Quote of The Day

“Hidup yang tidak pernah dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan”

Friedrich Schiller–Penyair Jerman–

friedrich-schiller-1

Istiqomah-lah, Afiqah!

Sepulang shalat jemaah dari masjid Darussalam Kota Wisata, saya menyaksikan kepolosan Afiqah yang mengundang tawa. Kami selalu beri pijakan ketika akan menyeberang jalan, kita harus perhatikan jalan, toleh kiri-kanan apakah ada mobil. Jika ada mobil, kita bisa memberikan tanda dengan tangan agar si supir melambatkan mobilnya.

Nah, pas keluar dari area parkir masjid, ternyata Afiqah mempraktekkannya. Ia menyodorkan telapak tangan kirinya kepada sebuah mobil sebagai sinyal untuk memperlambat lajunya karena kami sekeluarga ingin menyeberang jalan. Sang sopir yang melihat tindakan Afiqah ternyata langsung stop, membuka kaca dan ia tersenyum pada keluarga kami.

Melihat Afiqah menyetop mobil itu lucu sekali. Kami tahunya belakangan, setelah sang sopir menyapa kami. Ada-ada saja si kakak Afiqah.

Afiqah Pulang dari Masjid

Nah, itu bagian bahagianya. Lalu masuklah ke bagian tantrumnya.

Afiqah Tantrum

Kami ingin ke minimarket untuk beli keperluan makan malam. Manda Andin rencananya mau membeli telor dan minyak goreng. Lalu Afiqah nyeletuk, “Afiqah haus. Mau beli minum, boleh?” Manda Andin mencoba negosiasi bahwa kita bisa minum nanti di rumah. “Tapi, hausnya sekarang,” kata Afiqah. Okelah, sebotol minuman air mineral tak mengapa. Bahaya juga kalau kurang minum. Kami juga kehausan. Butuh minum.

Begitu sampai di minimarket, Afiqah dan Manda Andin sudah berkeliling mencari barang yang dibutuhkan. telor dan minyak goreng sudah di tangan. Begitu pas mau bayar, ternyata mata Afiqah tertuju pada buku mewarnai. Ia pun berjalan nyamperin rak buku mewarnai. Lalu Afiqah pun mulai pasang jurus merengek. Ia mulai meminta dibelikan buku mewarnai karena buku mewarnai yang ia punyai, ketinggalan di apartemen di Jakarta. “Di Cibubur belum ada,” begitu penjelasannya untuk meyakinkan kami berdua.

Tapi kami berdua langsung membaca gelagat tidak baik ini. Kami harus berani dan istiqomah dengan tujuan awal ke minimarket, yaitu membeli telor dan minyak goreng untuk makan malam. Tidak ada agenda lain di luar itu. Jadi, kalau Afiqah mau mengada-ada membeli hal di luar tujuan awal, harus direm. Tidak bisa semua hal yang dimaui anak, harus kita turuti agar ia merasa senang. Tidak bisa seperti itu. Kita harus strict, bahwa jika kita ingin sesuatu, harus ada prosesnya, ada planningnya, ada pengalokasiannya. Tidak bisa segala sesuatu itu selalu datang tiba-tiba, tanpa rencana, atau bahkan hanya untuk memenuhi keinginan mendadak alias nafsu semata. Hal ini sangat perlu ditekankan kepada anak.

Afiqah mulai menangis. Mulai dari level nada rendah, sedang, lalu tinggi, dan sampai pada kondisi tidak terkontrol karena suaranya berisik mengganggu pengunjung minimarket. Akhirnya, saya harus ambil sikap. “Mohon maaf Afiqah, tidak semua keinginan kamu harus kami turuti. Kita harus istiqomah sesuai tujuan awal mau beli apa ke sini. Untuk beli buku mewarnai bukan sekarang waktunya. Itu bukan kebutuhan mendesak. Nanti bisa menunggu kita ke apartemen,” kataku sambil menggendong Afiqah keluar dari minimarket. Tindakan saya itu tergolong ke dalam tindakan opsi terakhir setelah negosiasi secara verbal tidak berhasil, yaitu physical intervention. Itu dibutuhkan dalam kondisi darurat chaotic terjadi.

Afiqah menangis makin menjadi-jadi. Semua orang lihat kami dengan seorang anak di gendongan yang meraung. Tak apa-apa dibilang macam-macam oleh orang lain. Ini momentum pembelajaran buat Afiqah. Tidak semua hal harus diikuti. Tidak semua kemauan dan keinginan bisa terwujud tiba-tiba. Semua butuh proses. Itu pesan mendalam yang ingin kami sampaikan kepadanya secara tidak langsung.

Kami terpaksa masuk mobil, lalu beranjak pulang. Ia tetap menangis. Manda Andin tetap memberikan sugesti positif. “Manda mengerti perasaan Afiqah. Afiqah sedih. Tapi kita tetap harus sesuai tujuan awal mau belanja apa tadi sebelum berangkat. Kita mau beli telor dan minyak goreng, kan?”

Manda Andin memeluk Afiqah dengan penuh kasih sayang, meski ia tetap dalam keadaan menangis. “Manda yakin Afiqah bisa mengontrol emosi. Afiqah kan sudah kakak-kakak, sudah sekolah playgroup” kata Manda Andin memberi apresiasi sekaligus menyindirnya secara halus.

Begitu masuk gerbang komplek perumahan kami, Afiqah masih menangis. Sampai di depan rumah, ia masih tetap menangis. Tapi begitu sudah turun dari mobil, tangisnya mulai reda. Ia sudah bisa kontrol emosi.

“Afiqah butuh berapa menit untuk tenangkan diri?” tanya Manda Andin.

Mulut Afiqah menjawab dalam kalimat terbata-bata sambil isakan tangis sesekali menyelinginya, “Lima menit.” Ok, kita beri lima menit. Biasanya sih lima menitnya masih belum akurat. Biasanya kurang dari waktu normal lima menit.

Sesuai Tujuan, Tetap Istiqomah

Praktis, dari sejak nangis awal, hingga reda, durasi menangis Afiqah hanya sekitar 12 menit. Waktu 12 menit yang sangat krusial dan menentukan pembentukan karakter seorang anak. Apakah orangtuanya “mengalah” demi anak, atau ia tetap pada pendirian dan istiqomah menjalani tujuan awal yang sudah ditetapkan?

Saya dan Andin meyakini, jika kita terlalu gampangan menuruti kemauan anak, kelak ia bisa dengan mudah minta ini-itu tanpa tahu ada proses yang berdarah-darah juga dalam mewujudkan keinginan tersebut. Ada yang miss di sana, yaitu proses mewujudkannya. Anak yang terbiasa sedikit-sedikit minta ini-itu lalu diwujudkan orangtuanya secara cepat, akan menganggap ketika minta sesuatu, jurus simsalabim bisa dipakai dan bisa berhasil. Tinggal minta, tiba-tiba barangnya ada. Ia tidak akan mau tahu bahwa untuk mau sesuatu itu, butuh perjuangan terlebih dahulu.

Namun beda hasilnya jika anak yang kita biasakan strict dengan memperhatikan proses serta mampu membedakan keinginan dengan kebutuhan. Kalau si anak mampu istiqomah pada tujuan awal, lalu ia juga mengerti bahwa jurus ujug-ujug bisa dapat ini-itu tidak berlaku, maka ia akan tumbuh menjadi orang yang sangat menghargai proses dan perjuangan hidup. Rasa syukurnya pun lebih tinggi.

Kami membiasakan Afiqah untuk bisa mengerem nafsu keinginannya. Ia harus bisa potong ego-nya. Beberapa bulan lalu, ketika Afiqah punya keinginan untuk memiliki sepeda, kami tidak langsung membelikan. Kami memberikan informasi bahwa untuk beli sepeda, butuh waktu dan usaha. Harganya mahal, dan kita harus kumpulkan uang dulu. Untuk mengumpulkan uang, kita harus bekerja, berkarya. Jadilah Afiqah menyibukkan diri seolah-olah ia bekerja di rumah. Ia sibuk belajar. Memberes-bereskan mainannya, dan dia anggap itu bekerja.

“Lagi apa kak?” tanyaku iseng di suatu siang. “Afiqah mau kerja dulu mau nabung buat beli sepeda.” Kami hanya senyum menanggapinya. Meski konsep kerjanya masih kurang tepat, tapi okelah. Ia tak langsung ujug-ujug bisa dapatkan sepeda dengan mudah. Harus kerja dulu, harus cari uang dulu. Harus hitung, berapa upaya dan usaha yang harus dilakukan untuk capai target yang sudah dikunci tadi. Konsep itu yang kami install di kepala Afiqah. Kalau mau sesuatu, harus ada usahanya. Tidak bisa menengadahkan tangan begitu saja. Terima pasif, terima jadi. Dengan begitu, kita melatih logika berpikir Afiqah (logic mathematic). Ia jadi tahu tentang sebab-akibat, konsekuensi logis dari suatu tindakan. Kalau mau sesuatu, rencanakan sejak jauh-jauh hari. Itu lebih baik. Meski kami tidak menutup ruang untuk tetap bisa melakukan tindakan impulsif seperti pemberian hadiah kejutan atau tindakan surprise lainnya.

Tantangan Lingkungan

Permasalahan yang kerap kita hadapi adalah manakala ada orang di sekeliling kita yang terlalu mudah memberikan atau memenuhi keinginan anak kita. Bisa saja kakek-neneknya, atau om-tantenya. Atas nama kasih sayang, semua barang yang diinginkan si anak segera hadir di pelupuk matanya dengan begitu cepat. Atas alasan agar si anak tidak nangis, semua barang dibelikan. Ini sulap dan ini sihir, TARA……

Untuk itu, perlu dikomunikasikan kepada keluarga besar kita bahwa untuk membangun mentalitas dan karakter anak yang lebih baik, kita jangan sampai memanjakan anak dengan gampangan memberikan ini-itu sesuai keinginan dia. Kita harus selektif, dan memperhatikan ada proses perjuangan yang harus dilalui seseorang jika ia inginkan sesuatu. Orangtua dan keluarga besar harus satu frekuensi dalam menjalankan pola asuh terhadap seorang anak agar tidak ada kebingungan di dalam dirinya.

Menghargai proses adalah sesuatu yang mahal di Indonesia, karena banyak orang yang tak sabaran dan ingin potong-kompas saja. Budaya ingin sukses instan adalah musuh yang harus dienyahkan dalam pikiran kita. Sukses yang dicapai lewat perjuangan yang berproses, masa “panen”-nya lebih lama. Tidak cepat hilang.

Dalam pengamatan kejadian kongkret di jalanan, kita sering lihat banyak motor karena buru-buru mengejar waktu, saban hari melawan arus untuk bisa sampai lebih cepat ke tempat yang dituju. Padahal sudah disediakan U-TURN meski memang sedikit lebih jauh dibandingkan memotong jalan atau melawan arus. Tapi tetap saja, pola pikir melawan arus lalu lintas, itu adalah salah. Selain melanggar aturan lalu lintas, hal itu juga bisa membahayakan si pengendara dan pengendara lainnya. Efek lainnya, kemacetan jadi mengular kemana-mana karena ada kumpulan ego yang tak bisa ditahan. Seenak jidatnya saja. Yang penting kepentingan saya pribadi terpenuhi (cepat nyampai). Peduli setan dengan urusan jalanan jadi tambah macet kek, mau mandeg kek. Sabodo teuing kalau dalam istilah urang Sunda. Ini contoh kongkret orang yang tidak menghargai proses, hanya berorientasi result, ingin cepat sampai, apapun caranya. Segala cara ditempuh untuk memenuhi hasrat dan ego.

Mari mengubah masyarakat kita mulai dari keluarga kita, dari anak kita sendiri. Pastikan anak kita tidak ter-install prinsip “simsalabim sulap”, “asal cepat sampai”, “potong-kompas”, “egosentris” di dalam dirinya. Pastikan ia menghargai proses. Pastikan ia melakukan sesuatu, sesuai tujuan awal, tidak gampang terdistraksi di tengah jalan. Pastikan apapun kegiatan yang ia lakukan, ia harus istiqomah menjalani pilihan kegiatannya hingga tuntas. Tidak melenceng sana-sini. Pastikan juga kegiatan tersebut harus memenuhi kebutuhannya, bukan karena impulsif memenuhi keinginan hawa nafsu belaka. Kebutuhan selalu ada batasannya karena ada elemen pengukuran yang bisa dikontrol di dalamnya. Sedangkan keinginan, tidak ada batasnya. Ia adalah laju nafsu yang tak terkendali. Ia adalah jelmaan kongkret dari istilah matematika, Tak Terhingga (~).

