi saya mau perjuangin itu, nah masalahnya juga orang tua masih setengah setengah, kalo ibu saya sudah mau, hanya saja ayah saya yang masih setengah setengah. Mohon pencerahannya kak. Terimakasih

    Reply

    • Ikuti kata hati, dan segerera MOVE ON dari kondisi serba ragu. Putuskan, mau STAN atau UB. Jika hati condong ke UB, ya pilih UB. Ospek ngulang gak masalah. Segera adaptasi. Jangan setengah2. Harus totalitas. Adapun orangtua yang masih ingin di STAN, berarti kamu harus buktikan bahwa di UB itu kamu melejit potensinya. Selama kamu setengah2 juga di UB, masih kepikiran STAN, kamu gak akan bisa berkarya maksimal. Jadi, harus totalitas perjuangan. Make something. Buktikan seberapa hebat kamu di IT UB. Harus segera menghasilkan, bukan sekedar suka. Beri bukti pelan-pelan kepada orangtua bahwa dengan memilih UB, kamu tahu segala konsekuensi logis dari resiko yang ada. kamu siap menerimanya. Panji adalah laki-laki yang nanti jadi kepala rumah tangga. Jangan galau terlalu lama. Harus segera yakinkan diri, hanya ada di 1 kapal saja, yaitu UB. Apapun konsekuensi yang harus diambil, kamu harus tanggung jawab. Jangan sampai nanti pas di UB kamu malah gagal, gak suka, lalu kabur ke hal lain. Sudah berani memilih, berani memulai, berani mempertanggungjawabkan.

      Reply

  55. Posted by rsndazzahra on October 30, 2016 at 10:33 PM

    Saya bersyukur bisa menemukan dan membaca tulisan ini. Saya juga anak Riau kak, saat ini kelas 12 dan sedang galau karena belakangan ini sangat tertarik masuk jurusan Sosiologi. Awalnya saya ingin masuk Ilmu Komunikasi karena banyak yang menyarankan, populer, prospek kerjanya bagus, bla bla bla dan orangtua sangat mendukung. Namun entah kenapa rasanya kurang pas. Begitu membaca tentang jurusan Sosiologi dari berbagai sumber, timbullah keinginan saya masuk Sosiologi, disertai pikiran “mau jadi apa? Yakin orangtua merestui? Apa kata orang?”

    Namun setelah membaca pengalaman kakak dan tau kalau lulusan Sosiologi juga bisa kerja di RCTI (saya juga ingin kerja di media), alhamdulillah saya merasa lega. Niat saya semakin kuat. Terima kasih banyak sudah berbagi pengalaman ya kak 🙂

    Reply

Leave a comment

childhoodoptimizer

"Optimalkan masa kecil anak, agar hidupnya selamat, kelak!"

One's Blog

Ucapan berhamburan - Tulisan akan bertahan

Ollie dan Dunianya

"I read, I travel, and I become"

penjelajahmimpi

Terus menjelajahi mimpi, karena semua berawal dari sini

Chae's Blog

Life begins at the end of your comfort zone

Muhammad Jhovy Rahadyan

Be The Best Of Ourself

Ardisaz

Game Development and Game Industry news in Indonesia

Kiki Barkiah

Ummi diary

Fitri Ariyanti's Blog

Mengolah Rasa, Menebar Makna

DIENG PLATEAU

PARADISE OF CENTRAL JAVA

Febri Photography

Kadang keindahan diawali oleh kegilaan

dinysullivan92

This Is My Life

Tentang Hidup

Hidup sekali, Hiduplah yang berarti..

Seorang Pemuda Pendamba Ridho Ilahi

Pecinta Dzikir dalam Alunan Fikir

Seni Hidup

=Ketidaksempurnaan Itu Cantik=

Story of Jingga

Biarlah tertulis apa adanya

literasi . seni . lestari

untaian patahan kata bertaut menjadi narasi beresensi

direizz

Just another WordPress.com site

Komunitas Ngejah

Desa Sukawangi - Kec Singajaya - Kab Garut

sihaik

This WordPress.com site is the bee's knees

Azinuddinikrh's Blog

barangkali kau benar, hanya malaikat dan gemericik air lah yang dapat membawaku pergi berlalu

rumah matahari

"sebab tiap kata adalah rumah doa, maka semoga hanya ruh kebaikan yang menjadi penghuninya."

Ayunda Damai

- a bibliophile & learner

Kicau Kaki

Melangkah, memotret, menulis

serbaserbitoyota

information & news

Scientia Afifah

bacalah, dan bertumbuhlah!

Yanto Musthofa

Pengabdian pada bangsa, dedikasi pada profesi, dan segala pikiran serta pengalaman kehidupan adalah harta pusaka yang hilang bila tidak diabadikan. Jangan sia-siakan. Lestarikan dan wariskan dalam buku!

nimadesriandani

Balanced life, a journey for happiness site

Rindrianie's Blog

Just being me

rizasaputra

tempat kuring ngacapruk

Moh Darodjat

Muhammadiyah Gerakanku

Ruli Blogger

Wordpress.com

Faiz' Journey

Mushonnifun Faiz Sugihartanto's Journey

JaTiara

Menulis itu soal rasa bukan hanya tentang tata bahasa

Imaji Tiada Batas!

Hidup sederhana, berkarya luar biasa.

Ridwanologi

Ruang Pandang Ridwan Aji Budi Prasetyo

unspoken mind

if you can't tell, just write

Arip Yeuh!

Harimau berburu, burung terbang, dan protagonis kita ini terus menggerutu

jemari anneo

"LEPASKAN YANG RAGU, GENGGAM YANG PASTI".

RGS no tsubuyaki

dengan semangat Bangun Indonesia!

just a treasure

jika kau bertanya apa hartaku yang paling 'berharga', maka kau sudah menemukannya. :)

Penyukajalanjalan

Jelajahi dunia selagi bisa

Mirna's Blog

My Life, My Story