Pulang Kampung
“Anakku, lebaran ini pulang kan?” tanya mama manja.
“Insya Allah ma. Tapi lagi lihat-lihat tiket, harganya masih mahal sekarang. Nanti aja aad cari yang murah dulu,” jawabku sekenanya.
“Pulang ya nak. Ga apa-apa mahal, biar mama yang bayarin tiketnya,” balas mama.
Sontak aku tersadar. Langsung menancap ke hati. Ya Allah, kok mama sampai bela-belain pengen bayarin tiket pesawatku agar aku mau pulang kampung saat lebaran?
“Eh, ga usah ma. Simpan aja duit mama. Nanti segera aad booking kok tiketnya. Tenang aja ma. Pastii pulang kok.”
Percakapan via telpon itu lalu aku lanjutkan dengan update kabar & kondisi mama. Kami terbiasa saling curhat via telpon. Aku mafhum mama sedang sibuk-sibuknya. Jika tak ada aral melintang, Mama dan Papaku akan berangkat haji tahun ini. Mereka sibuk manasik, persiapan fisik dan mental jelang berangkat ke tanah suci. Kesibukan mama semakin menjadi karena harus bolak-balik kota Duri-Bukittinggi. Rumah keluarga kami di Duri-Riau. Rumah nenek di Bukittinggi-Sumatera Barat. Mama harus menjaga nenekku yang sudah tua renta. Sulitnya lagi, nenek hanya mau dirawat dan ditemani oleh mamku seorang, tak mau dengan yang lain. FYI, Jarak tempuh Bukittinggi-Duri sekitar 12 jam. Terbayanglah kalau bolak-balik tiap minggu. Capek. Makanya aku begitu khawatir dengan kesehatan mama.
Aku yang muda saja, ketika umroh hanya 11 hari, sudah kewalahan menjaga kondisi tubuh di Mekkah. Apalagi mama yang lebih tua dan akan menjalani haji dengan durasi hampir 1 bulan. Aku khawatir dengan kebugaran tubuhnya ketika haji nanti. Jika tidak dijaga dan disiapkan dari sekarang, khawatir drop nanti ketika sampai waktunya berangkat haji. Itu yang menjadi concern-ku. Tapi mama tetap gigih merawat nenek. Katanya, “Siapa lagi yang mau merawat selain mama?” Beliau tak punya pilihan. Alhamdulillah Papa cukup paham dan pengertian untuk hal ini. Ia rela dan tak banyak komplain soal mama yang sering bolak-balik Duri-Bukittinggi.
Merantau
Kembali ke percakapan di awal dengan mama. Aku paham betapa kerinduan mama padaku begitu besar. Ini seperti jeritan hati terdalam seorang ibu. Aku sudah jadi anak rantau sejak berumur 12 tahun, begitu lulus SD. Tepatnya 17 Juli 1996 aku mulai masuk ke sekolah baru di Solo-Jawa Tengah. Kini umurku 27 tahun. Praktis, Sudah 15 tahun lebih aku hidup terpisah dari mama. Bukan waktu yang singkat. Lebih dari setengah umurku kuhabiskan di rantau. Jikapun pulang, paling saat lebaran. Durasinya pun tak lama.
Sejak kerja di RCTI, dua kali aku tak pulang saat momen lebaran. Pertama benar-benar tak pulang sama sekali. Itu terjadi saat tahun pertama bekerja di RCTI. Maklum belum dapat jatah cuti. Yang kedua, tahun lalu, ketika memutuskan pulang kampung setelah lebaran berakhir. Meskipun pulang, tapi rasanya euforianya terasa hambar. Sudah tidak ada nuansa lebaran di kampung saat itu.
Tahun lalu, aku memutuskan pulang setelah lebaran dengan harapan mendapat tiket murah, sekitar Rp 400 ribuan untuk sekali jalan. Alhamdulillah dapat tiket murah dari Batavia. Saat itu aku berpikir sangat rasional. Jika pulang sebelum lebaran, tiketnya berharga Rp 1 juta ke atas. Beda jauh dengan sehari setelah lebaran yang sudah jatuh ke angka Rp 400 ribuan. Lumayan kan, uang selisihnya bisa dikasih ke mama. Saat itu, aku pakai nalar untung-rugi. Namun ternyata, aku salah. Orangtua tak butuh uang dari anaknya. Yang ia butuhkan adalah anaknya hadir di sampingnya, di saat momen yang tepat. Bahkan untuk itu, ia rela kehilangan uang, berapapun asal orang yang dikasihinya hadir menemani di sampingnya. Pagi hari di lebaran pertama, mama menelponku, bertanya apakah aku sudah sarapan pagi atau belum. Aku menjawab, “Belum makan apa-apa, karena tidak ada warung yang buka.” Mungkin jawabanku itu yang membuat mama sedih, khawatir dengan kondisi anaknya. Tak ada family di Jakarta, sebatang kara merayakan hari raya.
Saat aku ditelpon beberapa minggu lalu, aku sadar. Aku tak mau mama sedih lagi karena aku terpisah darinya saat momen bahagia, hari puncak lebaran. Kebersamaan keluarga kami kurang lengkap tanpa kehadiran salah satu anaknya.
Kami keluarga besar. Mama-Papa punya 5 anak. Semuanya perantau. Abangku yang paling besar, Ilham Kurniawan, sejak SMA sudah sekolah di SMA 2 Bandung. Kemudian ia masuk ITB Jurusan Mesin. Aku mungkin yang paling lama. Lulus SD, langsung dioper ke Solo (Assalaam), lalu pindah ke Serpong-Tangerang (Insan Cendekia), dan terakhir Depok (Sosiologi-UI). Adikku, Rima Muliani, juga merantau sejak lulus SD. Ia masuk pesantren di Baabussalam-Pekanbaru. Ia juga mengadu nasib ke Universitas Indonesia-Depok Fakultas Kesehatan Masyarakat. Adikku lainnya, Fazlurrahman merantau juga ke Bandung, di Itenas jurusan Teknik Industri. Sedangkan si bontot Rafiqa Rahim juga sedang berjuang selepas lulus SMA. Ia baru diterima di STT Telkom Bandung dan Teknik Kimia UNRI. Praktis, kami berlima adalah perantau sejati.