Istiqomah ya Kakak Afiqah,

Adlil Umarat

Tim Riset & Pengembangan

Sekolah Dhuafa Bermetode Sentra, Batutis Al-Ilmi, Pekayon-Bekasi

@pukul5pagi

umarat.adlil@gmail.com

http://www.umarat.wordpress.com

08111170128

2015 in review

The WordPress.com stats helper monkeys prepared a 2015 annual report for this blog.

Here’s an excerpt:

The Louvre Museum has 8.5 million visitors per year. This blog was viewed about 110,000 times in 2015. If it were an exhibit at the Louvre Museum, it would take about 5 days for that many people to see it.

Click here to see the complete report.

Afiqah Nonton Inside Out

Kadang-kadang tindakan impulsif, bisa menimbulkan inspirasi besar. Kami menonton film di bioskop. Pilihan film tentu saja film anak-anak, disesuaikan dengan usia Afiqah.

Sebelumnya, Afiqah pernah diajak nonton premiere The Avenger terbaru. Akibatnya? Ia sangat terpengaruh dengan film juga. Ia mengerti konsep berantem, perang, tembak-tembakan. “Ciat….dor…dor…dor,” ujarnya mempraktekkan apa yang dilihatnya di film tersebut. Kami sampai pusing bagaimana menghapusnya dari memori Afiqah. Sampai suatu saat Bu Siska menyarankan agar Afiqah dibawa ke bioskop lagi, tapi nonton film yang anak-anak, biar terhapus pengalaman berantem-berantemnya.

Kami nonton di jam 14:30, di XXI Cibinong. Tumben-tumbenan kami nonton jauh banget ke Cibinong. Tempatnya nyaman juga. Tidak terlalu ramai dan jauh dari hiruk-pikuk.

Sebelum film mulai, kami sudah keliling-keliling melihat poster film baik yang sedang tayang maupun yang akan tayang dalam waktu dekat. Afiqah enjoy sekali bermain-berlari, di dalam area ruang tunggu XXI.

Waktu sudah menunjukkan 14:25. Kami segera masuk ke teater yang sudah tertera di tiket. Ternyata sudah ada tayangan yang dimulai. Kami kira benar-benar ini yang akan ditayangkan. Ternyata hanya extra saja. Promo film berikutnya. Namun soundtrack-nya lumayan racun juga. Easy listening banget, I Lava You. Coba dengarkan deh di Youtube.

Baru 10 menit film tayang, saya langsung ingat materi mendasar Metode Sentra.” Film ini bisa banget nih menjelaskan prinsip-prinsip dasar Metode Sentra,” ujarku dalam hati. Aku dan Manda Andin saling memandang. Kami sama-sama spontan mengatakan hal yang sama, “Sentra banget ya?” Ah, kompaknya. Makanya kami jodoh. Tanpa berkata, saya tahu apa yang ada di pikiran Andin, dan ia juga tahu apa yang akan saya utarakan. Pakai jurus bahasa kalbu, #eaaaa.

Kami begitu menikmati film Inside Out. Sempat juga kepikiran, apakah Afiqah mampu menikmati film ini sama seperti yang kami nikmati? Masalahnya, film ini berbahasa Inggris, dengan subtitle Bahasa Indonesia. Khawatir Afiqah tidak bisa mengikutinya dengan baik. Aku kira Afiqah bosan mengikuti cerita film ini, sampai akhirnya suatu saat kejadian penting terjadi setelah film mencapai klimaksnya.

Respon Afiqah

Afiqah menangis mendadak di ¾ film. Ada 4 momentum yang membuat ia melakukan 4 kali tarikan “gas” nangis kencang:

Pertama, saat Joy meninggalkan Sadness à ini menggambarkan ketakutan Afiqah ditinggalkan. Sedih karena temannya tidak setia kawan.

Kedua, saat Joy naik tersedot alat penghubung ke ruang kendali pusat à Afiqah merasakan sensasi ngeri karena diperlihatkan Joy seperti dalam kondisi tersiksa dengan keadaan tersedot tersebut karena tabungnya pecah, dan ia terjatuh ke jurang. Saat itu, tangis Afiqah meninggi.

Ketiga, saat Joy dan Bing Bong si gajah lucu, mencoba beberapa kali untuk naik kereta dorong, agar bisa mencapai ruang pusat kendali lagi setelah jatuh di lembah kegelapan. Mereka beberapa kali gagal.

Keempat, saat Bing Bong si gajah merelakan dirinya tidak ikut ke dalam kereta yang mendorong Joy naik ke ruang pusat kendali otak. Si Gajah lucu itu menjatuhkan dirinya ke lembah kegelapan. Ia rela berkorban demi keberhasilan sahabatnya menggapai misi penting. Itu merupakan momen paling iba bagi Afiqah. Mengapa ia terjatuh, dan tertinggal?

Saya dan Manda Andin yang kaget bukan kepalang, segera menenangkan Afiqah. Kami menghiburnya bahwa sebentar lagi nanti aka nada kesuksesan, keceriaan. Kita seperti seorang spoiler yang membocorkan kelanjutan isi cerita. Tapi ternyata di klimaks film tersebut, proses kegagalan Joy-Bing Bong jatuh lagi ke jurang kegelapan, benar-benar dieksplorasi secara optimal. Sedihnya dapat. Tegangnya dapat. Dramatisasinya juara. Di sana, sang sutradara berhasil mengobok-obok emosi Afiqah selaku anak kecil. Selamat ya bapak sutradara. Anak saya nangis nih 4 kali tarikan gaspol, hasil nonton film ente.

Afiqah nonton pakai perasaan sekali, BAPER (Bawa Perasaan). Ia serius sekali menikmati film Inside Out ini. Padahal film ini pakai bahasa Inggris, dengan teks subtitle Bahasa Indonesia. Ia belumlah mengerti cara membaca tulisan. Namun ternyata, ia menonton menggunakan hati. Ia membaca mimik di tiap adegan. Ada juga anak kecil sudah lebih besar dari Afiqah umur sekitar 5 tahun, ia kerap bertanya kritis ke orangtuanya, “Emangnya kenapa kalau begini….kalau begitu….?” Si orangtua harus menjelaskan penyebab dan konsekuensi dari adegan per adegan. Ia menonton tidak menghidupkan tombol “rasa”. Alhamdulillah Afiqah meski masih kecil, tapi ia punya tombol “rasa” yang aktif. Ia menikmati tontonan tersebut secara maksimal. Saya karena kaget Afiqah nangis, lalu punya ide, ini momen langka, akhirnya saya rekam lewat voice recorder beberapa menit akhir ketika ia menangis.

Afiqah, jika ia mau, ia bisa jadi analis program tv atau film. Ia menikmati karya seni dengan seluruh indera dan kemampuan analisanya. Ia menangis dikala memang adegannya sedih. Ia tertawa ketika memang ada yang lucu (little monkey scene antara ayah dan anak). Ia juga bisa mengekspresikan ketakutannya manakala ada adegan yang menegangkan. Senang sekali rasanya kami selaku orangtuanya. Kalau sebuah PH (Production House) ingin tahu bagaimana respon natural dari seorang anak untuk film anak, sila kontak anak saya, Afiqah Humayra Umarat. Bisa jadi tester/ reviewer untuk film yang akan di-launching.

Sinopsis Cerita

Inside Out adalah sebuah film Amerika Serikat dari Pixar. Film ini mengenai perjalanan seorang anak menuju remaja dengan segala emosi yang ia miliki; kesedihan (Sadness), kebahagiaan (Joy), kemarahan (Anger), rasa takut (Fear), dan keegoisan (Disgust). Production House yang merilis film super keren Inside Out ini adalah PH yang membuat film Toy Story, Toy Story 2, Toy Story 3, A Bug’s Life, Finding Nemo, The Incredibles, Cars, Cars 2, Ratatouille, WALL-E, Up, Monster Inc, Monster University, dan The Good Dinosaur.

Film yang disutradarai Pete Docter dan Ronnie del Carmen ini menyajikan sesuatu yang berbeda. Ia mengajak kita melihat dunia dari dalam kepala kita masing-masing, termasuk konflik yang terjadi di dalam fikiran. “Moms have inside voices, dads have them too, and we all have little voices in our head”. Jadi, film ini tidak hanya bisa dinikmati oleh anak kecil, tapi juga menjadi renungan yang sangat dalam bagi orang dewasa.

Kembali ke cerita di film Inside Out. Masa kecil Riley sangat bahagia. Seharusnya semua anak begitu. Dijelaskan dengan analogi tabungan bola memori berdasarkan warna. Semakin dominan suatu warna, maka demikianlah terbentuk karakter seorang individu. Kalau dari kecil biasa menerima dampak dari larangan, suruhan, marah, sang anak bisa jadi penakut, peragu, tidak bisa ambil keputusan, memori dikuasai hal-hal negatif, dan lain sebagainya.

Long term memory digambarkan dengan jejeran bola yang tersimpan rapi di rak. Jika ada yang tak terpakai/ tidak berkesan, dia akan gugur. Ada petugas Cleaning Service yang bertugas menyedot memori yang tak terlalu berkesan. Adegan tersebut sangat lucu, karena bisa menjelaskan kepada pemirsa bahwa jika si anak tidak melakukan sesuatu dengan kesan yang kuat, suatu memori akan lebih mudah hilang. Nah, mengapa film ini menurut saya dan Andin sangat “Metode Sentra” banget, karena di Metode Sentra, anak diajak untuk belajar sambil bermain secara menyenangkan. Ia harus menemukan sendiri keasyikan bermain ketika belajar. Belajar bukan dalam bentuk drilling hapalan. Belajar harus dilalui dengan proses penyerapan dan pemahaman secara personal. Ketika proses belajar sambil bermain atau bermain sambil belajar itu begitu menyenangkan, maka hal itu akan masuk ke dalam long term memory si anak.

Rontoknya pulau-pulau imajinasi yang membentuk karakter sang anak, merupakan hal yang sangat penting penggambarannya di film ini. Pulau ambruk diantaranya: pulau keluarga (saat Riley meninggalkan rumah), pulau kejujuran (saat Riley mencuri uang di dompet ibunya), pulau persahabatan (saat Riley kesal teman lamanya ternyata sudah dapat teman baru dan ia marah merasa ditinggalkan), pulau permainan (personal moment Riley dengan ayahnya ledek-ledekan little monkey karena tidak mau pakai baju), dan pulau hobi (pengalaman mencetak gol pertama kali saat berlatih hoki).

Saat dewasa, pulau-pulau imajinasi dan kepribadian tersebut akan bertambah. Diantaranya: fashion, asmara, dengan semakin banyak cabang masing-masing, dengan tombol yang sangat variatif.

Tiap anak punya teman imajinasinya sendiri. Misalnya Afiqah punya Edi, Afla, Sakar. Itu karangan dia sendiri. Tapi selalu disebutkan, dimanapun berada. Pernah suatu ketika kita baru sampai di apartemen setelah berangkat dari rumah di Cibubur. Lalu tiba-tiba Afiqah bilang, “Eh, itu Edi sudah sampai duluan…” kita yang ada di mobil langsung kaget. Edi temannya Afiqah ternyata ngikutin ke apartemen. Spooky. Tapi kami selalu luruskan lagi, “Afiqah bicara sesuai fakta. Tidak ada Edi di sini.”

Di film ini dijelaskan juga bahwa jingle iklan di tv yang biasanya diputar berulang-ulang, justru itu hal yang sangat mudah melekat di memori anak-anak. Tidak heran, anak-anak gampang ingat iklan yang berulang-ulang. Bahkan bisa diulang sampai 3 kali dalam satu kali putar. Ini kekuatan teori repetisi.

Ada saatnya perasaan sedih perlu dikeluarkan. Jangan dominan rasa senang saja. Itulah manusiawinya manusia. Kalau senang terus, lalu denial terhadap kondisi yang ada, tidak akan optimal hasil yang dijalani. Kalau memang harus sedih, sedihlah. Butuh menangis, menangislah. Setelah itu, segera cari solusi, dan kembali bergembira menghadapi hidup ini.

Orang kalau hanya punya marah, jijik, takut, maka kendali terhadap “rasa”nya rendah. Kalau menurut istilah Metode Sentra, batang otaknya tertutup (freezing). Sehingga di film tersebut digambarkan meja kendalinya hitam dan tidak bisa diapa-apakan. Ini fase manusia tersebut ada dalam keadaan apatis. Sudah mati rasa, terutama ketika core memory terganggu. Maka, berhati-hatilah memperlakukan anak.