Merantau adalah ide dari papaku. Ia punya visi agar anaknya mendapatkan pendidikan yang layak dan berstandar tinggi. Maklum, di daerah seperti Riau, saat itu belum ada sekolah yang sesuai dengan visi dan misi yang papaku punya. Meski daerah kaya minyak, untuk urusan pendidikan, Riau belum bisa dijadikan patokan tingkat tinggi. Akibatnya, papaku “mengekspor” anaknya sekolah ke luar kota, dengan perhitungan yang sangat matang, yang tentunya beresiko tinggi untuk perekonomian keluarga. Keluarga kami harus irit dalam segala hal waktu itu. Aku ingat, pendidikan dijadikan investasi utama oleh papa. Meski papa bekerja di institusi yang bonafid, tapi ia merintis karirnya dari level “sudra”. Di awal karirnya ia adalah kenek untuk departemen transportasi. Jadi, kehidupan kami sangat sederhana sekali waktu masih kecil. Papa telaten, loyal, dan selalu memegang prinsip “Biasakanlah yang benar, jangan benarkan kebiasaan”. Prinsip ini menjadi taglineku, dan tagline pribadi abangku juga. Tak heran, Papa kurang disukai teman-teman kerjanya karena tidak bisa diajak kongkalikong. Ia selalu pulang kerja lebih lambat dari temannya. Kadang aku kesal juga. Waktu SD, aku pergi dan pulang sekolah bersama Papa. Ketika pulang, aku selalu menunggu papa keluar kantor lebih lama dari temannya. Belakangan, ketika aku sudah bekerja mencari uang sendiri, aku baru tahu, itulah yang dinamakan loyalitas & totalitas dalam bekerja. Ketika teman-teman papa yang lain sudah naik pangkat, ia masih ada di posisi yang sama hanya karena temannya itu akrab dengan atasannya dan ada relasi kesukuan diantara mereka. Padahal, papaku hampir sering menyabet prediket best performance. Tapi karena bahasa Inggrisnya agak gagap, maka ia hampir selalu dikesampingkan. Rasanya janggal, tapi itulah kenyataan pahit hidup yang harus dihadapi. Papa tak mau ambil pusing soal kenaikan pangkat itu.
Kembali ke laptop..
Kalau ingat pertama kali pisah dari mama jadi sedih. Waktu itu aku masih sangat kecil. Aku didaftarkan ke Assalaam Solo. Ketika berangkat, memang tak terasa kehilangan sosok mama. Namun, begitu melewati sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, sebulan, proses itu rasanya sangat menyakitkan, jauh dari orangtua kita, terutama mama.
Let me tell you my secret. Di bulan pertama aku di Assalaam, aku kerap menangis, tanpa diketahui orang banyak. Aku sekamar dengan puluhan orang. Ada satu teman kamarku yang rumahnya dekat dengan sekolah. Lalu ia dijenguk oleh ibunya setiap selang berapa hari sekali. Aku jelous. Lagu yang terngiang waktu itu mungkin seperti ini, “Betapa maaaalaang nasibku, tak pernah dijenguk ibu…” hehehehhe. Parahnya lagi, teman sekamarku itu selalu dibawakan makanan kesukaannya. Makin dalamlah perih hati ini, tak bisa melampiaskan kangen masakan mama. Rasa kangen masakan mama itu hanya bisa aku kulum bersama air liur.
Aku harus berbelanja sendiri kebutuhanku. Beli lemari, baju, ember, sabun cuci, celana dalam, seragam, rak, stok makanan. Keuangan harus diatur sedemikian rupa agar tak boros. Oia, di Assalaam juga aku belajar mencuci dengan efektif dan sigap, belajar dari teman-teman senasib dan seperjuangan. Sungguh di Assalaam benar-benar berkesan bagiku. Anak kecil, merantau, belajar hidup sendiri, membangun karakternya sendiri.
Jika sedih sudah teramat sangat membuncah, bagaimana pelampiasannya? Aku menangis di tumpukan kasur. Itu cara efektif menurutku. Kasur berbahan busa di kamar kami ditumpuk sekitar 20 buah. Aku memilih menyelipkan badanku yang kecil di tumpukan ketiga, atau keempat. Lalu, aku bisa menangis sepuasnya, saat orang-orang tak ada di kamar. Jika pun ada orang, mereka tak tahu aku menangis. Dikira aku sedang tidur atau mengistirahatkan diri. Hahaha. Kalau ingat pengalaman itu, aku bisa tertawa-tawa sendiri. Tapi, positifnya, aku tipe orang yang bisa mengarahkan kesedihan jadi kekuatan. Tahu dan sadar diri tak bisa dikunjungi orangtua tiap minggu, aku konsentrasikan pikiranku hanya untuk pelajaran, pelajaran, dan pelajaran. Titik. Hasilnya? Ya juara 1 di kelas adalah langgananku. Perih memang saat melihat orang lain gampang sekali bertemu orangtuanya sementara kita hanya duduk di taman, termangu, hanya bisa berangan-angan. Tapi, jika bisa menguasai diri dan mengarahkannya ke hal positif, hasilnya bisa jauh lebih menyenangkan dan membanggakan. Tepuk dada, naikkan dagu! This is me! Aku berhasil menaklukkan diri sendiri.
Sejatinya ketika merantau, bukan aku saja yang berkorban, tapi juga seluruh keluargaku turut berpartisipasi dalam mengorbankan banyak hal. Korban perasaan, uang, keringat, darah, air mata. Aku ingat, moment mengharukan saat mama mengadu padaku, “Kalau lebaran, belikan papa baju. Kerah baju papa dah robek-robek, tapi masih tetap dipakai. Malu kita sama orang.” Kata papa ia ingin berhemat. Biasanya, jika ditegur, ia malah marah. “Mau mementingkan anak, atau hidup mewah-mewah?” begitu jurus pamungkas hidup hemat versi papa. Rela tak bermewah-mewah, demi kepastian anaknya hidup tercukupi di rantau. Sebegitu besar cinta orangtua pada anaknya. Isn’t so sweet? Kadang prinsip itu terasa mencekik dan menyiksa. Terlebih mamaku yang pusing tujuh keliling menyiasati penggunaan anggaran yang minim, tapi harus bisa tercukupi semua kebutuhan keluarga. Saudara-saudaraku mungkin uang jajannya jadi berkurang. Tapi, di balik itu semua, sekarang aku tahu bahwa prinsip hidup hemat papa itu, pahit di awal, namun terasa manis di belakang. Sekarang ia bolehlah berbangga, melihat anaknya 4 orang sudah mengenyam S1, dan tinggal satu si bontot baru akan menjalani pendidikan sarjana.
Kembali lagi ke laptop..
Hidup di rantau, membuat aku merasa lengkap. Lengkap memahami berbagai macam tipe manusia dan budayanya. Di Assalaam dulu, aku bertemu dengan banyak sekali siswa dari berbagai pelosok Indonesia. Ada yang dari Sorong-Papua, ada dari Kalimantan, ada juga yang dari Sulawesi, serta daerah-daerah yang namanya jarang terdengar. Aku belajar budaya Jawa nan halus di Solo selama tiga tahun. Cukuplah untuk tahu feel and sense orang Jawa. Tiga tahun berikutnya, aku pindah ke Serpong. Di sini interaksi juga banyak dengan siswa dari beragam daerah. Namun, untuk penduduk sekitar, mayoritas berkultur Betawi. Saat kuliah di Depok, aku benar-benar berinteraksi langsung dengan orang Betawi Aseli Depok. Paling tidak, di dalam diriku, ada pemahaman budaya Minangkabau-Bukittinggi, Melayu Riau, Jawa Solo, Betawi Serpong-Depok. Mau ajak aku cakap melayu? Aku bisa. Mau ajak aku main takraw? Aku jawaranya takraw se-kecamatan saat SD. Mau ajak aku ngaji? Bolehlah diadu. Mau ajak aku diskusi nyablak ala Betawi, sudah biasa tiap pagi di Depok. Komplet.
Merantau membuatku punya banyak kesabaran dan pemahaman lebih terhadap kejadian apapun yang aku hadapi. Hal itu memaksaku berpikir lebih wise. Kemampuan itu membuatku juga gampang diterima di hampir semua komunitas. Ditambah lagi pemahamanku tentang ilmu sosiologi, aku makin merasa bersyukur. Makin lengkap soft skill ku dalam bergaul dengan orang lain. Tahu diri, tahu posisi, tahu timing.
Pulang Kampung
Lama-lama di rantau tak selamanya enak. Kadang, home sick itu datang ke dalam hati, dan mengganggu. Kangen masakan mama, kangen suasana kampung, kangen menghirup udara segar, tanpa polusi yang kerap bikin kheki.
Perasaan ingin pulang (kampung) itu kerap muncul manakala rutinitas di rantau sudah sedemikian membosankan, membuat diri kita tidak produktif, merasa stuck, dan sudah mati rasa. Jika sudah demikian, maka obat mujarabnya harus segera dipenuhi, yaitu segera pulang kampung.
Jika sudah tiba musimnya pulang kampung, mungkin mama menjadi orang paling berbahagia di dunia. Ia bisa bertemu kelima anaknya.
Menurutku, mama punya 7 belahan jiwa. Belahan jiwa pertama adalah miliknya sendiri. Kedua adalah belahan jiwa soulmatenya. Dan sisanya, jiwa dari kelima anaknya. Satu saja ada masalah dengan anaknya, ia akan merasa gelisah. Ada kontak batin antara ibu dan anak. Aku rasa, itu terjadi di setiap hubungan semua ibu dan anak. Nah, ketidakhadiran salah satu anaknya di saat lebaran, tentu membuatnya merasa kehilangan belahan jiwanya. Rasanya tidak komplet. Tidak afdol.
Dalam rangka pulang kampung memenuhi request mama, aku mulai bersiap. Tiga minggu lalu aku coba hunting tiket pesawat yang paling murah. Tapi ternyata, meski masih sebulan sebelum puasa, harga tiket mudik sudah sekitar Rp 900 ribuan. Paling mahal Rp 1.250.000. Aku coba hold dulu. Siapa tahu minggu depannya bisa lebih murah, ada keajaiban. Soalnya dulu sempat merasakan ada keajaiban dapat tiket harga Rp 400 ribuan. Aku coba lagi minggu depannya. Setelah itu lebih gawat lagi ternyata. Harga termurah sudah naik beberapa puluh ribu. Harga tiket pulang balik Jakarta-Padang rata-rata Rp 1,2 juta.
Tak mau ambil resiko lagi, setelah mencoba berbagai alternatif, akhirnya aku pilih tiket Jakarta-Pekanbaru. Harganya lebih murah beberapa ratus ribu dibandingkan tiket ke Padang. Aku pilih tiket ke Pekanbaru dengan naik Lion Air. Lalu untuk kembali ke Jakarta, aku gunakan jasa Sriwijaya. Murah meriah semuanya. Mudah-mudahan lancar semua. Meski agak khawatir juga dengan “Singa Udara” karena beberapa waktu lalu mereka dipaksa pihak berwenang untuk harus menyiapkan minimal pesawat standby sebanyak 15 biji. Aku tengarai, semua pesawatnya terbang semua. Tak ada yang grounded. Tapi mudah-mudahan itu hanya ketakutan belaka. Tak terjadi ketika lebaran nanti. Amin.
Jika pulang ke Sumatera, aku punya dua pilihan alternatif rumah. Pertama rumah di Duri-Riau, dan kedua di Bukittinggi-Sumbar. Jadi, ketika harus ke Pekanbaru terlebih dahulu, rasanya tak masalah. Sama saja. Meski jarak Pekanbaru-Bukittinggi mungkin lebih jauh daripada Padang-Bukittinggi. Tak mengapa. Aku punya pilihan bisa pulang ke Duri terlebih dahulu. Jika ingin ke Bukittinggi langsung, bisa juga naik bus dari Pekanbaru sekitar 6 jam masa tempuh. Enaknya, jika ke Pekanbaru, aku bisa mampir ke rumah beberapa teman SD dan SMA. Lumayan silaturrahim.
Kalau bicara mengenai harga tiket pesawat, aku sebenarnya heran. Mengapa segitu mahalnya harga tiket pesawat. Ini lagi “dimainin” oleh maskapainya, atau memang permintaan dari pelanggan sudah membludak. Tapi, hey, ini masih dua bulan lagi sebelum lebaran?
Tapi tak apalah. Uang bukan menjadi masalah utama sekarang. Yang menjadi prioritas bagiku adalah aku bisa memberikan kepastian pada mama bahwa anaknya pulang saat lebaran nanti. “Meski ongkos pulang kampung tergolong mahal, namun menurutku uang bisa dicari. Tapi kalau pelukan mama, mana bisa terganti?” Rencananya aku ingin bawa hadiah buat mama. Mama pesan buku tentang haji dan rekaman qiro’ahku menggunakan kaset atau mp3. Aku mau menambahkan hadiah lainnya berupa perlengkapan buat haji. Biar mama senang.
Kebahagiaan seorang perantau akan terasa begitu berharga, saat ia bisa membawakan “sesuatu” untuk orang yang dikasihinya. Tak soal apakah mahal atau murah. Yang penting barang yang dibawa sebagai hadiah itu disukai oleh calon penerimanya. Entah itu penerimanya orangtua kita, kakak, adik, ponakan, kerabat dekat dan jauh, bahkan tetangga. Kekuatan dan kenikmatan berbagi benar-benar terasa. Tak terbantahkan lagi, bahwa Indonesia punya budaya mudik yang unik. Mungkin ini budaya yang jarang dianut masyarakat dari negara lain. Proses perputaran uang benar-benar luar biasa.
Pulang kampung juga bisa menjadi momentum bagi seseorang untuk kembali melakukan renungan, refleksi, dan menyiapkan semangat baru. Banyak hal yang bisa diambil hikmah saat pulang ke kampung. Mulai dari kearifan lokal, sampai kepandiran masyarakat yang sulit dipercaya. Semua lengkap. Intinya, pulang kampung, adalah mencari inspirasi, melepas lelah batin, merevitalisasi semangat berkarya dengan semangat ’45.