Recalling Inside Out

Selesai nonton, ternyata di luar bioskop ada box khusus film Inside Out. Walhasil Afiqah tertarik main ke sana. Kami foto-foto di sana. Lalu Afiqah mulai melakukan review atau recalling terhadap film yang sudah ia tonton. Mulai cerita satu-satu dari warna dan gambar yang tertera di box tersebut. Afiqah akhirnya berfoto di masing-masing karakter emosi di film Inside Out. Ia fasih dan mahir menjelaskan bagaimana ekspresi tematik yang tepat untuk tiap karakter emosi: marah, takut, jijik, senang, sedih. Afiqah juara deh pokoknya. Sampai-sampai si security yang kami minta tolong fotoin bertiga, geleng-geleng kepala. “Kok anak kecil ini bisa aja ya ekspresinya? Kok dia tahu ya isi filmnya?” ujarnya terheran-heran. Kami hanya tertawa melihat reaksi si bapak security.

Di film Inside Out, ada satu pesan penting juga. Ternyata, pujian atau support saat main hoki di masa kecil, jadi memori yang indah jangka panjang buat si anak. Ia jadi suka sekali dengan hoki. Bahkan hingga ia besar. Saat bermain bersama anak di kala ia kecil, kita harus beri penghargaan terhadap upaya anak. Waktu itu digambarkan di film bahwa Riley terpeleset saat main hoki dan tak sengaja malah mencetak gol. Tapi, orangtuanya memberi apresiasi. Ayah ibunya memberi semangat. Maka, once dia ingat sesuatu yang sangat berkesan, dia akan mencintai momen tersebut dan bisa jadi ia jatuh cinta pada apa yang dilakukan saat itu (hoki).

Carilah sisi positif anak sekecil apapun. Beri ia penghargaan. “Terima kasih ya meski kondisi sulit, tapi kamu tetap bisa senyum tadi…” ujar ibu kepada Raily. Si anak yang tadinya sempat mau marah, karena dipengaruhi Si Marah di dalam otaknya, ternyata malah berganti arah. Ia malah merasa terenyuh. Ia jadi respect ke orangtuanya.

Anak waktu lahir, yang muncul harusnya Joy dahulu. FItranya anak masih di masa-masa bermain, eksplorasi neuron, masih polos. Jika joy dominan saat kecil, ini jadi tabungan yang bagus buat masa depannya karena core memory-nya dibalut oleh sesuatu yang positif.

Jika kembali ke cerita film Inside Out, ada adegan yang menjelaskan bagaimana rasa senang dan pengalaman yang dominan bisa mengubah respon orang jika menghadapi situasi yang tak menyenangkan. Riley hampir sedih pas lihat rumah yang ia pindah ke sana tidak sesuai harapan, bapaknya sibuk, tapi karena si anak selalu didominasi hal positif, gembira, lahirlah ide untuk pergi membeli pizza. Padahal ada opsi untuk mengamuk, tapi tak ia lakukan.

Anak kecil juga perlu dibangun trust ke orangtuanya dulu sebagai bagian dari ring 1. Dia harus merasa nyaman di ring 1 agar perkembangan kecerdasan jamaknya optimal. Jika trust-nya terbangun, insya Allah lebih mudah membangun karakter yang kuat dalam diri anak.

Dampak setelah nonton film Inside Out pada keesokan harinya, Afiqah bilang, “Afiqah uu’ (buang air besar), mau cebok. Berarti mbak-mbak hijau di kepala Afiqah jijik ya, dah sadar.” Kami tertawa bertiga. Ternyata gampang sekali memberi pengertian kepada anak umur 2 tahun 10 bulan bagaimana mengambil manfaat dari menonton film. Ia langsung praktekkan makna dari film tersebut. Makasih ya nak. Itu adalah insight yang paten kali bisa keluar dari anak usia segitu. Ini adalah bagian dari berkembangnya logic-mathematic Afiqah. Ini perkara sebab-akibat. Otaknya sedang berlatih dan bergelut dengan itu.

Sebelumnya kami beri pijakan dulu ke Afiqah bahwa si hijau itu (disgust) berkaitan dengan sikap jijik. Kalau mbak-mbak jijik sudah sadar, Afiqah akan merasa risih/ tidak nyaman saat ada uu’ di pampers atau pas mau pipis, atau ada yang kotor, atau ada yang berantakan. Ternyata, hal itu dipraktekkan oleh Afiqah. Film ini benar-benar impactful buat Afiqah. Positif buat anak, asal disampaikan pesan yang tepat ke dalam pijakannya.

Hikmah film ini bisa menyasar ke semua kalangan, baik anak, orangtua, ataupun keluarga besar. Kita bisa memilih sikap mau memborbardir anak cucu kita dengan tindakan atau sikap marah, takut, senang, jijik, sedih di dalam interaksi kita sehari-hari dengan mereka. Hal ini akan mempunyai konsekuensi logis dan mempengaruhi karakter si anak ke depan.

Kalau anak bisa handle perasaan kapan harus mengeluarkan sedih, marah, takut, jijik, senang, dengan kadar yang pas, dan konteks yang tepat, maka dia akan jadi anak cerdas secara emosional. Ia akan mudah bergaul dengan lingkungannya.

Ada sindiran satir di film ini tentang bagaimana cara berpikir bapak, ibu, anak di keluarga. Misalnya, bapak-bapak kerap tidak fokus ketika diajak bicara oleh keluarga karena sedang memikirkan pertandingan olahraga favoritnya. Ah, jadi ingat kalau Pak Ading sedang nonton pertandingan bola di tv. Manda Andin bagaimanapun ngototnya ngajak bicara, tidak akan pernah bisa dijawab dengan fokus, karena pikiran orang yang sedang nonton pertandingan bola tidak sedang berada di rumah. Ruhnya hanyut-larut-terbang ke negara Inggris, Italy, Spanyol, atau Jerman. Betulkah begitu, wahai pecinta bola? Hehehe.

Nah, Anda sudah nonton film Inside Out se-keluarga kah? Cobain deh. Rasakan sendiri sensasinya. Ini film buat Anda kaum yang berpikir. Menurut saya, ini adalah film terbaik dari keseluruhan film Pixar yang pernah ada. Level puas menontonnya bisa mencapai tingkat tinggi!

Quote of The Day

Jack-Ma-quotes-2

“Kita tidak pernah kekurangan uang. Kita kekurangan orang-orang yang punya mimpi dan rela mati untuk mewujudkan mimpinya.”

(Jack Ma –Founder & Executive Chairman Alibaba Group)

Jasa Kargo Jumbo? Pakai Ini Aja…

PT Intan Rahayu

Kami PT. INTAN RAHAYU CEMERLANG EXPRESS sebagai perusahaan penyedia jasa transportasi yang bergerak dalam bidang pengiriman barang. Adapun jasa kami yang tersedia sebagai berikut :
FERRY CEPAT : (Wilayah Kalimantan dan Sulawesi)
LAUT : (Wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, NTT)
DARAT : (Wilayah Surabaya (kota-kota), Jabodetabek, Sumatera, Bali, Lombok)

Armada yang tersedia sebagai berikut :
1. Trucking (PickUp, Colt Diesel Box/Bak, Fuso Engkel, Tronton, Built Up)
2. Full Container 20″ dan 40″
3. LCL (Barang Campuran)
4. Lost Cargo
5. LCT dan Kapal Tongkang

Kami juga menerima pengiriman berupa material proyek, konstruksi, alat berat, barang pindahan, dan pelayanan kami adalah door to door service.

Keterangan lebih lanjut bisa menghubungi :
Phone : Agil (082230025411)
Office : 031-8547912, 031-8543458
Email : info@irc-express.com, pt.intanrahayucemerlang@gmail.com
Website : www.irc-express.com
Adress : Jl. Brigjen Katamso No. 65 Janti Waru Sidoarjo

“Kecepatan dan Ketepatan Kami adalah Profit dan Benefit Anda”

Apa yang Salah dengan Volunter?

“Kamu perempuan, lahir dan besar di Jakarta, sekolah tinggi, kenapa mau bekerja keluar-masuk hutan hanya untuk orang-orang seperti mereka?” Begitu pertanyaan yang sering saya dapatkan selama tak kurang dari 15 tahun terakhir ini. Tidak ada jawaban yang memuaskan mereka. Setiap jawaban malah melahirkan pertanyaan baru.

“Memangnya di kota tidak bisa berarti?” “Di hutan, kan, tidak ada mal, sinyal telepon, teve, internet, bakso?” Atau, “Hobi, ya, hobi, pekerjaan itu pekerjaan, tidak bisa disatukan!” Lalu, “Tidak takut binatang buas, kena malaria, diperkosa, atau bertemu setan?”

Bekerja di kota, di mana banyak orang berkompetisi memperebutkan sedikit kesempatan, yang tak jarang hanya demi kesenangan dan memuaskan pancaindra semata, sampai-sampai harus sikut kanan-sikut kiri, bagi saya justru lebih menakutkan dibandingkan kemungkinan bertemu binatang buas di hutan. Tapi, kenyataannya, pekerjaan di kota memang menjadi incaran banyak orang. Teramat banyak sehingga kantor-kantor itu harus menyeleksi calon karyawannya habis-habisan dengan berbagai persyaratan. Pada situasi ini tampak sekali kalau kita yang memburu pekerjaan, bukan pekerjaan yang membutuhkan kita.

Masih ingatkah bagaimana rasanya langkah jadi ringan dan senyum terkembang seharian setelah bantuan kecil yang kita lakukan tulus untuk orang lain? Misalnya, setelah membantu seorang nenek menyeberang di jalanan yang ramai penuh mobil, atau saat membantu anak tetangga yang kesulitan menyelesaikan pekerjaan rumahnya?

Sulit digambarkan perasaan saya ketika mendengar kata pertama yang berhasil dibaca oleh murid saya, lalu di lain waktu melihatnya membantu orangtuanya di pasar menghitung hasil penjualan produk hutannya. Bantuan kecil kita bisa jadi besar maknanya bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Saya merasa dibutuhkan. Butuh dan dibutuhkan menghasilkan perasaan yang berbeda. Letaknya jauh di kedalaman hati, membuat kita merasa berharga, menghargai hidup dan akhirnya bersyukur.

Kerja Suka dan Rela

Orang banyak mengatakan kegiatan ini sebagai voluntary service. Voluntarybiasa diterjemahkan sebagai sukarela, sedangkan service dalam makna luas berarti pelayanan, bakti, jasa, atau pengabdian. Maka, mari kita artikanvoluntary service sebagai pekerjaan (kalau memang disebut pekerjaan) yang dilakukan bukan hanya dengan penuh suka, juga rela; bukan untuk mencari keuntungan pribadi, tetapi memberi apa yang kiranya dibutuhkan orang.

Indonesia punya 13.000 lebih pulau dan tak kurang dari 250 juta jiwa penduduk. Dengan luas hampir 2 juta kilometer persegi, tentu ada banyak peluang yang terbuka. Apalagi kalau kita baca surat kabar, rasanya tak pernah selesai persoalan di negeri ini.

Bagaimana kita bisa terlibat?

Kita hanya perlu lebih banyak melihat dan mendengar langsung. Langsung itu artinya dari luar layar monitor HP, tablet, atau laptop-mu! Ada banyak hal yang tak berada di tempatnya. Datang ke sana, diam, dan amati dengan rendah hati. Rendah hati artinya kita datang dengan pertanyaan, bukan jawaban. Sekalipun ada perasaan dibutuhkan, kita datang bukan untuk jadi pahlawan, bukan untuk menggurui, tapi mempelajari, mengenali, sambil mencari apa yang bisa kita bantu. Lalu biarkan hatimu mengatakan apa yang harus kamu lakukan.

Konon, ada tiga kekuatan dahsyat, mengutip Pramoedya dalam novelnyaRumah Kaca, “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang bisa timbul pada samudra, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.” Saya setuju. Sekali kita menentukan tujuan, biarkan ia jadi kekuatan yang menggerakkan.

Ada lagi model pertanyaan yang sering saya jumpai, “Kak, saya suka bertualang, saya juga ingin mengajar di rimba, tapi saya takut gelap. Bagaimana, ya?” Atau, “Kak, saya sangat ingin mengajar anak-anak jalanan, tapi orangtua ingin saya jadi PNS.” Menghadapi pertanyaan itu, saya biasanya senyum-senyum saja. Atau kalau sudah terpojokkan, saya bilang, “Bereskan dulu tapi-mu, ya, setelah itu baru kita ngobrol lagi.”