Tak sabar rasanya segera pulang kampung. Apapun aku tempuh agar bisa pulang kampung. Salah satu pengorbananku, rela masuk kerja hari Sabtu selama tiga minggu terakhir ini. Aku ingin kontribusi terhadap pekerjaan bisa seimbang dengan teman kantor lainnya, yang kemungkinan masuk saat lebaran nanti. Aku sudah pernah mengalaminya, masuk kerja di hari raya. Sekarang, kami bergantian. Semoga teman-teman kantorku paham kondisi dan jeritan hati anak rantau. Hehehehe.
Kalau mamaku nanya lagi lewat telpon, “Jadi pulang lebaran nanti anakku..?” Kujawab, “Sudah pasti ma. Tiket sudah di tangan.”
Anda yang masih punya mama-papa, dan bertemu tiap hari, harusnya bersyukur. Coba deh lakukan sesuatu spesial untuk mereka. Beri kejutan pada orangtua Anda. Tak perlu mahal. Bisa beri hadiah, kecupan, pelukan, yang sifatnya spontan, tanpa direncanakan. Sembari ucapkan “terima kasih untuk segala hal” pada mereka. Amati respon dari mereka. Dijamin pasti penuh haru. Mumpung mereka masih ada di dunia. Kapan lagi?
Namun, bagi Anda yang sudah tak punya orangtua, jangan bersedih. Anda bisa mendoakan mereka kapanpun, dimanapun. Itu akan melapangkan jalan mereka ke surga. Nah, untuk Anda yang dari dulu hubungannya kurang harmonis dengan orangtua sendiri atau orangtua angkat, coba deh bikin terobosan. Anda yang bertindak, Anda yang mengambil alih dan mendikte keadaan. Tak perlu gengsi. Buang saja gengsi jauh-jauh sebelum terlambat dan menyesal. Berikan penghargaan yang tinggi dan tulus kepada mereka. Muliakan mereka. Kekerasan hati mereka pasti bisa takluk dan luluh. Temanku, Agung Firmansyah, seorang pengajar muda di SDN Tatibajo (pedalaman Majene-Sulawesi Barat) mendapatkan pelajaran hidup saat berhasil menaklukkan hati muridnya yang bandel, namun pintar. “Penghargaan, itu membuat hati seseorang itu jadi lembut”. Muridnya yang dijuluki “little monster”, susah diatur, suatu saat diberi kepercayaan mengajarkan murid kelas 1 & 2 karena guru lain tak bisa datang, terhalang banjir di sungai. Secara mengejutkan, ia berhasil membimbing adik kelasnya tadi membuat wujud nyata dari segitiga, jajaran genjang, persegi panjang dan lain sebagainya. Ketika adik kelasnya mengucapkan “terima kasih” bersama-sama di depan kelas, si “little monster” yang terkenal galak, susah diatur, dan hiperaktif itu, ternyata bisa tersipu malu sambil garuk-garuk kepala ketika dipuji, diberi penghargaan setimpal. Berikutnya, ia jadi “pembela” dan “pelindung” murid kelas 1 & 2 dari gangguan murid yang lebih senior. Aku sepakat dengan Agung. Hati manusia, sekeras apapun, pasti bisa ditaklukkan. Itu sudah hukum alam.
Selamat merenung, kawan! Merenung tentang rumahmu, kampung halamanmu, ayahmu, kakak-adikmu, dan ibumu.
Ibu
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah… penuh nanah
Seperti udara… kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas…ibu…ibu
Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas…ibu…ibu….
(Iwan Fals)
Baca blog ini-beri komen-raih hadiah buku menarik, di sini:
Nantikan pengumuman pemenangnya Sabtu dpn. Follow me: @pukul5pagi dan baca juga link berikut untuk cerita keren:
Posted by DanangAziz on July 23, 2011 at 6:04 AM
Nak ibu ingin kau dapat pendamping hidup yg shalihah, yg dpt menjagamu, merawatmu, mencintaimu, dan mempertahankan segala potensi dan kebaikan yg ada padamu. Bawa dia pada ibumu nak, ibu ingin melihat wajah cantiknya dan perangainya yg shalihat. Ibu ingin membelainya seindah belaian pada anak ibu sendiri, selembut belaian ibu padamu. Ini doa dan harapan ibu. *ad ini jg hadiah terindah utk ibumu, semoga termotivasi dan terealisasi di pulang kampung berikutnya :)*
Posted by Umarat on July 23, 2011 at 6:18 AM
Amin. Semoga bisa cepat dapatnya. Mudah jalannya. I’m working on it…Thanks kak komentarnya. Hehehhe. 🙂
Posted by mukhlason on July 23, 2011 at 6:20 AM
ada yang curhat ternyata 🙂
Khutbah jumat kemarin di masjid Indonesia Power pusat (kuningan-Jakarta) diisi oleh Ust Daud Rasyid Sitorus, membahas tentang keutamaan ramadhan dan 10 hari terakhirnya. Tetapi keutamaan itu dirusak oleh kebudayaan yang kurang pas, yakni MUDIK.
Betapa, pada 10 hari terakhir ini kita disibukkan dengan urusan2 mudik tsb, sehingga keutamaan akhir ramadhan jadi terabaikan untuk dikejar bersama2.
Memang, semua itu terasa bertentangan dengan fenomena yang ada di masyarakat. Namun, bagaimanapun juga, beragama itu diawali oleh adanya tuntunan syariat, bukan perasaan.
Setelah mendengarkan khutbah tersebut, saya jadi berpikir, kenapa tidak mengalihkan musim mudik ke hari besar Idul Adha, di mana beberapa hal tersebut bisa menjadi pertimbangan :
1. Masih bisa meneruskan dan memparipurnakan tugas ibadah shaum ramadhan, khususnya 10 hari terakhir.
2. Menghindari kebiasaan berlebih-lebihan dalam idul fitri, di mana semuanya serba wah, dari pakaian, kendaraan, pamer kesuksesan, serta hidangan yang berlebih-lebihan.
Khususnya untuk hidangan yang berlebihan, jika dirunut sehabis puasa satu bulan penuh, saya yakin tidak semua makanan bakalan habis termakan, dan itu akan menjadikan sebuah kemubadziran, sesuatu yang dibenci oleh Allah SWT.
3. Imbas ibadah sosial, yakni berupa qurban. Bila ingin memberikan sesuatu pada masyarakat di daerah sekitar kita, alangkah baiknya bila sambil diniatkan dengan beribadah. Salah satunya adalah dengan menyembelih hewan kurban di sekitar daerah asal kita.
Pasalnya, budget / anggaran yang selama ini bisa habis-habisan ketika idul fitri, bisa dialihkan ke penyembelihan kurban ini. Beberapa item yang bisa dihemat, antara lain : pembelian baju baru, pembelian anggaran hidangan, maupun anggaran transportasi yang tentunya bila musim mudik idul fitri sangat besar.
Tetapi, itu semua terpulang pada kita masing-masing karena pertimbangannya tidak hanya satu dua, tetapi cukup banyak.
Dan sekali lagi, beragama itu bukan didasarkan rasa, tetapi tuntunan / ajaran.
Posted by Umarat on July 23, 2011 at 7:34 AM
Wah. pak ustadz angkat bicara. Idenya bagus, memindahkan perputaran semua uang mudik lebaran ke Idhul Adha. Tapi tulisan ini bicara tentang kangennya anak rantau yang 15 tahun hdp terpisah dari orangtuanya. Untuk ibadah di saat ramadan, tentu harusnya tidak terganggu.
Posted by mukhlason on July 23, 2011 at 6:33 AM
Kalau saya sendiri, Insya Allah kalaupun mudik masih menggunakan budget yang sedikit karena relatif dekat, adapun faktor lain, yakni mengejar ibadah 10 hari terakhir, ya dilakukan semampunya.
Posted by Umarat on July 23, 2011 at 7:35 AM
🙂
Posted by mukhlason on July 23, 2011 at 7:41 AM
Iya Bro, pulanglah, silaturahimlah. Selagi kedua orang tua masih ada di dunia ini. Tidak harus menunggu saat idul fitri saja 🙂
Menurut salah satu hadits nabi, bahwa birrul waalidain tatarannya sedikit di bawah Jihad fii Sabiilillah.
Birru aabaa’akum, tabirrukum abnaaukum
Berbaktilah pada kedua orangtuamu, niscaya anak2mu akan berbakti kepadamu.
Posted by Umarat on July 23, 2011 at 10:01 AM
Ok brader
Posted by Prabu on July 23, 2011 at 7:50 AM
Menyentuh sekali mas !
Benar kita harus bisa memulyakan dan menyenangkan kedua 6rang tua kita.
Aq juga jd rindu ayah n bunda !
Aq harus pulang nii gak bolle seperti bang toyyib !
Posted by Umarat on July 23, 2011 at 10:00 AM
Pulanglah sebelum terlambat. Muliakan mereka. Beri kejutan.
Posted by yesitea on July 23, 2011 at 8:36 AM
Pantas saja tiket2 transportasi sudah laris manis meski belum memasuki bulan puasa. Mungkin mereka juga punya kerinduan yang sama kepada keluarga seperti mas aat. Salut untuk pjuangan mas aat. And more thumbs for your dad. He must be a great father. InsyaAllah harapannya tkabul karena anakny yg satu ini punya banyak prestasi yang membanggakan :).
Allah maha adil. Perjuangan yang panjang insyaAllah akan dibayar dengan kesuksesan yang ever lasting juga.
“Success is sweet and sweeter if long delayed and gotten through many struggles and defeats.” (By Alcott)
Salam sukses terdahsyaaat…
Posted by Umarat on July 23, 2011 at 9:59 AM
Thanks Yen. Salam hangat terdahsyat untuk seluruh keluarga Indonesia 🙂
Posted by Citra on July 23, 2011 at 8:56 AM
Ooo… jadi gitu ya ternyata sosok Adlil Umarat si Anak Perantauan. Setelah 5 taun kenal, baru 1x ini tau ttg Aad dan keluarganya. Ternyata berat juga ya merantau sejak kecil.. tapi memang benar, Ad, klo qta tau caranya membalikkan kelemahan jadi kekuatan, itu asyik sekali.
Ahh, tp tulisan ini semakin membuat sy penasaran untuk merantau.. hidup mandiri, lepas dari zona nyaman yg 1 untuk menemukan zona lain. Tapi dari sepanjang hidup ini, baru 1x saya dilepas orang tua untuk tinggal terpisah. Itupun masih jarak 1,5-2 jam dr Jakarta. Ohh, Depok… 😦
Pernah ada kesempatan bekerja di luar kota. Di Bandung, kota favorit saya. Pekerjaannya pun saya suka. Persawahan di sekitar kantornya.. gedungnya.. wahhh, masih sangat teringat jelas. 🙂
Tapi apa mau dikata, kalopun diterima, ortu juga tidak mengijinkan..
So, here I am, still at Jakarta, masih merawat usaha sendiri, ingin mengembangkan sampai besar. Berharap suatu hari nanti bisa mempekerjakan orang-orang.
Tapi juga tetap ingin bekerja di Bandung atau Jogja. Hihihihihi….
Posted by Umarat on July 23, 2011 at 9:58 AM
Ciput, nanti kan bisa buka cabang di Bandung dan Jogja. Tekuni. Bisnis Ciput sudah cukup spesifik. Segera wujudkan mimpi. Jgn dipendam. Nah, pertanyaannya sekarang, gImana, ada wiro sableng yang jadul-jadul ga? Hehehhee
Posted by Rimbun on July 23, 2011 at 11:06 AM
Agak iri membaca tulisan ini karena saya bukanlah seorang perantau. Saya adalah anak dari dua orang Minang yang merantau. Walau saya adalah anak perantau sejati, tapi kan yg merantau orang tua saya, jadi pengalaman merantau yang dialami kedua orang tua saya tidak saya rasakan. Tidak cukup rasanya dengan membaca apa yang dirasakan perantau di tulisan ini, seperti merasakan kerasnya hidup di ‘negeri’ orang. Saya belum merasakan bagaimana rasanya merantau, tapi saya sangat memberi hormat yang besar pada perantau sejati, yakni orang tua saya, dan penulis tulisan ini. Ada satu lagu yang liriknya ‘dalem jleb..jleb..’ buat ‘anak perantau’ ataupun perantau itu sendiri. Check it out link-nya disini:
Posted by Umarat on July 23, 2011 at 12:22 PM
Thanks Rimbun
Posted by ulfah mardhiah on July 23, 2011 at 1:28 PM
Orang berilmu dan beradab tidak akan tinggal diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah
Kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih
Jika tidak, kan keruh menggenang
Singa, jika tak tinggalkan sarang,tak akan mendapatkan mangsa
Anak panah, jika tidak tinggalkan busur, tak kan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam,
tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih besi bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
Imam Syafi’i
ganbatte ne!
Posted by Umarat on July 23, 2011 at 2:48 PM
Cool!
Posted by Urfa Qurrota 'Ainy on July 23, 2011 at 5:04 PM
wahwah,
kalau diajak bicara bahasa sunda, bisa ga kak? hehehe
aku dari dulu salut sama orang2 sumatra. jiwa perantaunya unbeatable, hehe. aku merantau 6 tahun aja ga kuat. pulang kampung deh sekarang. masalah kultur sunda juga kali ya. karakter org2 sunda, merasa serba cukup di rumah sendiri, ga tahan jauh2 dari kampung, stay di comfort zone, cepat puas.
hahaha. saya sok tau ya, Pak Sarjana Sosiologi?
Posted by Umarat on July 23, 2011 at 10:14 PM
Bahasa Sunda belum bisa. Dulu saat di libur MTs, biasanya main ke Bandung. Tp tetap ga bisa bahasa Sunda.