Rasanya sulit menumbuhkan kekuatan pikiran dan hati kita kalau kita sendiri sudah membatasi diri kita dengan banyak “tapi”. Akan selalu ada alasan kalau kita fokus pada kalimat di belakang kata “tapi”. Karena bisa dibayangkan apa yang akan terjadi, bukan? Bahwa dia tidak (akan) berusaha ke rimba atau apa pun mimpinya karena dia punya banyak “tapi”. Bagaimana kalau kalimat “tapi” itu kita balik? “Kak, sebenarnya orangtua saya ingin saya jadi PNS, tetapi saya sangat ingin mengajar anak-anak jalanan.” Dan, “Kak, saya itu sangat takut gelap, tapi saya suka bertualang dan ingin mengajar di rimba!”

Bekerja, apa pun itu, termasuk pekerjaan sukarela, menurut saya selalu dimulai dari menghargai diri sendiri, menghormati hidup kita sendiri. Bahwa kita begitu berharga, bermanfaat, dan berarti, sehingga kita ingin membagikan anugerah yang kita punya kepada orang lain melalui segala daya dan kreativitas. Melalui penghargaan kepada diri sendiri, kita akan menemukan banyak hal menarik dan berguna yang bisa dilakukan. Ini memang terlihat seperti pengabdian terhadap orang lain. Tapi tidak, karena sebenarnya kita mengabdi kepada kemanusiaan yang sejati.

Menghargai Diri Sendiri

Pertanyaan yang lain, “Saya ingin bergabung. Saya ingin bekerja sosial, mungkin satu atau dua tahun, tapi setelah itu saya akan bekerja serius. Saya tak munafik, hidup tentu butuh uang.”

Kalau memang begitu, mengapa tak bekerja serius dulu sampai punya cukup banyak uang lalu baru bekerja sosial sehingga tidak perlu lagi mencemaskan keuangan? Satu hal yang mengganjal, bahwa sering kali kerja sukarela tidak dianggap sebagai pekerjaan serius. Mungkin karena pekerjaan serius itu didefinisikan sebagai rutinitas kantor dari Senin sampai Jumat, berpakaian rapi, dan segala formalitas lainnya. Padahal, kerja sukarela tak kalah seriusnya, sama-sama menguras pikiran dan tenaga. Hanya karena formalitas yang berbeda, bukan berarti keduanya berlawanan.

Bagaimana dengan uang? Jutaan rupiah yang sudah habis untuk biaya sekolah, ditambah lagi tahun-tahun yang telah dilewati dengan penuh harap, sering kali dianggap sebagai piutang yang pada saatnya nanti harus bisa dipetik hasilnya. Setidaknya balik modal, syukur- syukur kalau bisa kembali dengan berlipat ganda. Ah, mari berhenti menyogok masa depan. Sekolah tidak ada hubungannya dengan banyaknya gaji yang akan kita terima. Demikian halnya prestasi (achievement), tidak selamanya diukur dengan uang.

Teman saya, lulusan S-2 dari universitas negeri di Jakarta yang juga bekerja di hutan, pernah ditanyai seorang wartawan yang berkunjung ke rimba dengan penuh apriori, “Berapa gaji yang kamu terima untuk pekerjaan gila seperti ini? Kalau tidak besar, mana mungkin ada yang mau?”

Teman saya menjawab dengan jengkel, setengah bercanda, “Kalau untuk mencari banyak uang, saya mendingan piara tuyul saja, Pak, bukan bekerja seperti ini. Uang bukan tujuan saya.” Si penanya tentu tidak puas, tetapi bagaimana menjelaskan keindahan lautan kepada orang yang tidak pernah tahu apa itu laut.

Lagi-lagi memang kembali kepada tujuan dan keberanian kita menjalani tujuan itu. Keberanian untuk menjadi berbeda dengan ribuan orang yang mengantre pekerjaan di kota. Pikiran-pikiran kami sering dianggap ajaib oleh kebanyakan orang. Sering juga setelah beberapa waktu bercakap-cakap mereka seperti disadarkan bahwa mereka juga ingin punya perasaan-perasaan seperti itu: melakukan hal yang disenangi, merasa bermanfaat.

Kekayaan batin akan senantiasa membuat kita bergairah. Namun, tentu gairah akan berlipat ganda kalau kita bisa memberi manfaat bagi orang lain.

Kerja sukarela tak hanya bisa dilakukan di hutan, di dunia politik, atau di medan perang, tapi bisa di mana pun. Tidak perlu bermimpi menyelamatkan bumi karena itu tugas Superman dan James Bond. Tak juga harus baik hati selemah Cinderella yang mengharap uluran Ibu Peri karena yang kita perlukan justru kekuatan dan keberanian. Tidak juga sibuk cari pengakuan atas yang kita lakukan karena yang kita cari adalah penghargaan kita terhadap diri sendiri. Tidak juga harus mengikuti petunjuk orang-orang terkemuka yang seolah berhati peri karena dalam beberapa kasus yang menumbalkan rakyat negeri ini ternyata malah didalangi mereka. Tak juga harus sepakat dengan saya.

Seperti kita tahu, setiap orang memiliki ketertarikan, prioritas, dan kemampuan sendiri-sendiri. “Jadilah diri sendiri”, sering sekali dikumandangkan di mana- mana. Sekali lagi, taruh gadget- mu, lihat lekat-lekat dunia di luar sana, lalu dengarkan hatimu. Sebab, kita perlu menghargai hidup yang hanya sekali ini. Bayangkan jika suatu hari, di usia 75 tahun, tiba-tiba kita merasa hampa dan baru tersadar bahwa kita belum melakukan apa-apa untuk menghargai satu kali hidup kita.

BUTET MANURUNG

Penulis adalah pendiri dan direktur Sokola-Literasi dan Advokasi Untuk Masyarakat Adat.

[Artikel ini sudah dipublikasi di Harian Kompas, Selasa, 3 November 2015. Dipublikasi kembali oleh Floresa.co untuk tujuan pencerahan kepada publik]

“Afiqah Siap Melangkah ke Surabaya”

Judul di atas adalah ungkapan spontan dari Afiqah yang tak kami sangka-sangka. Ucapan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Entah siapa yang mengajarkan. Kami tanya ke Uti dan Akungnya, dijawab tidak pernah mengajarkan hal tersebut. Manda dan Pak Ading (sekarang lagi berganti nama panggilan jadi Ayah), pun tidak pernah mengajarkannya punya kosakata tersebut.

“Kok kayak orang tuwek dek…dek…” kata Uti.

Secara mengejutkan, beberapa minggu lalu, Afiqah minta ikut Uti-nya ke Surabaya. Ini adalah permintaan pisah dari orangtua ke luar kota pertama kali buatnya. Jadinya kami selaku orangtua cukup kaget, shock, dan merasa ini hanya bluffing dari Afiqah. Gertak sambal kalau kata orang. Kenapa kami yakin begitu? Karena ia masih sangat tergantung pada Manda Andin saat mau tidur. Lalu, kalau bangun tidur juga sangat tergantung pada Manda Andin. Ada kalanya ia tidur dan bangun dengan sangat so sweet, mandiri sekali. Tapi ya lebih banyak tergantung ke Manda Andin sih. Kadang sama ayah juga minta didongengin sebelum tidur. Sampai-sampai si ayah mulai ngarang-ngarang on the spot karena stok cerita sudah habis tapi si anak tetap nagih, lagi-lagi.

Belum lagi kalau Afiqah ngamuk (tantrum). Wah, bisa runyam dah. Afiqah sedang di fase “naik kelas” kalau mengacu pada teori perkembangan anak yang dipelajari Manda Andin di pelatihan Metode Sentra yang diadakan di Batutis Al-Ilmi Bekasi. Naik tahapannya karena ia mulai ngamuk-ngamuk jika mendapati sesuatu yang tak sesuai keinginannya.

Misalnya, ada film kartun di tv yang ia tonton. Lalu, ia tidak sepakat ada kekerasan atau hal yang tidak baik di film tersebut. Maka, ia protes, dan ingin tokoh antagonis dihilangkan dari film kartun tersebut. “Hapus ibu-ibu jahat” (penyihir jahat di Cinderella). Nah lho, maka ayah dan manda pun menjadi bingung. Bagaimana caranya ketika kita sedang nonton tv, ada orang jahat, dan ia ingin orang jahat itu enyah dari layar kaca. Kan ga bisa dihapus begitu saja?

Agaknya ia belum siap untuk menerima konsep “orang jahat’ karena di sekolahnya selalu diajarkan konsep menjadi orang baik. Mungkin ini kesalahan kami selaku orangtua juga yang masih membolehkan ia menonton tv. Harusnya belum saatnya di usia sekarang belum genap 3 tahun. Maafkan kami bu Siska, yang belum sepenuhnya tanpa tv dan gadget buat Afiqah. But at least, kami senang karena Afiqah sudah bisa membedakan mana orang dengan tindakan baik, mana orang dengan tindakan jahat. Ia berhasil mengklasifikasi perbedaan keduanya. Menariknya, bahkan kalau di tv, ia bisa mengidentifikasi based on back sound yang sedang berjalan. Jika nada lagunya sedih, ia bisa merasakan kesedihan. Jika mengerikan, ia juga sudah siap-siap mengidentifikasi akan ada orang yang berbuat jahat. Nanti kami ceritakan lebih detail dalam satu tulisan review film Inside Out.

Berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta

Akhirnya setelah bertanya dan meyakini Afiqah memang sudah siap melangkah ke Surabaya, kami mulai pesan tiket pesawat. Kami juga menyiapkan kira-kira benda atau barang apa yang harus dibawa Afiqah agar ia merasa nyaman.

Afiqah meminta tasnya yang ada di rumah Cibubur dibawa ke apartemen di Kebon Jeruk. Oke, saya harus pulang ke Cibubur hanya untuk mengambil tas geretan kesayangan Afiqah yang berwarna merah muda. Begitu sampai di apartemen, ia sudah berada di depan pintu, langsung menagih, “Mana tas Afiqah?” Jawabanku, “Sabar nak, masih ada di bagasi mobil. Besok pagi Pak Ading bawakan ke sini, boleh ya? Kan berangkatnya masih 2 hari lagi?”

Ia seperti sudah tidak sabar untuk packing, beres-beres, mempersiapkan diri untuk terbang ke Surabaya. Padahal masih dua hari lagi berangkatnya. Benar-benar anak yang berkarakter well-prepared. Ketika sudah dijanjikan sesuatu, ia akan menagih secara persistence. Anak Metode Sentra memang begitu. Ia fokus mengejar apa yang memang jadi tujuannya. Jadi, orangtua harus berhati-hati untuk tidak gampang mengumbar janji mau begini atau begitu. Orangtua juga harus belajar untuk tepat janji. Jika memang tidak bisa ditepati, tidak usah dijanjikan.

Sama halnya dengan politik di Indonesia. Kalau anak Indonesia masa sekarang diperkenalkan metode sentra, lalu karakternya persistence dalam menagih janji, wah, ini bisa cepat maju Indonesia. Karena kalau di Indonesia, biasanya politisi, kepala negara, atau siapapun yang bersentuhan dengan kegiatan politik, pada umumnya sangat gampang berjanji, lalu masalah realisasi janji, itu urusan belakangan. Kalau bisa dilupakan. Toh, rakyatnya ga nyinyir menagih janji yang sudah terucap. Toh, rakyatnya kerap lupa dengan janji yang sudah terucap. Toh, kalau rakyatnya dikasih isu lain yang lebih WOW, bisa lupa dengan janji pas kampanye. Gampang banget menaklukkan masyarakat Indonesia sebenarnya. Mereka cepat lupa. Tak terlalu persistence menagih janji. Itu tentu saja hanya pendapat pribadi saya saja, hasil observasi dan kontemplasi di balik layar tv yang biasa saya tonton lewat program news di 11 channel nasional. Isu-isu yang bergulir, silih berganti, dan tak ada isu yang dikawal tuntas oleh masyarakat. Kalau ada, mohon kasih tahu saya.

Kembali ke Afiqah. Ketika hari H tiba, Afiqah begitu bersemangat. Entah berapa kali ia ucapkan, “Afiqah Siap Melangkah ke Surabaya”. Manda Andin mengantarkan Afiqah dan Uti-nya ke Bandara Soekarno-Hatta. Ini momen mengharukan sebenarnya. Belum pernah melepas Afiqah ke luar kota tanpa didampingi orangtuanya. Akan bagaimanakah ia nanti di Surabaya? Bagaimana kalau nangis? Bagaimana kalau tidak bisa di-handle Uti? Bagaimana jika ia tiba-tiba kangen ingin pulang ke Jakarta ketemu Manda-Pak Ading? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di otak Manda Andin dan Pak Ading.