Posted by fahmimachda on July 23, 2011 at 9:54 PM
Fahmi terharu banget… jadi kangen ibu…pengen pulang…
Terima kasih Yal akh Aad, sebuah bahan renungan dan sejarah yang dalam. Kita ternyata merasakan hal yang sama saat masa-masa awal hidup di Assalaam. Semoga sukses terus buat Yal-Akh Aad. Semoga kita semua berhasil menjadi anak yang berbakti pada orang tua.
Jika Allah mengizinkan fahmi ingin bersilaturrahim ke orang tua Aad saat berhaji nanti. No Hp fahmi masih ada kan?
Posted by Umarat on July 23, 2011 at 10:01 PM
Tentu saja masih disimpan nomormu. Ok, nanti dikasih tau nomor Fahmi ke orangtua saya. Insya Allah bisa ketemu. Terima kasih banyak tawarannya. Assalaam punya keistimewaan tersendiri ya. Dulu latihan nyuci baju di reservoir kan? Hehhehe
Posted by duha on July 24, 2011 at 11:01 AM
Subahan alloh broo …gue nangis ni baca tulisan lou
jadi inget gue belum bisa pulang kampung, belum bisa banggain orang tua brooo….
Posted by Umarat on July 24, 2011 at 11:40 AM
Mulai sekarang, susun rencana bagaimana bisa banggain orangtua. Pelan, sedikit, tapi pasti dan sistematis. Mulai rajin baca-baca buku, bergaul dgn orang hebat, orang sukses, tanya resep sukses mereka apa, mulai terapkan dalam kehidupan pribadi. Insya Allah ga lama tuh bro. Cepat sukses. Maaf ya gw bikin nangis. Ini orang kesekian yang lapor ke gw. Gw jadi merasa bersalah 😦 sekaligus senang 🙂
Posted by Wahyu 'Yuri' Dian on July 24, 2011 at 12:01 PM
kena tampar nieh aku…pengakuan dosa nih klo masi sering berlaku ‘brengsek’ ma ortu…walopun sebenernya g ada niatan…cuma kadang menang dorongan buat kolokannya daripada dewasanya…hehehe…makasi dah diingatkan untuk berlaku lebih baik lagi ke ortu…semoga aja mulai sekarang berkurang kolokannya dan bisa lebih dewasa..amiiennn…^_^
Posted by Umarat on July 24, 2011 at 12:18 PM
Hehehe. Thanks dah mampir yuri
Posted by Icha on July 24, 2011 at 12:30 PM
Wah.. salam kenal kak Aat,
haa.. baca postingan kakak yg ini, jd inget masa2 awal msk assalaam dan IC,,
bnyk hal yg mesti kita maknai dalam melakukan setiap tindakan,,
yang salah satunya adalah “merantau” ini kak, hehe 😀
Pada awal msk assalaamlah, ayah aq jg telah menghadap Allah ka,
yaa, awal yang ga mudah memang, buat bs langsung nyesuaiin khidupan di assalaam dl.
Tp, aq malah termotivasi krn ibu kak. Beliau aja bs smngt, knpa aq enggak.
Perjalanan baru pun dimulai..
Bnyk blajar neko-neko deh..
Yang kata kakak blajar nyuci di reservoirlah, yaa. itu salah satunya.. hehe 🙂
temen2 yg dr berbagai budaya jg ktemu dsitu jg..
wah, aq bs bayangin kakak yg lagi nangis di blakang tumpukan kasur tanpa ada org yg tau..
itu sama yg aq rasain jg sih kak, cm aq asli org sana jg. Sejamlah dr rmh ke assalaam.
Jadi, wkt dsana, ibu aq suka njenguk ksana. Ya, pasti awal yg memang tak mudah untuk teman-temanku yang tinggal jauh kak, tak terkecuali kakak jg. Tapi toh, akhirnya kaka bs survive jg kan?? 😀
Akhirnya, aq merantau ke BSD jg deh kak, ke IC yg tak kalah ngasih bnyk plajaran untuk memaknai hidup. hehe.. Teman-temanku sudah kuanggap sperti kluarga aq sndiri.. bgitu jg bapak/ibu guru dsana kak. Ya, memang kuakui peraturan di IC tak seketat di Assalaam.
Tp, aq mncoba ttp istiqamah kak 😀 Walau memang ga segampang yang aku kira..
Dan skrg aq pun br lulus..
Beranjak ke dunia perkuliahan yg akan menjadi dunia baruku.
Mulai blajar bgmn menerapkan ilmu yang telah kudapat selama 6 tahun hdp dalam perantauan.
Hahaha.. 😀
Mksh ya kak, saya sgt terharu baca blognya..
Membuatku banyak merenung akan pntingnya kehadiran sebuah keluarga, baik ayah, ibu, dan kakak adik aku kak,,
And Last,
Slamat pulang kampung kak Aat 😀
Posted by Umarat on July 24, 2011 at 12:41 PM
Ok Icha. We have same experiences. But two things for sure, stay cool and be awesome!
Pokoknya jadi orang keren lah. Jangan jadi orang biasa, terlebih jika sudah pernah merantau. Thanks udah mampir, semoga beruntung dapat hadiah yang akan diundi sabtu depan ya. Hehehe
Posted by Icha on July 24, 2011 at 12:54 PM
Hahaa,, sip ka, saya inget slalu pesen kak Aat 😀
Saya suka baca blognya koq.. Hehe 😀
Ok, sy tunggu deh..
Posted by Ana Aulia on July 24, 2011 at 4:47 PM
Waw!! Amazing, wonderful experience! Pinjem Prinsipku nih “Kelemahanku adalah Kelebihanku” bener kan??! Btw nama abangnya mas aad sm kyk nama kk ku “ilham kurniawan” sm2 anak pertama.hehe! Oya pulang kampung, jgn bawa something special aja! Bawa someone special jg donk buat mamanya mas aad biar senengnya plus2..haha!
Posted by Umarat on July 24, 2011 at 4:51 PM
Masa sih bisa sama? Kebetulan sekali ya An. Untuk oleh2 someone spc, mudah2an bisa dilaksanakan. Minimal bawa fotonya saat pulang kampung. Hahahha
Posted by diansas on July 24, 2011 at 8:09 PM
Mantap!! jadi mengharu-biru, semakin tidak sabar menunggu oktober. Dan tergelitik dengan komentar2 di atas tentang “someone special”, konsisten dong Ad sama yang ditulis “No EXCUSE, just take it!” 😀 Kelamaan mikir ntar disalip loh! :))
Posted by Umarat on July 24, 2011 at 9:55 PM
Dian, kena skak mat lah aku nih. 🙂
Posted by oeoel on August 11, 2011 at 6:44 PM
wkwkwkwkw….kena deh bang….iya..cepatlah bawa someone special…mama dah ndak sabar tu…hohohoho…ntar kusalip pula…hehehehe
Posted by Umarat on August 11, 2011 at 6:53 PM
Ul, silahkan duluan aja dek…. 🙂
Posted by Fickry on July 24, 2011 at 10:02 PM
bikin nangis baca postingan abang yg ini. Sudah 3 kali lebaran saya gak pulang. insya Allah lebaran kali ini pulang. semoga ya. makasih sudah mengingatkan.