Ajaibnya, ketika kami tanya ke Afiqah, “Bagaimana kalau nanti manda-panda kangen Afiqah? Kan lagi di Surabaya?” Secara tenang Afiqah menjawab, “Kalau kangen, kan bisa telepon..”

Ah, iya. Anak kecil ini bisa aja ngejawabnya. Benar juga ya. Tinggal telepon saja. Apalagi sekarang sudah bisa pakai video call. Gratis pula pakai LINE. Bisa lihat langsung wajah anaknya. Jalan juga nih logika Afiqah.

Kekhawatiran-kekhawatiran kami terkikis melihat kesiapan Afiqah setelah kami test lewat berbagai pertanyaan dengan varian kemungkinan kejadian yang akan ia jalani nanti di Surabaya. Entah mengapa, kami jadi teryakinkan saja. Anaknya PD banget tidak akan terjadi hal-hal yang serius nan menyusahkan. Kami mampu berdamai dengan ketakutan ala orangtua yang kami bangun di persepsi kami sendiri.

Afiqah turun dari mobil bersama Uti. Manda Andin tidak mengantarkan hingga ke dalam. Cukup di luar saja. Afiqah dengan sigap membawa tas travel-nya yang berwarna merah muda itu sendiri. Ia tidak mau dibantu Uti. Mandiri sekali. Alhamdulillah.

Afiqah Mandiri

Afiqah Mandiri

Inilah yang kami syukuri dari dampak pendidikan metode sentra terhadap anak. Anda bisa melihat anak Anda lebih mandiri dari sebelum-sebelumnya karena kemandirian dibangun selama proses belajar-mengajar di Batutis Al-Ilmi. Makan sendiri, pakai sepatu sendiri, menggambar sendiri, ambil minum dari gallon sendiri, memilih baju yang ingin dibeli sendiri, membawa kantong belanjaan di fresh market sendiri. Semua serba sendiri. Orangtua jadi tidak terlalu capek mengurusi anak karena si anak sudah dibangun konsep dirinya sejak dini. Itu akan sangat membantu meringankan tugas orangtua. Buat Anda yang masih berpegangan pada konsep mengurusi anak dengan segala kegiatan yang barusan saya sebutkan, maka mulai sekarang harus segera diubah polanya. Kalau apa-apa Anda yang kerjakan buat anak Anda, kelak ketika besar, ia tak bisa apa-apa, serba tergantung pada orangtuanya. Bisa bahaya. Termasuk nanti kalau milihin jurusan untuk kuliah, ia pun bisa jadi tak mampu memilih. “Terserah papa-mama aja”. Jika itu terjadi, benar-benar cilaka. Cilaka 12. Eh, 13.

Pada kasus Afiqah, dan mungkin teman-temannya yang lain yang mendapatkan pola belajar dengan Metode Sentra, asyiknya itu si anak bisa diajak komunikasi. Komunikasi itu dua arah. Ada pemberi pesan, ada penerima pesan, dan ada pesan yang disampaikan. Jadi, kami benar-benar menyampaikan beberapa pesan kunci kepada Afiqah (pijakan) agar ia bisa melewati perjalanan pertama ke luar kota ini tanpa hambatan berarti. Setelah kami sampaikan beberapa pesan, ia bisa menerimanya dengan baik. “Ok,” katanya singkat, tanda setuju dengan pesan kami. Sekilas terlihat seperti sedang negosiasi dengan orang dewasa karena dijawab singkat, padat, tapi setelah kami amati ketika ia di Surabaya, semua pesan kami dijalaninya dengan baik. Tidak ada masalah berarti.

Anak yang Sentimentil

Namanya anak-anak, pisah dari orangtua pasti ada rasa kangennya. Nah, karena ia sudah konsekuen dengan resiko kangen tadi, ketika kami menelpon Afiqah dan ia merasa ingin ke Jakarta ketemu Manda-Panda, ia menunjukkan sebuah bentuk wajah yang bikin saya dan Andin tersenyum.

Suatu waktu, ketika kami telepon, kata Uti ia minta pulang sekarang ke Jakarta. Tapi kata Uti lagi, tiket harus dibeli dulu, tidak bisa langsung pulang hari ini. Harus dipesan dulu. Tersisa 2 hari lagi di Surabaya dan sepertinya ia kangen berat dengan Manda Andin. Pas kami telepon, dia tidak mau melihat langsung ke arah Manda lewat video call. Mulutnya seperti komat-kamit, pencang-pencong. Matanya mulai agak-agak merah, seperti mau menangis. Lalu ia menunduk dan mengelap air matanya di sofa. Ditanya manda, “Afiqah kangen manda?” Semakin berkomat-kamit mulut, mata memerah, dan gambaran sedih itu terpancar nyata lewat video call. Tapi buru-buru Uti dan tante-tantenya mengalihkan perhatian Afiqah untuk bermain kemah-kemahan di dalam rumah. Cepat sekali recoverynya. Tapi satu hal yang kami amati, ternyata Afiqah cukup sentimentil juga orangnya. Tapi karena sudah konsekuen untuk tahan berpisah antar-kota, ya ia tak menangis mewek besar-besaran di depan kami. Gengsi juga kali ya. Hahaha. Karena ia sudah janji pada diri sendiri untuk takkan menangis yang di luar kontrol.

Pulang ke Jakarta

Selama di Surabaya, Afiqah akrab sekali dengan tante-tantenya, dan Om Jefri. Om Jefri baru saja menikah dengan Tante Uwik beberapa bulan lalu. Perawakannya seperti orang Jepang. Afiqah hampir setiap malam minta didongengin oleh tante dan om-nya.

Kadang dengan tante Amirinnisa, kadang dengan Om Jefri. Uniknya, meski minta didongengin oleh Om Jefri, sebenarnya pas sudah buka buku, Afiqah-lah yang banyak mendongeng untuk Om Jefri. Kebalik sebenarnya.

Ketika mau pulang ke Jakarta, Afiqah mengucapkan kata-kata perpisahan dengan Om Jefri, “Om Jefri jangan sedih ya. Afiqah siap melangkah ke Jakarta”. Lagi favorit banget kata-kata “siap melangkah”.

Sepulang dari Surabaya, Afiqah terlihat membal pipinya. Ini hasil pengaturan stok ransum yang diberikan Uti kepada Afiqah. Ia dijejali makanan dan minuman. Kalau pas sama orangtuanya, Afiqah malah ga gendut-gendut. Hehehehe. Ga apa-apa, yang penting sehat aja udah alhamdulillah ya nak.

Oleh-oleh lain yang terlihat adalah Afiqah mulai bisa berbahasa Jawa sedikit-sedikit. Beberapa kosakata Jawa seperti “Emoh”, “Peyan” (sampeyan), “Sego”, dan beberapa lagu Jawa sudah hafal. Diantara liriknya adalah “Jah Gajah…kowe tak kandani Jah…”, “Cublak cublak suweng….”, dan lain-lain.

Menurut saya, harusnya anak sejak dini diajarkan juga Bahasa daerah, selain Bahasa Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi? Nanti Afiqah diajarin juga Bahasa Minangkabau, biar ia kaya budaya, mampu melihat berbagai perspektif budaya orang yang berbeda-beda dan punya rasa empatik yang tinggi sejak dini terhadap budaya etnis di Indonesia yang memang beragam.

Afiqah Siap Melangkah ke ……

Menariknya, setelah sukses melangkah ke Surabaya, ternyata Afiqah enjoy sekali dengan jalan-jalan ke luar kotanya. Tak berapa lama, Uti mengusulkan untuk membawa Afiqah ke daerah perbatasan Tegal/ Pemalang, ke kampung Akung, dekat dengan pemandian air panas Guci. Afiqah lalu bilang, “Afiqah siap berangkat ke Tegal”.

Setelah dari Tegal, Afiqah, Uti, Tante Icut, Tante Uwik, Om Jefri naik kereta ke Surabaya. Afiqah lalu berujar “Afiqah siap melangkah ke Surabaya”. Dari Tegal/ Pemalang, mereka berangkat pakai kereta api. Pas kami telepon, Afiqah langsung lapor, “Naik keretanya kenceng banget. Suaranya wush wush wush..”. Ia menikmati sekali perjalan naik kereta api. “Enak,” katanya memberi testimoni naik kereta api.

Pertama kali naik KA

Pertama kali naik KA

Dari Surabaya, ia lalu berangkat lagi ke Lombok naik pesawat, menyambut adek Uti yang akan pulang dari haji tahun ini. Afiqah pun berujar, “Afiqah siap melangkah ke Lombok”. Sekarang posisinya, ia sedang di Lombok bersama Uti dan 2 tantenya yang cantik kayak itik. Afiqah sudah jalan-jalan ke Kuta-Lombok, Gili Trawangan, Senggigi, dan entah mana lagi. Kami tak sabar menanti dapat cerita apa dari pengalaman jalan-jalan si bocah cilik ini.

Afiqah di Lombok

Afiqah di Lombok

Wah, Afiqah udah seperti petualang saja. Ayah saja belum pernah ke Lombok, eh anaknya dah ke sono, keliling-keliling ke pantai nan indah. Semoga pengalaman Afiqah melangkah ke daerah manapun saat ini, bisa menjadi bekal yang kuat baginya ketika besar nanti untuk berpetualang lebih luas dan lebih jauh lagi menuju belahan dunia manapun dari alam semesta ciptaan Allah ini.

Afiqah siap melangkah keliling dunia… Amin!

Si Rambut "Medusa"

Si Rambut “Medusa”

Silaturrahim yang Memberi Energi

Sabtu Kelabu

Hari Sabtu lalu (8 Agustus 2015) adalah hari yang membahagiakan. Namun, sebelum hal membahagiakan itu tiba, kami diuji coba kesabaran terlebih dahulu.

Ceritanya, kami hendak pergi kondangan ke Gedung Smesco di Jakarta. Karena acaranya jam 11.00-13.00, maka kami putuskan berangkat pukul 10.30. Pas lihat di google maps, waktu tempuhnya sekitar 1 jam. Berarti jam 11.30 dah bisa sampai di lokasi.

Namun ternyata, ketika pas mau berangkat, cek lagi di google maps, waktu tempuh jadi 1 jam 43 menit. Pas sudah jalan lebih jauh lagi, ternyata makin menggila, lebih dari 2 jam. Ada gambar 5 kecelakaan di 5 titik berbeda di apps. Alamak. Udah terlanjur berangkat. Kami tetap paksakan berangkat dan bertekad sampai ke lokasi jam 13.00 paling pahit banget. Sekuat-kuatnya asa kami, begitu melihat kemacetan di sepanjang tol Jagorawi dan tol dalam kota, langsung jadi pesimis. Bahkan ketika keluar tol pun tetap macet. Macet is everywhere. Jakarta dan sekitarnya, sudah sangat tidak ramah lagi untuk penduduknya. Udah kebanyakan orang. Kemana-mana butuh 2-3 jam. Waktu banyak habis di jalan. Tua di jalanan ibukota. Betapa ruginya.

Akhirnya, kami sampai keluar dari tol dekat dari gedung Smesco sekitar pukul 13.15. Sudah lewat dari jadwal. Akhirnya kami memilih balik kanan, putar haluan menuju Pekayon-Bekasi. Terus terang, waktu yang terbuang, bahan bakar yang terbuang, tenaga nyupir yang terbuang, semua sia-sia. Dua jam 45 menit di jalan, untuk kemudian balik kanan grak. Amsyong.

Ketika perjalanan ke Pekayon-Bekasi, kami lewat tol. Suasana panas sekali. Afiqah mulai menangis. Mungkin ia lapar dan ngantuk. Suasana hati kami tidak enak. Aku dan Andin pun mulai kelaparan. Sudah 13.30 dan kami belum makan. Terjebak macet juga di tol. Kami keluar di tol Cikunir. Ternyata stuck. Lama sekali. Karena saya sudah kecapekan, pas ke Bekasi, Manda Andin yang nyetir. Lapar, haus, letih, berpadu jadi hal yang tidak nyaman buat kami di mobil. Ingin rasanya segera makan. Lapaaaarrr…

Begitu keluar dari jebakan macet, kami mencari tempat makan. Awalnya ada pilihan tempat makan Soto Kudus. Enak banget kebayangnya. Lagi capek, makan yang anget-anget. Tapi kemudian, mata tertuju pada sebuah restoran Padang yang besar dan megah. Letaknya ada di sebelah kanan jika kita baru keluar dari tol Cikunir. Namanya Sari Bundo.

Sabtu Ceria

Makan siang itu mengubah mood kami jadi lebih baik. Makanannya sangat enak sekali. Aku memilih makan dendeng kering balado dipisah, ayam panggang berbumbu. Andin makan dengan lahapnya. Afiqah juga ikut makan, meski sedikit. Ia belum siap makan makanan pedas. Agaknya ia masih rancu membedakan antara makanan pedas dan makanan berbumbu menyengat. Enaknya makanan di restoran Sari Bundo itu seperti membawa kita terbang ke Bukittinggi, dimasakin oleh ibunda tercinta. Semua bumbunya masih asli “Minangkabau” banget. Jadi kangen mama. I miss you mom.

Selesai makan siang yang sudah menjelang sore itu, kami melanjutkan perjalanan ke rumah Bu Siska dan Pak Yudhis. Di tengah jalan, Afiqah minta dibelikan cemilan. Ia juga harus ganti pampers. Tadi di restoran Afiqah harus ke toilet. Kebetulan stok cadangan di tas habis.

Menariknya, awal memilih pampers di rak minimarket, Afiqah memilih pampers bergambar bayi. Setelah saya lihat, ternyata ukurannya S. Wah, salah ambil nih. “Afiqah sudah besar, bukan ukuran ini buat kamu. Ini S buat bayi, nak…” ujarku. Susah membujuknya pindah ke ukuran L. Kami berdebat cukup alot. Penjaga minimarket menyimak perdebatan kami. Ia sudah tak sabar menunggu kami untuk segera discan belanjaannya lalu masuk ke tahapan pembayaran. “Kalau Afiqah tetap memaksa membeli, nanti pampers bayinya tidak terpakai, akan terbuang percuma,” kataku memberi penjelasan. Barulah ia mau berubah mengambil ukuran L. Tapi pas mau bayar, ia kembali lagi ke rak pampers. Ia ambil lagi yang pampers ukuran S untuk bayi.

“Afiqah buat apa beli yang untuk bayi?” tanyaku. Ternyata jawab Afiqah, “Mau kasih adek Kiarakuma…” Oalah, ternyata di balik tindakannya itu ada maksud lain. Ia ingin berbagi hadiah untuk Kiarakuma. Bawa oleh-oleh khusus untuk Adek Kiarakuma, cucu Bu Siska. “Satu buat Afiqah, satu buat Kiarakuma….” Ujar Afiqah sumringah nyengir kuda “tengil”.

Alhamdulillah, ternyata anakku ada rasa care-nya kepada orang lain. Ia tahu akan berkunjung ke rumah neneknya Kiarakuma, lalu ia ingin membawa buah tangan ala dia. Hadiahnya hanyalah sebuah bungkusan pampers berisi beberapa lembar, tapi sepertinya itu berarti banget buat Afiqah. That was so sweet, darling. Cubit gemes buatmu, nak. Afiqah memang sejak awal dulu sudah nyantol banget di top of mind-nya nama Kiarakuma. Entah dari sisi spelling, nama itu unik sekali, entah emang adek Kiarakumanya yang emang cantik banget, atau faktor apa…entahlah. Tapi yang jelas, kalau kami kasih tahu mau ke rumah Kiarakuma, ia penuh semangat. Jangan-jangan ini #KodeKeras dari Afiqah yang pengen dihadirkan adek kandung secantik Kiarakuma juga. #Eh

Inspirasi Bu Siska

Pas tiba di TKP, kami disambut bu Siska dengan semua keceriaan di wajahnya. Senangnya ketemu bu Siska dan Pak Yudhis karena dari sana kami bisa belajar banyak hal. Meski hanya dari obrolan ringan, tetap saja ada inspirasi baru atau ide-ide baru yang muncul dari obrolan tersebut.

Bu Siska menceritakan keajaiban lain dari Allah lewat tangan seorang bule Amerika yang menghibahkan mainan anaknya yang se-gambreng. Jadilah Batutis menerima hibah mainan edukatif yang sangat berlimpah. Rezeki anak soleh/ah banget deh pokoknya. Bayangkan, rumah si bule ini di Pondok Indah. Tahu sendiri kan sebesar apa standar rumah di sana? Jika rumahnya besar-besar, mainannya ga mungkin sedikit atau kecil-kecil. Kata bu Siska, “Kita seperti mindahin isi satu rumah…” karena saking banyaknya mainan yang dihibahkan. Afiqah berkesempatan mencoba salah satu permainan edukatif milik si om bule. Ternyata Afiqah sangat tertarik. Sayang tidak kita abadikan lewat foto. Permainannya sederhana, tapi konsep di balik permainan tersebut, ternyata ada pesan penting nan mahal dalam melatih kecerdasan anak. Permainan bongkar-pasang, yang lobangnya sangat presisi dan akurat, dengan eksplorasi kemampuan untuk identifikasi warna buat anak-anak.

Update cerita-cerita keajaiban begini dari Batutis, selalu menarik untuk didengar. Ada saja orang baik yang membantu Batutis. Cerita-cerita ini sama serunya dengan cerita Bu Siska yang pernah suatu ketika berdoa di dalam hati di depan ATM agar ada donatur yang menyumbang buat Batutis di saat masa-masa seret kala itu. Doa orang yang punya niat baik membantu kaum dhuafa, biasanya makbul, dengan cara-cara yang tak terduga-duga. Kalau orang tv bilang mah, cerita perjuangan Bu Siska dan tim Batutis itu penuh twist, gimmick, dan drama yang tak disangka-sangka. Selalu terharu mendengar cerita perjuangan tersebut. Kalau tahu perjuangan guru-guru Batutis, lebih “gila” lagi. Benar-benar berjuang. Berjuang dengan arti sebenarnya berjuang. Ini akan kita bahas di bab terpisah saja ya, karena panjang dan ber-bab-bab ceritanya.

Lanjut ke cerita semula….

“Saya tahu sekarang mengapa orang Amerika dengan kelas sosial menengah dan terdidik itu pintar-pintar…” ucap Bu Siska kepada saya dan Andin.

Dalam hati saya langsung penasaran, “Kenapa memangnya?” Apa rahasianya?” Rasa kepo tingkat tinggi saya menyeruak di sela-sela otakku sambil menebak-nebak.

Bu Siska melanjutkan penjelasannya. Hampir semua mainan yang dihibahkan itu, tak ada satupun mainan yang tidak edukatif. Semua ada meaning di balik permainannya. Singkatnya, mainan si bule dan keluarganya itu sangat lekat dengan pengembangan kecerdasan jamak. Sesuai dengan tahapan perkembangan anak yang ditetapkan di Metode Sentra.

Selama ini, mungkin kita selaku orangtua membelikan anak mainan dalam rangka membuat anak kita anteng, ga rese’, ndak nangis. Beda prinsip sama om bule Amrik itu. Semua permainannya sangat edukatif dan satu hal lagi, semua mainan diklasifikasikan sesuai dengan jenisnya. Misalnya boneka sama boneka, dan begitu seterusnya. Hanya orang yang sudah belajar Metode Sentra yang mengerti bahwa keluarga tersebut klasifikasinya kuat atau tidak. Mainannya semua terawat dengan baik. Itu juga jadi poin plus lainnya.

Kata bu Siska, seharusnya permainan untuk anak, harus ada nilai edukasinya. Orangtuanya harus tahu dulu apa fungsi permainan tersebut. Bagian kecerdasan anak yang mana yang dikembangkan lewat permainan tersebut? Mungkin terlihat rada rempong, tapi memang begitu seharusnya. Anda sebagai orangtuanya, harus tahu dulu apa manfaat mainan tersebut bagi anak. Orangtuanya bahkan harus tahu dulu bagaimana memainkan permainan tersebut secara benar. Bukan sekedar membelikan mobil-mobilan keren, tapi meaningnya entah apa. Ini bahan refleksi yang penting buat keluarga Indonesia dimanapun berada.

Update cerita lainnya yang tak kalah seru adalah ada seorang guru di Batutis yang sudah sempat berniat keluar dari Batutis, mencoba ngajar di sekolah lain, lalu ternyata tidak betah. Alhamdulillah guru tersebut balik lagi ke Batutis, siap berjuang bersama Batutis lagi.

Mengapa ia tak betah di sekolah lain? Kalau di Batutis, guru-guru harus punya konsep jelas sebelum musim ajaran baru dimulai. Guru sudah rapat bersama, kurikulumnya akan seperti apa, penjabaran konsep sampai tataran yang detail, sudah jelas. Seberapa jelas dan detailnya kurikulum di Batutis, nanti akan ditulis terpisah juga ya. Panjang soalnya.

Bedanya ketika ngajar di sekolah lain, guru tersebut merasa bahwa guru-guru di sekolah tempat barunya itu sama sekali tidak mengajar pakai hati. Tidak passionate istilah zaman orang kini. Mereke teng-go begitu bel berbunyi. Sementara jika di Batutis, begitu waktu pulang telah tiba, maka guru-guru melakukan refleksi terhadap apa yang sudah dijalani hari itu. Pelajaran apa yang didapat guru dari interaksinya dengan murid hari itu. Apa pengamatan terhadap individu muridnya, dicatat secara terperinci. Sehingga nanti saat dilakukan rekap, terlihat jelas perkembangan seorang anak/ siswa. Apakah ia improve, atau stagnan, atau ada aspek-aspek lain yang perlu perhatian khusus. Selain refleksi apa yang dijalani hari itu, guru di Batutis juga menyiapkan diri untuk lesson plan esok harinya. Mereka takut sekali jika tidak siap mengajar. Tidak siap mengajar, akan “dilumat” oleh anak didiknya yang kritis-kritis dalam bertanya dan berlogika. Anak Batutis seperti lagu Afgan, “sadis” dalam hal critical thinking.

Menilik kasus guru Batutis yang comeback ini, kalau bahasa saya, guru yang dah biasa mengenal Metode Sentra dalam pengajarannya, lalu masuk ke sekolah konvensional, ia akan merasa gamang. Terbiasa bermain dengan hal yang complicated, terkonsep, terperinci, impactful, lalu tiba-tiba masuk ke sistem yang tanpa strategi, loose begitu saja. Rasanya hambar. Biasa naik Ferrari yang mesinnya halus, lalu harus naik angkot yang njut-njutan. Tentu tidak nyaman. “Itu bukan gw banget” kira-kira begitu yang dirasakan guru yang comeback lagi ke Batutis itu.

Pertimbangan lain, di Batutis, setiap guru mempunyai hak khusus bahwa anaknya gratis bersekolah. Bayangkan, anak guru saja diperhatikan. Kalau di sekolah biasa, mungkin anak guru tidak terperhatikan. Urusan pribadi si guru tersebut. Batutis sangat concern dengan kualitas hidup guru dan keluarganya. Masa sih gurunya mendidik anak orang sampai pintar, tapi anaknya sendiri malah ga dibikin pintar? Rugi, bukan? Makanya, di Batutis banyak keuntungan yang sifatnya non-materi yang nilainya sangat mahal dan tak bisa digantikan dengan uang. Itu pembeda Batutis dengan sekolah konvensional pada umumnya.

Inspirasi Pak Yudhis

Kalau tadi kita udah dengar update cerita inspiratif dari Bu Siska, sekarang giliran Pak Yudhistira Massardi. Ternyata beliau tak kalah inspiratif. Beliau bilang ada rencana launching buku terbarunya 99 Sajak, di hari Rabu, 19 Agustus 2015, jam 19:00-21:00 di Galeri Indonesia Kaya (sebelah bioskop Blitz) di Mal Grand Indonesia (belakang Hotel Indonesia, Jakarta Pusat).

Ternyata, Pak Yudhis bangkit dari tidurnya. Ia merasa risih karena sudah lama juga tidak berkarya yang benar-benar serius. Beliau dulu terkenal dengan Novel Trilogi Arjuna Mencari Cinta, dan Sajak Sikat Gigi. Kali ini, ia menantang dirinya kembali, untuk berkarya serius. Akhirnya, dalam beberapa bulan ini, setiap harinya beliau membuat sajak dengan total jumlahnya 99 buah secara tematik. Setiap tema terdiri dari 9 sajak. Jadilah ada 11 tema sajak di dalam buku yang diberi judul 99 Sajak tersebut.