Posted by Umarat on July 24, 2011 at 10:38 PM
Fick. Sorry bikin nangis ya. Peluk cium ibumu saat pulang, jgn lupa. 🙂
Posted by sandra on July 25, 2011 at 11:17 AM
tulisannya bagus, kak.
walaupun saya baru mau masuk kuliah tahun ini, tapi saya juga udah sekolah di luar kampung halaman sejak mts.
setelah membaca tulisan kakak, saya jadi inget kata-kata almarhum nenek saya (disaat berada di rumahnya) waktu tidak sengaja mendengar percakapannya dengan paman.
waktu itu, paman sempat bertanya sama nenek tentang apa yang beliau inginkan, nanti pasti dibelikan. tapi nenek saya menjawab singkat, “ibu cuma pengen anak2 dan cucu2 sering dateng kesini”, begitu katanya.
yah, mungkin semua “orangtua” menginginkan anaknya selalu berbuat hal demikian.
semoga semua yang membaca tulisan di blog kakak ini termasuk saya, bisa semakin menyadari betapa berharganya sebuah keluarga.. .
makasih ya, kak.
Posted by Umarat on July 25, 2011 at 1:06 PM
Panggilan jiwa seorang ibu dimana-mana ternyata sama. Terima kasih dah mampir. Ajak teman-temanmu mampir juga di blogku ya. Thanks alot Sandra
Posted by sandra on July 25, 2011 at 8:25 PM
sip kak, sm2.
oia, salam kenal kak.
saya adik kelas kakak di MAN IC, angkatan 14.
Posted by Umarat on July 26, 2011 at 1:55 PM
Ok Sandra. salam kenal juga. Jangan lupa jadi orang keren ya di kampusmu!
Posted by farid on July 25, 2011 at 11:39 AM
Pulanglah bro….Seorang ibu yg berharap bisa bertemu dengan buah hatinya yang selalu di banggakannya, kedatanganmu di tengah keluarga akan menjadikan bahagia dalam hati ibumu yg telah mengandungmu, yang telah merawatmu dari kecil hingga sekarang bisa merantau menjalani proses menuju kesuksesan…Ibumu adalah orang yang Insya Allah pertama kali bangga dengan kesuksesanmu, karena do’a berkat do’a nya kita selalu dalam Ridho Nya….Amiiin… Pulang sono ntar apa mau jadi Malin Kundang yg kedua heheheheheheheheh…..:D
Posted by Umarat on July 25, 2011 at 1:15 PM
Ndak mau jadi Malin Kundang bro. Dikutuk jadi batu ntar. Hehehe
Posted by Abu Adwa (Daroel) on July 25, 2011 at 1:14 PM
sempat belajar di assalaam betul2 membuat aku pgn merasa selalu kesana mas adlil… ketika bulan ramadhan di assalaam kita akan merasa mudah untuk melakukan amalan2 ibadah sebanyak-banyaknya… mau khatamin al quran lebih dr dua kali gampang, mo sholat berjamaah lima waktu serasa kaki ini ingin selalu bergerak ke arah masjid (ada qismul amni sih.he…) dan yg paling diingat adalah ketika ambil jatah buka puasa di dapur… ada yg pake ember segala.wwkkkwkkk…. itu adalah salah satu kenangan yg aku selalu pgn mengulangnya.. sedangkan kondisi di luar pondok agak berat untuk melakukan hal tsb karena suasana yg kurang mendukung…
aku jg masih inget ketika mas adlil dapat paketan dr ortu yg isinya rendang… mesti sekamar suruh ambil nasi di dapur, lalu makan bareng di kamar beralasakan koran.he… belum lagi kalo mau masak mie biar ga antri harus pake setrika.he…. (kasihan ya setirkanya….) mungkin hal tsb jg menjadi pelajaran hidup buat kita karena dengan keterbatasan kita tetap menjaga kebersamaan karena sama-sama di perantauan. alhamdulillah aku sekarang masih tinggal di deket pondok mas adlil… kalo mau bernostalgia dengan pondok assalaam silahkan mampir di gubug kami…
Posted by Umarat on July 25, 2011 at 1:20 PM
Makan nasi yg masih hangat2 di atas koran, plus rendang dan ikan teri. Lalu masak mie pake strikaan. Dua hal yang klo dipikir2, kita gila juga ya dulu? Hehhee. Darul, pasti aku akan sambut itu tawaran mampirnya. Wait for me ya di Solo. Dah kangen juga. Lama tak bertemu suasana adem kartasura
Posted by hanun on July 25, 2011 at 2:32 PM
makasih tulisanny, udh ngingetin sosok ibu…aplg dtutup dg lg bang Iwan jd homesick hehe..
Posted by Umarat on July 25, 2011 at 3:35 PM
Semoga masih ringan ya tulisannya. Maaf jadi bikin homesick. Dinikmati saja. Kan bisa tlp ke orangtua di kampung halaman.
Posted by feelingonpage on July 25, 2011 at 6:27 PM
keren bang… speechless
Posted by Umarat on July 25, 2011 at 7:25 PM
Semoga ada manfaat yang bisa diambil ya
Posted by feelingonpage on July 25, 2011 at 7:42 PM
iya bang… ika termotivasi bang… ika tunggu tulisan yang memotivasi lainnya ya bang…. 🙂
Posted by Fani on July 26, 2011 at 1:09 PM
brarti lebaran taun ini gada jatah Soto Banjar buat lo ya.. 🙂
Posted by Umarat on July 26, 2011 at 1:53 PM
Hehehe. Jadi ingat, tahun pertama di RCTI, gw lebarannya ke rumah mas Fani makan soto banjar. Hampir tiap tahun kayaknya ya. Hahaha. Tahun ini absen aja deh. Salam buat ibu
Posted by ama on July 26, 2011 at 6:16 PM
“Aku rindu ibuku. Dan sudah kukatakan melalui pesan singkat HP 2 minggu yg lalu bahwa aku merindukannya. Tapi adakah ia merindukanku? Krn tak ada balasan darinya. Mungkin kepindahanku dari rumahnya masih menyimpan amarah di hatinya.” Aad…sumpah gw nangis bacanya. Gw lg kangen berat sama ibu, tp sms gw ga dibalas. Beliau marah krn gw memutuskan untuk pindah dari rumahnya dan hidup mandiri bersama keluarga kecil gw ad… 😦
Posted by Umarat on July 26, 2011 at 6:35 PM
Pindah ke rumah sendiri, menurutku keputusan tepat. Tidak baik serumah dengan ibu. Hubungan mertua-menantu kerap kurang harmonis karena perbedaan visi-misi. Jangan salahkan dirimu. Sekarang, besarkan hati ibu. Beri ia kejutan. Sering-sering silaturrahim. Ada satu resep mujarab. Kalau ibuku, obat marah, letih, atau gundahnya adalah cucu. Jgn lupa bawa cucu saat silaturrahim. Insya Allah perlahan tapi pasti, masalah terselesaikan. Dan, ibumu akan membalas smsmu yang dipending itu.
Posted by Swarantika AR on July 26, 2011 at 8:07 PM
Assalamualaikum.
Kak Aad, inspiratif sekali. makasih ya Kak. aku hampir menitikan air mata bacanya, soalnya sekarang ini mama lagi memperjuangkan sesuatu nih kak. dan sekarang semuanya makin jelas, anak itu prioritas utama seorang Ibu. Ibu yang baik selalu menanti kedatangan anaknya sambil membuka kedua tangannya lebar lebar dengan bonus senyuman yang paling menawan.
Posted by Umarat on July 26, 2011 at 9:50 PM
The power of mom
Posted by Ana Mardiana on July 26, 2011 at 9:14 PM
Hiks..baca tulisan ini, sekali lagi jadi terharu biru. Masalahnya, aku jadi terkenang & kangen ibuku yang udah ga ada :(( Tapi, membaca tulisan ini, disamping menangis karena ingat ibuku, juga tertawa terkekeh-kekeh dengan gaya bahasa Aat yg mengalir dan spontan. Terutama pada paragraph yg tentang menangis di tumpukan kasur 😀
Intinya, tulisan ini penuh keterbukaan, Aat sudah berani mengeksplore memoar dirinya bersama background keluarga. Salut deh, aku aja masih belum berani blak-blakan bicara tentang hal privacy seperti ini di blog. But, its good enough i think!
Posted by Umarat on July 26, 2011 at 9:52 PM
Selamat mencoba menuliskannya di blogmu mbak An. Seru lho
Posted by Fandi Muhammad on July 27, 2011 at 6:08 AM
Kak Adlil tulisannya bikin terharu.. jadi inget dari minggu lalu orang tua nanyain kapan pulang, padahal rumah di pondok gede dan tergolong dekat dr depok..
Bikin kangen orang tua T_T *udah lulus tp masih dikosan
Pulang deh
thanks ya, tulisannya mantap 🙂
Posted by Umarat on July 27, 2011 at 4:26 PM
Kalau rumah saya Pondok Gede, pasti sering pulang. Tidak ada yang lebih nyaman selain di rumah sendiri
Posted by bunda key on July 27, 2011 at 9:08 AM
terharu bg.
jadi meneteskan air mata….
ayo pulang bg. biar qt bisa kumpul2 lg.
buat ika,,, mudh2an lebih termotivasi lagi ya… ^_^
Posted by Umarat on July 27, 2011 at 4:25 PM
Ok. wait for me ya dek
Posted by oeoel on August 11, 2011 at 6:47 PM
setuju…setuju…mari pulkam….kumpul dikampung kayaknya seru bgt tuch..
Posted by Sekti Hastuti Ahyari on July 27, 2011 at 10:10 AM
Subhanallah…
kau emang hebat dari dulu perjuangan n ksabaranmu dah teruji saat kau di assalaam..
Smg Allah memberikan yang terbaik untuk masa depanmu…namun….mengunjuungi ortu tetap nomor satu,…
luangkan waktu sesibuk apapun untuk menyapa walau hanya lewat tlp, selagi umur masih memberi kesempatan….jangan menunggu batu nisan menancap.
Terus berkarya, doaku selalu menyertaimu, jangan lupa kabar-kabari bila berjodoh.
smg mendapatkan istri yang solehah,cerdas,cantik dan kaya, amin
miss you….
Posted by Umarat on July 27, 2011 at 4:20 PM
Terima kasih doanya ya..I like it very much: solehah, cerdas, cantik dan kaya. 🙂
Posted by ephy on July 28, 2011 at 12:12 PM
hai kak, assalamu’alaikum
hehee…
panjang banget ceritanya…. mendetail.
hebat, ya… udah tulisannya panjang, banyak yang komen pula…
brarti memang bagus isinya :p
ya… sudah lah.. sekian saja sapa-nya, membuktikan saya sudah mampir di halaman kakak.
salam buat tanah sumatra kalau sudah sampai disana…
kangen juga pengen pulang kampung… 🙂
-ephy-
u know me lah…
Posted by Umarat on July 28, 2011 at 3:05 PM
Terima kasih sudah mampir
Posted by Putri Aisyiyah on July 31, 2011 at 12:35 PM
nice story..tergelitik mengamini do’a2 tentang dia yang sholehah, cerdas, cantik, dan kaya..amien.. 😀
Posted by Umarat on July 31, 2011 at 12:51 PM
Itu doa ibu guruku yang di Solo dulu. Semoga terkabul ya. Hehehehe
Posted by shelly on August 18, 2011 at 8:51 PM
Add,maapin baru sempat buka blognya sekarang… Baca tulisan diatas, kayak ngaca aja, soalnya aq juga perantau, setuju banget ad, merantau mengajarkan qta tentang banyak hal, jadi pribadi yg tangguh salah satunya.. Mengutip salah satu kalimat di atas “Anda yang masih punya mama-papa, dan bertemu tiap hari, harusnya bersyukur” karna Jauh dari orang tua itu tersiksa (-̩̩̩-͡ ̗–̩̩̩͡ ) tanggal 25, aq ketemu mama lagi ad, “̮ ټƗƗiƗƗiƗƗiټ “̮ syenaanggg yeayyy 😀
Posted by Umarat on August 18, 2011 at 9:37 PM
Mampir terus dan baca tulisan yang lain ya
Posted by Sari on August 20, 2011 at 7:57 AM
Keren!.. bahasanya ngalir banget kak 🙂 nice post and inspiring 🙂
Posted by Umarat on August 20, 2011 at 11:40 AM
Terima kasih
Posted by mohammedfikri on August 20, 2011 at 12:41 PM
InsyaAllah, setelah 3 tahun di Jakarta, Aku juga bakal ketemu mama ku lebaran nanti Di Sumbawa… 😉
btw Tulisannya bagus lil, always keep in touch friend…
Posted by Umarat on August 21, 2011 at 4:02 PM
Terima kasih. mampir tiap minggu dan beri komen ya.
Posted by raissa pb on December 12, 2015 at 11:56 AM
aku sekarang lagi bingung nih . aku kan sekolah di asrama sudah sejak tamat smp . sekarang aku sudah kuliah dan masih saja kuliah nya di asramakan . sekarang aku di rantau
biasa nya pada tahun baru kami hanya dapat liburan 2minghu . tapi kali ini kami dapat libir 3minggu . aku bimbang akan pulang kampung atau tidak
disisi lain aku ingin pulang . tapi di sisi lain aku jiga ingin berlibur bersama keluargaa .
tolong saran nyaa . aku benar2 bimbang sejak 2minggu ini
Posted by Umarat on December 13, 2015 at 1:57 PM
Hidup adalah pilihan. Masa muda adalah masa berpetualang. So, melanglang buanalah. Lihat dunia lain.