Pak Yudhis mengajarkan kepada saya secara tidak langsung, agar jangan mengisi hidup biasa-biasa saja. Kadang, kita perlu sedikit mendorong diri kita untuk berkarya yang serius. Rasanya sudah lama saya tak melakukan hal yang luar biasa, menantang diri sendiri, menaklukkan keinginan baik yang masih terpendam. Sejak aktif menulis lagi, sebenarnya pola “memaksa diri untuk berkarya-berprestasi” sudah muncul. Misalnya waktu itu, bisa sukses umroh dengan niatnya datang dari saat makan di warung padang, bisa nikah dengan modal tekad-nekat-dan proses cepat, menang di lomba-lomba kompetisi nulis blog, dan lain sebagainya. Rasanya sudah lama tidak menyetting proyek ambisius pribadi lagi. Sudah ada sebenarnya, tapi masih di tahap awal. Nanti dituliskan juga jika sudah mulai dieksekusi.

Pak Yudhis mendisiplinkan dirinya untuk menulis setiap hari. Bayangkan, setiap hari! Lalu agar tulisan tidak sekedar tulisan, ia memaksa diri untuk menjadikannya buku. Lalu tak puas di sana, buku bukan sekedar buku. Buku harus ada nilai lebihnya. Akhirnya ia minta tolong rekannya untuk kolaborasi membuat ilustrasi bagi 99 sajak yang dibuatnya. Jadi akan ada interpretasi berupa ilustrasi dari tiap sajak. Menarik sekali. Lalu, jika diterbitkan sendiri, mungkin butuh modal yang tidak sedikit. Lalu ia cari-cari link lewat teman ke penerbit mana yang bisa menerbitkan buku dengan konsep antologi sajak tersebut. Ternyata, penerbit besar Gramedia bersedia mencetak bukunya. Luar biasa. Waktunya sangat singkat. Baru selesai pengiriman naskah pas Ramadan kemaren. Seminggu setelahnya, Gramedia bilang sudah ok dan siap naik cetak. Pemberi komentar di bukunya pun bukan main-main, ada Goenawan Mohamad dan Radhar Panca Dahana. Nama terakhir adalah penulis kolom opini favorit saya sejak kuliah dulu. Ia juga ngajar di Sosiologi UI.

Lalu Pak Yudhis bertekad juga agar launching buku bukan sekedar launching biasa, harus catchy tingkat tinggi. Akhirnya setelah berjuang tanya sana-sini, menghidupkan jaringan sosial yang ia punya, dapat tempat launching di daerah elit nan prestisius, Galeri Indonesia Kaya (sebelah bioskop Blitz) di Mal Grand Indonesia (belakang Hotel Indonesia, Jakarta Pusat). Lalu agar launching buku tak sekedar launching buku, maka launching buku kali ini terasa spesial karena Pak Yudhis akan membacakan langsung 99 sajak yang ia buat. Untuk itu, ia rutin berlatih fisik dari hari ke hari agar fit di hari-H nanti. Sebagai variasi, ia juga mengajak kolaborasi beberapa artis ternama untuk tampil juga. Diantaranya adalah Renny Djajoesman dan Yuka Mandiri, Noorca M. Massardi  serta, Adhie M. Massardi. Wah, diboyong semua keluarga Massardi nih. Biar ndak monoton, ada juga kolaborasi Pak Yudhis dengan para pemusik muda:  Iga Massardi, Gerald Situmorang, Kartika Jahja dan Matatiya Taya. Dibantu olah visual/grafis karya desainer Risa Kumalasita dan Ario Kiswinar Teguh.

Cukup ngos-ngosan juga saya menceritakan hal ini ya. Saya nulis ini hanya dalam waktu 2 jam di pagi hari. Sekali nulis, tak bisa berhenti, sehabis nyeruput Chocofaza—cokelat premium hasil beli dari Mbak Mona Anggiani–

Tapi, dari cerita pak Yudhis itu, kita bisa ambil inspirasi. Pak Yudhis yang sudah berumur 61 tahun, semangatnya masih menggebu-gebu dalam berkarya. Kenekatannya seperti anak muda umur 16 tahun. Ia “tabrak” semua ketidakmungkinan, mengubahnya menjadi mungkin. Ia memaksakan diri mengisi hidup ini penuh makna. Hidup hanya sekali, mengapa tak berkarya yang bagus sekalian? Mengapa nanggung? Ia mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya, menghidupkan semua harapan dan kemungkinan dan relasi sosialnya untuk meng-goal-kan impiannya. Itu benar-benar arti sebenarnya dari perjuangan hidup. Pak Yudhis secara tidak langsung, sedang mengajarkan kepada kita bahwa untuk mewujudkan impian, kita perlu hidupkan tombol-tombol kecerdasan jamak kita: logika-matematika, linguistik, spasial, musikal, kinestetik tubuh, interpersonal, intrapersonal, naturalistik. Selanjutnya, silakan saksikan keajaiban setelahnya.

Dalam perspektif yang lebih makro, Pak Yudhis memprovokasi kita–khususnya saya—untuk bertanya pada diri sendiri: “Apa sih yang tidak mungkin diwujudkan dalam hidup ini? Asalkan engkau mau….semua bisa diwujudkan dengan niat, tekad, kerja keras, kerja cerdas, serta doa.” Masalahnya, dirimu mau ga? Harus jawab itu dulu.

Terima kasih Pak Yudhis. Terima kasih Bu Siska. Atas semua inspirasi yang saya dan Andin dapatkan dari hasil silaturrahim kemaren. Terima kasih sudah mengubah Sabtu Kelabu kami menjadi Sabtu Ceria. Mood kami benar-benar berubah, bahkan hingga tiba di rumah, rasanya adrenalin kami meningkat, menggebu-gebu. Kami diskusi ala orang besar (lanjut mendiskusikan ide-ide besar). Ini benar-benar silaturrahim yang memberi energi! Energi terbarukan!

Untuk Anda yang ingin hadir di launching buku Pak Yudhistira Massardi, sila simak undangan berikut:

UNDANGAN Peluncuran Buku & Pentas Pembacaan “99 Sajak” karya Yudhistira ANM Massardi, 19 Agustus 2015

PRESS RELEASE/UNDANGAN 

Dengan hormat, kami mengundang Anda untuk menghadiri acara:

Peluncuran Buku & Pentas Pembacaan “99 Sajak” karya Yudhistira ANM Massardi

Tempat: Galeri Indonesia Kaya (sebelah bioskop Blitz) di Mal Grand Indonesia (belakang Hotel Indonesia, Jakarta Pusat)

Waktu: Rabu, 19 Agustus 2015, pukul 19.00-21.00.

Gratis untuk umum (tempat terbatas). Registrasi di www.indonesiakaya.com/galeri-indonesia-kaya/kegiatan.

Setelah fokus selama 10 tahun mengelola sekolah gratis untuk kaum dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi di Bekasi, sekaligus mengampanyekan proses belajar-mengajar dengan Metode Sentra untuk jenjang pendidikan anak usia dini, kini Yudhistira ANM Massardi kembali ke dunia sastra. Langkah ini ditandai dengan penerbitan buku sekaligus peluncuran dan pentas pembacaan puisi-puisinya yang terbaru: 99 Sajak, yang diterbitkan oleh Gramedia (Tebal 250 halaman.  Harga Rp 50.000).

99 Sajak merupakan kumpulan puisi yang ditulis secara tematik. Ada 11 tema yang dipilih penyair. Setiap tema dieksplorasi dan diungkapkan dalam sembilan sajak. Semuanya ditulis dalam periode tiga bulan yang penuh gairah kreatif (Maret, April, Mei), sekaligus sebagai penanda ulangtahunnya yang ke-61 pada 28 Februari lalu.

Buku antologi  99 Sajak  ini dikemas sebagai karya kolaborasi visual dengan perupa Ramadhan Bouqie, yang menampilkan 99 karya ilustrasinya sebagai hasil “dialog” dengan 99 sajak.

Adapun acara peluncuran buku dan pentas pembacaan puisi diselenggarakan di

Gedung Galeri Indonesia Kaya (samping bioskop Blitz) di Mal Grand Indonesia (belakang Hotel Indonesia, Jakarta Pusat) pada hari Rabu, 19 Agustus 2015, pukul 19.00-21.00. Pertunjukan itu gratis dan terbuka untuk umum (dengan registrasi terlebih dahulu di www.indonesiakaya.com/galeri-indonesia-kaya/kegiatan).

Pentas pembacaan puisi itu juga merupakan hajatan kolaborasi dengan para pemusik muda:  Iga Massardi, Gerald Situmorang, Kartika Jahja dan Matatiya Taya. Dibantu olah visual/grafis karya desainer Risa Kumalasita dan Ario Kiswinar Teguh.

Tampil sebagai pembaca puisi, selain penyairnya sendiri, adalah aktris Renny Djajoesman dan Yuka Mandiri, Noorca M. Massardi  serta, Adhie M. Massardi.  Produksi: Kafka Dikara (☆)

 

KOMENTAR

GOENAWAN MOHAMAD, Penyair:

Setelah hampir empat dasawarsa yang lalu saya terpikat dengan Arjuna Mencari Cinta I,  saya merasakan kesegaran yang pulih kembali dalam sejumlah sajak-sajak dalam buku ini.  Yudhis tak menunjukkan gejala yang sering tampak pada sastrawan yang bertambah usia: puisinya tak amat ingin berpetuah, atau jadi nyinyir, karena merasa sudah begitu arif dan alim berkat pengalaman. Saya tak merasakan di dalamnya ada  ambisi besar untuk  bermanfaat dan jadi bimbingan.

Sajak-sajak ini memang lebih kalem, tapi masih sering bergurau, mungkin genit, mungkin nakal.

Pemandangan kota  sehari-hari, percakapan sehari-hari, di bait-baitnya tak terasa meletihkan, karena diungkapkan seakan-akan oleh seseorang yang baru menemui dunia dan merasa geli atau terpesona dan tak merasa berdosa.

Dalam pengantarnya, dengan kena  Radhar Panca Dahana membandingkan sajak-sajak ini dengan puisi Joko Pinurbo, meskipun yang terakhir ini datang setelah Yudhis, dan dalam banyak hal lebih “lugu” dan tanpa pretensi. Pada sajak-sajak ini, tulis Radhar, ada “kenakalan logika yang sering mengundang makna tambahan”. Atau semacam “satu patahan”, baik dalam gaya bahasa, rima sajak dan juga “pemikiran atau renungan di dalamnya.”[] Produksi: Kafka Dikara, dikutip dari note laman Facebook Yudhistira Massardi.

 

Afiqah Mau Berbagi

Akhir-akhir ini aku suka geleng-geleng kepala karena Afiqah. Ia mengalami tantrum yang kita belum temukan solusi tepat untuk meredam atau mengatasinya secara tuntas. Sampai akhirnya ketika pembagian raport Toddler di Sekolah Batutis, kami diberikan pencerahan yang luar biasa banyak dari guru Afiqah. Nama bu gurunya adalah Bu Nur. Beliau sangat klik dengan Afiqah. Ia sudah mendapatkan trust dari Afiqah. Jadi, ketika komunikasi, seperti tidak ada barrier diantara mereka.

Salah satu sikap tantrum yang cukup mengganggu dari Afiqah adalah saat ia ngamuk-ngamuk selalu mengatakan hal berbeda dari yang sebaiknya dilakukan oleh orang normal/ awam. Ia sedang dalam fase selalu mengatakan hal negatif alias kebalikan dari yang disarankan. Misalnya, “Berbagi lebih baik…” lalu Afiqah akan menjawab, “Afiqah gak mau berbagi…” atau dengan kalimat lain, “Afiqah belum siap berbagi terus-terus…”

Kalau dari kacamata orang awam, mungkin Afiqah akan diberi label “anak yang kurang sopan” atau “kurang diajari”. Maklum, jika ia tak mau salaman dengan orangtua yang ia temui, atau secara spontan dan lantang bilang “tak mau berbagi”, tentu akan ada dahi yang mengernyit melihat sikap anak kecil seperti itu. Jadi, kami harus meluaskan dan melapangkan hati kami. Kami harus yakin bahwa anak kami bukannya tidak mau berbagi, tapi ia memang sedang dalam fase selalu bertolak belakang dari apa yang diucapkan lawan bicaranya.

Tips dari Bu Nur

Setelah puyeng mencari solusi bagaimana mengatasi kekeuh-nya Afiqah untuk selalu berkata berkebalikan dari lawan bicaranya, maka akhirnya dapat juga tips dari Bu Nur, gurunya Afiqah. Beliau menyarankan kepada saya dan Andin untuk tidak perlu panik. Jika ingin mengubah sikap Afiqah, tidak perlu berkata-kata ini dan itu. Cukup berikan contoh, maka Afiqah akan berpikir, dan ia akan mengikuti sesuai teladan yang diberikan.

Wah, terdengar begitu idealis dan mungkin nyaris utopis itu nasehat bu Nur. Itu seperti pelajaran-pelajaran PPKN di sekolahan. Seperti melakukan hal baik yang normatif. “Rasanya tak mungkin,” ujarku dalam hati. Masa sih tanpa diomongin, dan hanya memberi contoh, kita bisa mengubah tabiat tantrum Afiqah? Tapi karena yang berbicara dan memberi masukan adalah guru Afiqah yang selalu berinteraksi dengan Afiqah di weekdays, dan kami percaya padanya, maka saya dan Andin pun mengatur strategi, bagaimana biar Afiqah ini bisa berubah sedikit demi sedikit. Terutama saat ia kena tantrum. Jangan sampai selalu saja hal negatif yang ia ungkapkan.

Praktek Tips

Sebelumnya, kami ingin menjelaskan bagaimana kondisi Afiqah saat ini. Saat ini dia selalu bilang, “Afiqah gak mau berbagi”. Ia ada di fase sebagai “raja yang egois tingkat tinggi”. Serba “Aku sendiri” deh pokoknya. Kalau dibantu, malah marah. Kalau gak dibantu, bakal butuh waktu lama dan dia kesal sendiri, lalu akhirnya nangis. Misalnya saja ketika membuka kancing baju. Itu hal yang sedang digandrunginya. Beli baju atau memakai baju hanya mau yang berkancing.

Afiqah Mau Berbagi

Afiqah Mau Berbagi

Maka kami pun menyiapkan beberapa action plan sebagai implementasi dari strategi mengubah Afiqah. Pertama, kami menyiapkan niat dulu. Niat kami adalah mengubah agar Afiqah mau berbagi. Kami ingin menetapkan kampanye untuk mengubah prinsip Afiqah yang “tak mau berbagi” jadi “mau berbagi”. Pilihan timing-nya adalah saat ada rencana pulang ke Pemalang di akhir pekan. Rencananya kami ingin berbagi pakaian yang masih bagus, tapi sudah tidak muat di perut/ lingkaran perut. Itu yang akan kami bagikan kepada orang yang membutuhkan.

Kedua, bagaimana caranya? Kami harus memberi contoh kepadanya, tak perlu kata-kata direct yang kesannya menasehati seperti seorang ustadz menceramahi jemaah. Kami berdua –saya dan Andin—sepakat untuk membongkar lemari pakaian kami, lalu melakukan klasifikasi mana pakaian yang akan tetap kami keep, mana yang akan kami bagikan kepada orang yang membutuhkan di kampung mertua di Pemalang. Waktu itu sebenarnya Afiqah masih tidur. Tapi kami sisakan ada beberapa pakaian agar aksi bongkar lemari ini bisa dilihat oleh Afiqah lewat mata kepalanya sendiri. Jadi tidak based on “katanya…..” atau perintah langsung ke anak. Kami ingin memberikan contoh lewat aksi nyata, bukan retorika.

Ketiga, eksekusi. Ketika Afiqah bangun tidur, kami ajak ia datang ke kamar di bagian belakang rumah. Saat itu kami sedang sibuk-sibuknya menyusun dan memilah-milih baju mana yang harus disimpan mana yang harus dibagi kepada orang yang membutuhkan.

Afiqah celingak-celinguk. Ia heran melihat tumpukan pakaian yang banyak berserakan di kasur. Kami hanya mengamati saja tingkah Afiqah. Nyawanya belum menyatu betul dengan badan. Masih mengusap-usap mata. Tak berapa lama ia bertanya, “Kenapa bajunya ditaruh di sini?”

Nah, dalam hati aku berkata, “Wah, umpan mulai dimakan nih ama Afiqah…sip banget”

Kami menjelaskan dengan santai dan seolah ini adalah hal yang biasa dilakukan. “Oh, pak Ading dan Manda Andin mau berbagi pakaian yang masih bagus buat tetangga Akung di kampong di Pemalang.”

“Afiqah ga mau berbagi terus-terus….!” Ucapnya merespon.

Oke. Ga apa-apa. Respon yang sudah kami tebak sebelumnya. Kami pun lalu tetap melanjutkan proses pemilihan baju-baju yang akan disumbangkan. Kami tak terganggu dengan respon Afiqah. Manda Andin merespon, “Oh, Afiqah belum mau berbagi. Tidak apa-apa. Manda sama Pak Ading tetap mau berbagi kok.”

Afiqah dengan wajah tengilnya tetap tidak mau berbagi. Ia belum siap. Kami pun tetap melanjutkan aktivitas bongkar lemari dan pilah-pilih pakaian yang masih bagus. Kata hadist, berikanlah barang yang kau cintai untuk diberikan kepada orang lain. Di sanalah konsep keikhlasan diuji. Rela gak ngasih barang terbaik yang kita punya?

Tengil Dikit

Tengil Dikit

Manda Andin bolak-balik dari satu kamar ke kamar lain, mencari pakaian yang masih bagus. Setelah 10 menit berlalu, Afiqah mulai bertanya. “Kenapa bajunya dikasih ke orang manda?”

Manda Andin secara brilian menjelaskan, “Di kampung Akung di Pemalang itu dingin. Banyak adik kecil yang kedinginan di sana. Jadi mereka butuh baju.”

Ini penjelasan yang sangat pas, tepat, cucok.

Apa respon Afiqah? Ternyata ucapan Manda Andin itu langsung kena di hati Afiqah. Nyangkut. Instalasi alasan “why” ini berdampak sangat positif. Seketika itu juga ia langsung berubah dari “tidak mau berbagi”, jadi mulai terbuka untuk “mau berbagi”.

Afiqah mulai membuka laci pakaiannya. Ia mencari baju bayi yang sudah sempit, untuk diberikan kepada adik bayi di kampung Akung. Ia lalu meletakkan satu baju itu ke kardus yang kita sudah siapkan. Kami seperti coach yang memancing lagi agar coachee-nya menemukan sendiri jawaban kenapa kita “harus berbagi”.

Afiqah tidak puas dengan hanya memberi satu baju. Sementara itu, kami tetap masih sibuk mengumpulkan lagi baju yang bisa disumbangkan. Afiqah mulai membuka lagi laci pakaiannya. Ia ambil lagi baju lainnya, lalu ditaruh di kardus lagi. Sampai akhirnya, ia mengumpulkan cukup banyak baju.

Kami iseng nanya, “Kenapa Afiqah mau ngasih bajunya?” Ia lalu menjawab, “Afiqah mau berbagi untuk adik bayi, kasihan kedinginan.”

“Alhamdulillah, Afiqah sudah mau berbagi sekarang….” Ternyata untuk menyentuh hati seorang anak kecil yang egonya sedang tinggi banget ke-AKU-annya, tidak terlalu sulit. Rumusnya, cukup beri contoh tindakan secara persistence, lalu suntikkan alasan “WHY” yang tepat dari balik suatu tindakan, lalu lihat reaksi dari dirinya. Jika tepat, hasilnya akan luar biasa. Alhamdulillah.

Hasil dari bongkar lemari pakaian adalah 3 kardus. Dua diantaranya kardus kecil, dan satu kardus besar. Rasanya senang bisa melepaskan barang-barang yang kita cintai. Saya membayangkan, jika tiap keluarga melakukan hal yang sama, membongkar barang-barang yang tak lagi mereka gunakan, namun kualitasnya masih bagus, tentu akan sangat membantu keluarga lain yang membutuhkan.

Penutup

Buat orangtua yang sedang kesulitan menaklukkan anaknya yang sedang egois, silakan coba tips dari guru Afiqah di atas. Untuk mengubah perilaku dan prinsip seseorang, kita tidak harus ceramah berbusa-busa. Cara terbaik adalah memberikan teladan secara tulus. Lalu lihat keajaiban darinya.

Terima kasih Bu Nur, terima kasih Bu Siska, Pak Yudhis, dan semua guru Batutis yang keren-keren dalam berjuang mempraktekkan Metode Sentra untuk membangun karakter anak. Makin banyak bukti bahwa metode ini memanusiakan manusia (khususnya anak) dan mudah dipraktekkan di rumah karena si anak sudah punya SOP yang rapi di dalam sikapnya. Ketika Afiqah menemukan alasan yang tepat (why) atas lahirnya suatu tindakan, maka tidak sulit mengarahkannya ke jalan kebaikan. Rasa empatiknya yang sudah dibangun di sekolah, jadi modal dasar yang sangat kami syukuri. Hidup rasanya menjadi lebih mudah beberapa tingkat. 🙂

Bagaimanakah aksi Afiqah ketika bertemu dengan anak-anak di kampung di Pemalang, tepatnya di kaki gunung Slamet? Apakah ia mampu persistence menyelesaikan misinya berbagi pakaian dengan adik bayi yang kedinginan? Nantikan kelanjutan ceritanya di part 2.

Sila baca buku Metode Sentra sebagai referensi membangun karakter anak:

Buku Pemantik Kecerdasan Jamak

childhoodoptimizer

"Optimalkan masa kecil anak, agar hidupnya selamat, kelak!"

One's Blog

Ucapan berhamburan - Tulisan akan bertahan

Ollie dan Dunianya

"I read, I travel, and I become"

penjelajahmimpi

Terus menjelajahi mimpi, karena semua berawal dari sini

Chae's Blog

Life begins at the end of your comfort zone

Muhammad Jhovy Rahadyan

Be The Best Of Ourself

Ardisaz

Game Development and Game Industry news in Indonesia

Kiki Barkiah

Ummi diary

Fitri Ariyanti's Blog

Mengolah Rasa, Menebar Makna

DIENG PLATEAU

PARADISE OF CENTRAL JAVA

Febri Photography

Kadang keindahan diawali oleh kegilaan

dinysullivan92

This Is My Life

Tentang Hidup

Hidup sekali, Hiduplah yang berarti..

Seorang Pemuda Pendamba Ridho Ilahi

Pecinta Dzikir dalam Alunan Fikir

Seni Hidup

=Ketidaksempurnaan Itu Cantik=

Story of Jingga

Biarlah tertulis apa adanya

literasi . seni . lestari

untaian patahan kata bertaut menjadi narasi beresensi

direizz

Just another WordPress.com site

Komunitas Ngejah

Desa Sukawangi - Kec Singajaya - Kab Garut

sihaik

This WordPress.com site is the bee's knees

Azinuddinikrh's Blog

barangkali kau benar, hanya malaikat dan gemericik air lah yang dapat membawaku pergi berlalu

rumah matahari

"sebab tiap kata adalah rumah doa, maka semoga hanya ruh kebaikan yang menjadi penghuninya."

Ayunda Damai

- a bibliophile & learner

Kicau Kaki

Melangkah, memotret, menulis

serbaserbitoyota

information & news

Scientia Afifah

bacalah, dan bertumbuhlah!

Yanto Musthofa

Pengabdian pada bangsa, dedikasi pada profesi, dan segala pikiran serta pengalaman kehidupan adalah harta pusaka yang hilang bila tidak diabadikan. Jangan sia-siakan. Lestarikan dan wariskan dalam buku!

nimadesriandani

Balanced life, a journey for happiness site

Rindrianie's Blog

Just being me

rizasaputra

tempat kuring ngacapruk

Moh Darodjat

Muhammadiyah Gerakanku

Ruli Blogger

Wordpress.com

Faiz' Journey

Mushonnifun Faiz Sugihartanto's Journey

JaTiara

Menulis itu soal rasa bukan hanya tentang tata bahasa

Imaji Tiada Batas!

Hidup sederhana, berkarya luar biasa.

Ridwanologi

Ruang Pandang Ridwan Aji Budi Prasetyo

unspoken mind

if you can't tell, just write

Arip Yeuh!

Harimau berburu, burung terbang, dan protagonis kita ini terus menggerutu

jemari anneo

"LEPASKAN YANG RAGU, GENGGAM YANG PASTI".

RGS no tsubuyaki

dengan semangat Bangun Indonesia!

just a treasure

jika kau bertanya apa hartaku yang paling 'berharga', maka kau sudah menemukannya. :)

Penyukajalanjalan

Jelajahi dunia selagi bisa

Mirna's Blog

My Life, My Story